Penetapan wilayah pertambangan wewenang pusat

Kamis, 15 Maret 2012 - 08:31 WIB
Penetapan wilayah pertambangan...
Penetapan wilayah pertambangan wewenang pusat
A A A
Sindonews.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan terkait Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) kemarin.

Dalam sidang, pemerintah berpendapat meski penetapan wilayah pertambangan (WP), wilayah usaha pertambangan (WUP), batas dan luas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) merupakan kewenangan pemerintah pusat, namun harus selalu ada kordinasi dengan pemerintah daerah.

"Meski kewenangan pemerintah, harus dikoordinasikan pemerintah daerah. Mengingat perizinan pertambangan dalam IUP nantinya tetap diberikan oleh menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya," kata Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Thamrin Sihite kemarin.

Penetapan WP juga dilakukan dengan melalui konsultasi dengan DPR. Karena lembaga inilah yang merupakan representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian dalam menetapkan kebijakan nasional berupa penetapan WP, WUP, luas batas dan WIUP, pemerintah tetap diwajibkan mendengar aspirasi pemerintah daerah, dan DPR.

Hal ini mencerminkan pelaksanaan asas partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas seperti tercermin dalam Pasal 2 UU Minerba.

Wewenang pemerintah untuk menetapkan WP, WUP, luas dan batas WIUP dalam rangka penetapan kebijakan nasional juga telah sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Menurut Pasal 15 ayat (3) UU Minerba gubernur atau bupati/walikota sebagai kepala daerah mengusulkan perubahan WP kepada menteri berdasarkan hasil penyelidikan dan penelitian yang dilakukan.

Selain itu, penetapan WP harus memperhatikan pendapat instansi terkait, masyarakat dengan mempertimbangkan aspek ekologi, lingkungan, ekonomi sesuai amanat Pasal 14 ayat (1), (2) UU Minerba.

Dalam sidang, Thamrin juga meminta pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu akan hak konstitusional yang dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal I ayat 29, Pasal 6 ayat (1) huruf e jo, Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 17 ayat UU Minerba.

Menurutnya, majelis hakim konstitusi juga harus mempertimbangkan kedudukan hukum para pemohon. "Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang mulia Ketua untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak," ujarnya.

Pengujian UU Minerba ini dimohonkan Bupati Kutai Timur Isran Noor yang menguji sejumlah pasal dalam UU Minerba yakni Pasal 1 angka 29, angka 30, angka 31, Pasal 6 ayat (1) huruf e, dan ayat (2). Ada lagi Pasal 10 huruf b dan c, Pasal 11-19, termasuk penjelasan Pasal 15.

Pasal-pasal itu yang mengakibatkan pemohon tidak dapat mengurus dan mengatur penetapan wilayah pertambangan yang ada di wilayah pemohon sendiri yang mempengaruhi pendapat asli daerah. Hal ini bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), (2), (5) UUD 1945 yang memberikan hak dan/atau kewenangan konstitusional bagi daerah untuk mengatur dan mengurus pemerintahan sendiri (asas otonomi).

Pemohon menilai pasalpasal itu menghambat kepala daerah untuk mengelola kekayaan sumber daya mineral dan batubara di wilayahnya. Sebab, penetapan WP, WUP, dan menetapkan luas dan batas WIUP menempatkan pemerintah pusat menjadi atasan dari pemerintah kabupaten/kota yang tak memiliki kewenangan untuk memutuskan. Sementara pemohon mengklaim merasa berhak mengatur energi, sumber daya, dan mineral di wilayahnya sendiri.

Sebab, Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 sudah menyebut bahwa pemerintahan daerah mengatur pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan asas otonomi daerah masing-masing. (san)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6712 seconds (0.1#10.140)