Konflik agraria marak, Tap MPR No IX/2009 diabaikan
A
A
A
Sindonews.com - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menilai maraknya konflik agraria akibat ulah pemerintah yang mengabaikan Tap MPR No IX/2009 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
"Tap MPR sudah masuk dalam tata urut perundangundangan dan hukum formal mengacu pada UU No 12/2011. Namun sangat disayangkan pemerintah tak mau mengimplementasikan Tap MPR. Adapun konflik agraria yang marak terjadi telah mengonfirmasi hal tersebut," ujar Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari saat press gathering MPR di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), akhir pekan lalu.
Hajriyanto menjelaskan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang 1970–2001 ada 1.753 kasus sengketa agraria yang melibatkan 10,9 juta hektare lahan dengan korban sekitar 1,2 juta keluarga.
Sementara sepanjang 2011, terjadi 163 konflik pertanahan dengan korban jiwa 22 orang.Sedangkan pada 2010 ada 106 konflik dengan 3 korban jiwa. "Rincian konflik agraria 2011 adalah 97 kasus di sektor perkebunan, 336 kasus sektor kehutanan, 8 kasus sektor pertambangan, serta 1 kasus sektor tambah atau pesisir. Tapi itu yang di atas kertas. Entah berapa banyak kasus yang tak tercatat. Pasti jauh lebih banyak," katanya.
Dia menambahkan,dari sisi peraturan,memang banyak UU saling tumpang tindih sehingga Tap MPR Nomor MPR IX /2001 seharusnya bisa dijadikan pegangan.
Menurut Hajriyanto, dalam Tap MPR itu ada dasar dan arahan bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Arah kebijakan dalam Tap MPR ini meliputi desakan agar dilakukan kajian ulang terhadap seluruh peraturan perundang-undangan agar terjadi sinkronisasi peraturan regulasi menyangkut agraria.
Penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. Ditegaskan pula tentang penyelesaian konflik agraria, memperkuat kelembagaan, dan kewenangan pelaksana pembaruan agraria.
"Tap MPR menjadi penting karena merosotnya keadilan agraria, kebijakan pertanahan imparsial, dan hanya memihak pemodal. Reforma agraria pada prinsipnya kita artikan untuk melakukan redistribusi kepemilikan dan penguasaan tanah sehingga sangat ampuh mengatasi kemiskinan," bebernya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua MPR Melanie Leimena mengatakan,konflik horizontal dan konflik vertikal memang banyak timbul akibat kelalaian dalam menangani masalah agraria. Padahal, Indonesia sudah memiliki prinsip dasar yang tertuang dalam empat pilar berbangsa dan bernegara.
"Banyaknya konflik terutama akibat sengketa lahan memacu kami di MPR lebih giat lagi menyosialisasikan empat pilar bangsa ini agar semua kalangan masyarakat benarbenar bisa menjiwai," ujarnya.
Melanie menjelaskan, empat pilar berbangsa harus disosialisasikan sejak dini kepada generasi muda melalui kurikulum pendidikan di sekolah. Empat pilar itu meliputi Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (san)
"Tap MPR sudah masuk dalam tata urut perundangundangan dan hukum formal mengacu pada UU No 12/2011. Namun sangat disayangkan pemerintah tak mau mengimplementasikan Tap MPR. Adapun konflik agraria yang marak terjadi telah mengonfirmasi hal tersebut," ujar Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari saat press gathering MPR di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), akhir pekan lalu.
Hajriyanto menjelaskan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang 1970–2001 ada 1.753 kasus sengketa agraria yang melibatkan 10,9 juta hektare lahan dengan korban sekitar 1,2 juta keluarga.
Sementara sepanjang 2011, terjadi 163 konflik pertanahan dengan korban jiwa 22 orang.Sedangkan pada 2010 ada 106 konflik dengan 3 korban jiwa. "Rincian konflik agraria 2011 adalah 97 kasus di sektor perkebunan, 336 kasus sektor kehutanan, 8 kasus sektor pertambangan, serta 1 kasus sektor tambah atau pesisir. Tapi itu yang di atas kertas. Entah berapa banyak kasus yang tak tercatat. Pasti jauh lebih banyak," katanya.
Dia menambahkan,dari sisi peraturan,memang banyak UU saling tumpang tindih sehingga Tap MPR Nomor MPR IX /2001 seharusnya bisa dijadikan pegangan.
Menurut Hajriyanto, dalam Tap MPR itu ada dasar dan arahan bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Arah kebijakan dalam Tap MPR ini meliputi desakan agar dilakukan kajian ulang terhadap seluruh peraturan perundang-undangan agar terjadi sinkronisasi peraturan regulasi menyangkut agraria.
Penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. Ditegaskan pula tentang penyelesaian konflik agraria, memperkuat kelembagaan, dan kewenangan pelaksana pembaruan agraria.
"Tap MPR menjadi penting karena merosotnya keadilan agraria, kebijakan pertanahan imparsial, dan hanya memihak pemodal. Reforma agraria pada prinsipnya kita artikan untuk melakukan redistribusi kepemilikan dan penguasaan tanah sehingga sangat ampuh mengatasi kemiskinan," bebernya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua MPR Melanie Leimena mengatakan,konflik horizontal dan konflik vertikal memang banyak timbul akibat kelalaian dalam menangani masalah agraria. Padahal, Indonesia sudah memiliki prinsip dasar yang tertuang dalam empat pilar berbangsa dan bernegara.
"Banyaknya konflik terutama akibat sengketa lahan memacu kami di MPR lebih giat lagi menyosialisasikan empat pilar bangsa ini agar semua kalangan masyarakat benarbenar bisa menjiwai," ujarnya.
Melanie menjelaskan, empat pilar berbangsa harus disosialisasikan sejak dini kepada generasi muda melalui kurikulum pendidikan di sekolah. Empat pilar itu meliputi Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (san)
()