Putusan MA hanya tajam ke bawah
A
A
A
Sindonews.com - Pembentukan Panitia Kerja (panja) Putusan Mahkamah Agung (MA) Berkekuatan Hukum Tetap yang Bermasalah oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dikecam karena berpotensi mengintervensi putusan. Padahal Panja ini dibentuk agar MA tidak lagi mengeluarkan putusan yang dinilai hanya tajam terhadap masyarakat bawah.
"Permasalahan putusan MA yang mengusik rasa keadilan masyarakat, misalnya putusan Rasminah, putusan Prita," tutur Wakil Ketua Komisi III DPR Nasir Djamil dalam perbincangan dengan Sindonews, Sabtu (3/3/2012).
Kualitas hakim dalam memutus perkara patut dipertanyakan. Nasir mempertanyakan kemampuan fisik hakim dalam mengelola manajemen perkara, serta dari keahlian untuk memutuskan perkara.
Pasalnya, banyak putusan MA yang justru menyisakan konflik di masyarakat. Apakah pemutusan perkara yang mengurangi rasa keadilan ini, karena "kebodohan hakim" atau karena pembuktian yang lemah dari penuntut? Nasir mempertanyakan hal itu.
"Permasalahan putusan MA yang tidak bisa dieksekusi, misalnya putusan MA tentang sengketa tanah di Surabaya, Trisakti dan tempat-tempat lainnya yang kemudian menimbulkan permasalahan sosial karena ada penolakan dari pemilik lahan atau tanah tersebut," terangnya.
Panja putusan MA yang dibentuk oleh Komisi III, kata Nasir, diarahkan agar MA mampu melakukan reformasi dirinya baik dari sisi kuantitas penyelesaian perkara (yang berdasarkan laporan tahunan 2011 sudah membaik), maupun kualitasnya.
"Lebih utama dari sisi kualitas putusan yang tidak hanya menegakkan hukum, melainkan juga mampu menegakkan keadilan serta memberikan manfaat yang banyak bagi masyarakat Indonesia," tukas Nasir. (san)
"Permasalahan putusan MA yang mengusik rasa keadilan masyarakat, misalnya putusan Rasminah, putusan Prita," tutur Wakil Ketua Komisi III DPR Nasir Djamil dalam perbincangan dengan Sindonews, Sabtu (3/3/2012).
Kualitas hakim dalam memutus perkara patut dipertanyakan. Nasir mempertanyakan kemampuan fisik hakim dalam mengelola manajemen perkara, serta dari keahlian untuk memutuskan perkara.
Pasalnya, banyak putusan MA yang justru menyisakan konflik di masyarakat. Apakah pemutusan perkara yang mengurangi rasa keadilan ini, karena "kebodohan hakim" atau karena pembuktian yang lemah dari penuntut? Nasir mempertanyakan hal itu.
"Permasalahan putusan MA yang tidak bisa dieksekusi, misalnya putusan MA tentang sengketa tanah di Surabaya, Trisakti dan tempat-tempat lainnya yang kemudian menimbulkan permasalahan sosial karena ada penolakan dari pemilik lahan atau tanah tersebut," terangnya.
Panja putusan MA yang dibentuk oleh Komisi III, kata Nasir, diarahkan agar MA mampu melakukan reformasi dirinya baik dari sisi kuantitas penyelesaian perkara (yang berdasarkan laporan tahunan 2011 sudah membaik), maupun kualitasnya.
"Lebih utama dari sisi kualitas putusan yang tidak hanya menegakkan hukum, melainkan juga mampu menegakkan keadilan serta memberikan manfaat yang banyak bagi masyarakat Indonesia," tukas Nasir. (san)
()