Perumahan rakyat dalam zona merah

Selasa, 21 Februari 2012 - 07:57 WIB
Perumahan rakyat dalam...
Perumahan rakyat dalam zona merah
A A A
Sindonews.com - Kebijakan soal perumahan rakyat seringkali berubah-ubah. Perubahan tersebut tak jarang bertentangan dengan niat pemerintah sendiri untuk menutupi kebutuhan rumah masyarakat yang diperkirakan mencapai 2,6 juta per tahun.

Angka kebutuhan perumahan tersebut terus melaju seiring pertumbuhan penduduk. Pengembang perumahan terutama untuk kelas menengah bawah pun kebingungan menyikapi langkah pemerintah belakangan ini yang telah merevisi sejumlah aturan yang sudah berlaku selama ini.

Dengar saja keluhan para pengembang yang tergabung dalam Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) seputar Undang-Undang (UU) No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman. Kehadiran UU itu cenderung mengabaikan daya beli sebagian besar masyarakat yang masih rendah.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat 3, meniadakan untuk pembangunan rumah dengan luas lebih kecil dari 36 meter persegi. Selain itu, aturan tersebut secara tidak langsung juga merugikan pengembang skala kecil. Potret buram perumahan rakyat khususnya untuk kelas menengah bawah sungguh memprihatinkan.Perumahan rakyat bagaikan duri dalam industri properti yang terus berkembang dalam tiga tahun belakangan ini.

Tengok saja perkembangan industri properti mulai dari sektor perkantoran, apartemen, rumah kelas menengah atas,pusat perbelanjaan,hingga kawasan industri terus berkibar sepanjang tahun lalu. Rumah seharga miliaran di beberapa kawasan perumahan elite terjual bak kacang goreng. Sementara perumahan rakyat tetap terbelit pada kebijakan subsidi dan kredit kepemilikan rumah (KPR).

Tak berlebihan bila menyebut kondisi perumahan rakyat sudah berada di zona merah. Kementerian Perumahan Rakyat memang terus mencari solusi bagaimana mengatasi keterbatasan perumahan tersebut, bahkan menargetkan pembangunan 1 juta unit rumah murah hingga 2014.

Namun,kendala di balik usaha tersebut masih terganjal persoalan klasik,mulai dari kesulitan untuk penyediaan lahan hingga kesulitan untuk menekan perbankan menyalurkan KPR yang terjangkau bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Bagaimana dengan program pemerintah lewat Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang digulirkan sejak Oktober 2010?

Program tersebut masih berjalan tertatih-tatih, bahkan nyaris mati di tengah jalan.FLPP yang berwujud subsidi suku bunga kredit tetap yang berkisar 8,15–9,95 persen selama 15 tahun dengan sumber dana dari pemerintah dan perbankan ternyata masih terlalu tinggi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Sepanjang tahun lalu penyerapan FLPP belum sesuai harapan pemerintah selain diwarnai berbagai kendala mulai dari penyerapan yang rendah oleh MBR karena bunga tak terjangkau, juga dipengaruhi kesediaan pengembang membangun rumah yang didanai dari FLPP. Pengembang tidak hanya terkendala soal administrasi dan birokrasi FLPP yang rumit, juga keuntungan yang sangat tipis.

Pengembang memilih lipat tangan ketimbang harus bekerja bakti demi perumahan rakyat. Kementerian Perumahan Rakyat mencoba mencairkan persoalan tersebut dengan mengusulkan penurunan suku bunga kredit menjadi 5 persen, berharap MBR bisa memanfaatkan fasilitas tersebut.Namun, giliran perbankan yang tidak nyaman dengan usulan perubahan suku bunga tersebut. Pihak perbankan beralasan kesulitan mendapatkan skema pendanaan jangka panjang.

Akibat itu, roda FLPP sempat berhenti berputar pada awal tahun ini. Namun, setelah melalui perdebatan panjang akhirnya kredit perumahan rakyat itu ditetapkan pada kisaran tujuh persen yang didukung empat bank.(azh)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0384 seconds (0.1#10.140)