Aptisi layangkan surat protes terkait jurnal ilmiah
A
A
A
Sindonews.com – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tampaknya tetap bersikeras menerapkan aturan syarat pembuatan jurnal ilmiah bagi lulusan sarjana (S-1).
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Djoko Santoso menyatakan, kewajiban publikasi artikel di jurnal ilmiah justru akan memetakan kualitas perguruan tinggi.
“Dengan kebijakan publikasi artikel ini, nanti akan diketahui mana perguruan tinggi (PT) yang mampu, mana yang belum mampu. Publikasi artikel ini bersifat wajib bagi mahasiswa yang akan lulus,” ungkap Djoko di Semarang kemarin.
Berdasarkan surat edaran (SE) Dirjen Dikti Kemendikbud tertanggal 27 Januari 2012 itu, untuk lulus sarjana (S1) harus membuat makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah, magister (S-2) pada jurnal nasional, dan doktor (S-3) pada jurnal internasional.
Mengenai penolakan sebagian perguruan tinggi terhadap syarat ini, Djoko mempersilakan itu. Menurut dia, penolakan itu dengan sendirinya memperlihatkan perguruan tinggi yang bersangkutan belum mampu memublikasikan artikel ke jurnal ilmiah.
“Kalau tidak mau, tidak apa-apa. Mereka yang menolak bisa diartikan mereka tidak sanggup atau tidak bisa. Cuma dua ini kemungkinan alasan menolak. Padahal sarjana harus mampu menulis artikel atau karya ilmiah,”tandasnya.
Terkait penjatuhan sanksi terhadap perguruan tinggi yang tidak melaksanakan kebijakan itu, Djoko mengatakan, penulisan dan publikasi karya ilmiah merupakan kesadaran dunia akademis. Seorang sarjana harus mampu menulis artikel atau karya ilmiah.
“Apa sanksinya? Ora ilok(tidak baik) atau pamali dalam bahasa Sundanya. Sarjana harus mampu menulis karya ilmiah. Kalau tidak bisa atau tidak sanggup melakukannya, ya ora ilok dalam istilah Jawa,”ucapnya.
Djoko mengaku, ada penilaian bahwa nanti kebijakan itu melahirkan jurnal-jurnalan atau jurnal abal-abal. Namun, itu semua sebenarnya bergantung pada perguruan tinggi yang bersangkutan.
“Itu kembali lagi jadi jurnal-jurnalan kalau yang membuat mahasiswa-mahasiswaan yang diuji oleh dosen-dosenan. Namun, kalau mahasiswa bersangkutan, dosen, dan perguruan tinggi serius, akan jadi jurnal ilmiah beneran,”katanya.
Karena itu, Djoko tidak melihat kewajiban publikasi artikel dalam jurnal ilmiah itu sebagai beban mengingat mahasiswa membuat artikel tersebut berdasarkan skripsi atau laporan akhir yang sudah dibuatnya sebelum lulus.
Aptisi akan melayangkan surat protes kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh terkait kebijakan pembuatan jurnal ilmiah ini.
Dalam suratnya, Aptisi tidak hanya menyinggung masalah publikasi karya ilmiah sebagai syarat kelulusan mahasiswa, tapi ada juga materi-materi lainnya.
Sekretaris Jenderal Aptisi Suyatno mengungkapkan, surat protes tersebut berisi poinpoin penting mengenai pendidikan. “Sesuai hasil rapat pleno Aptisi di Padang, ada sembilan poin dalam surat untuk Pak Menteri,” ungkap Suyatno.
Rektor UHAMKA ini mengaku bahwa memang saat ini yang menjadi sorotan masyarakat adalah kebijakan publikasi jurnal ilmiah. Namun, ada hal lain yang menjadi konsentrasi Aptisi selain kebijakan itu.
“Aptisi bertekad meningkatkan sumber daya manusia dengan berperan untuk menekan angka pengangguran di Indonesia,”tandasnya.(lin)
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Djoko Santoso menyatakan, kewajiban publikasi artikel di jurnal ilmiah justru akan memetakan kualitas perguruan tinggi.
“Dengan kebijakan publikasi artikel ini, nanti akan diketahui mana perguruan tinggi (PT) yang mampu, mana yang belum mampu. Publikasi artikel ini bersifat wajib bagi mahasiswa yang akan lulus,” ungkap Djoko di Semarang kemarin.
Berdasarkan surat edaran (SE) Dirjen Dikti Kemendikbud tertanggal 27 Januari 2012 itu, untuk lulus sarjana (S1) harus membuat makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah, magister (S-2) pada jurnal nasional, dan doktor (S-3) pada jurnal internasional.
Mengenai penolakan sebagian perguruan tinggi terhadap syarat ini, Djoko mempersilakan itu. Menurut dia, penolakan itu dengan sendirinya memperlihatkan perguruan tinggi yang bersangkutan belum mampu memublikasikan artikel ke jurnal ilmiah.
“Kalau tidak mau, tidak apa-apa. Mereka yang menolak bisa diartikan mereka tidak sanggup atau tidak bisa. Cuma dua ini kemungkinan alasan menolak. Padahal sarjana harus mampu menulis artikel atau karya ilmiah,”tandasnya.
Terkait penjatuhan sanksi terhadap perguruan tinggi yang tidak melaksanakan kebijakan itu, Djoko mengatakan, penulisan dan publikasi karya ilmiah merupakan kesadaran dunia akademis. Seorang sarjana harus mampu menulis artikel atau karya ilmiah.
“Apa sanksinya? Ora ilok(tidak baik) atau pamali dalam bahasa Sundanya. Sarjana harus mampu menulis karya ilmiah. Kalau tidak bisa atau tidak sanggup melakukannya, ya ora ilok dalam istilah Jawa,”ucapnya.
Djoko mengaku, ada penilaian bahwa nanti kebijakan itu melahirkan jurnal-jurnalan atau jurnal abal-abal. Namun, itu semua sebenarnya bergantung pada perguruan tinggi yang bersangkutan.
“Itu kembali lagi jadi jurnal-jurnalan kalau yang membuat mahasiswa-mahasiswaan yang diuji oleh dosen-dosenan. Namun, kalau mahasiswa bersangkutan, dosen, dan perguruan tinggi serius, akan jadi jurnal ilmiah beneran,”katanya.
Karena itu, Djoko tidak melihat kewajiban publikasi artikel dalam jurnal ilmiah itu sebagai beban mengingat mahasiswa membuat artikel tersebut berdasarkan skripsi atau laporan akhir yang sudah dibuatnya sebelum lulus.
Aptisi akan melayangkan surat protes kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh terkait kebijakan pembuatan jurnal ilmiah ini.
Dalam suratnya, Aptisi tidak hanya menyinggung masalah publikasi karya ilmiah sebagai syarat kelulusan mahasiswa, tapi ada juga materi-materi lainnya.
Sekretaris Jenderal Aptisi Suyatno mengungkapkan, surat protes tersebut berisi poinpoin penting mengenai pendidikan. “Sesuai hasil rapat pleno Aptisi di Padang, ada sembilan poin dalam surat untuk Pak Menteri,” ungkap Suyatno.
Rektor UHAMKA ini mengaku bahwa memang saat ini yang menjadi sorotan masyarakat adalah kebijakan publikasi jurnal ilmiah. Namun, ada hal lain yang menjadi konsentrasi Aptisi selain kebijakan itu.
“Aptisi bertekad meningkatkan sumber daya manusia dengan berperan untuk menekan angka pengangguran di Indonesia,”tandasnya.(lin)
()