Rasisme terhadap Etnis Thionghoa warisan Belanda
A
A
A
Sindonews.com - Etnis Thionghoa di Indonesia seharusnya tak bisa dibilang asing. Karena keberadaan mereka sudah ada sebelum Indonesia merdeka, bahkan kebudayaan yang dibawa juga sudah teralkuturasi sangat dalam.
Selama ini, etnis Thionghoa mendapat perlakuan rasis akibat doktrin politik kolonial Belanda yang saat itu memang rasis.
Hal itu diungkapkan sejarahwan, JJ Rizal, yang juga warga keturunan Thionghoa dalam diskusi "Imlek dan Kiprah Thionghoa Kini" di Warung Daun, Jalan Cikini Raya, Jakarta, Sabtu (21/1/2012).
Menurut Rizal, etnis China selama ini memang diciptakan oleh politik asing. Kekuatan Kolonial Belanda sangat rasis saat itu. Saat peristiwa G 30S PKI 1965 silam, ada anggapan orang China atau etnis Thionghoa adalah komunis. Saat itulah komunis dianggap seperti hantu.
"Karena dianggap seperti hantu itulah makanya warga etnis Thionghoa dihajar bahkan diusir oleh aparat. Segala macam berbau China sempat dilarang," kata Rizal.
Maka itu tak heran, etnis Thionghoa sengaja ditempatkan di kampung-kampung khusus. Contohnya, Kampung China di Glodok, saat itu mereka tidak boleh bergaul, dan kalau keluar harus memakai pass (kartu identitas) khusus. Kondisi tersebut juga sempat terjadi lagi pada masa orde baru.
"Jadi setiap ngomong China, dianggap menghina. Padahal di dalam sejarahnya tidak pernah ada masalah. Kita mengenal pete China, pacar China," tuturnya.
masih menurut Rizal, etnis Thionghoa sebenarnya justru ingin berbaur dengan masyarakat pribumi. Salah satu contoh adalah budaya 'Lontong Cap Gomeh' yang dilakukan pada masa perayaan hari raya Imlek. Lontong Cap Gomeh adalah perayaan 15 hari setelah hari imlek.
Lalu mengapa sebutannya lontong? lanjut Rizal, sebenarnya tradisi tersebut tidak pernah dikenal di negara China sendiri. Itu tradisi yang diadopsi masyarakat Thionghoa dari masyarakat pribumi.
"Perayaan Cap Go Meh bagi masyarakat Tionghoa, dirasa tidak lengkap tanpa kehadiran makanan lontong. Seperti halnya perayaan Idul Fitri yang kurang lengkap tanpa hadirnya ketupat sayur. Lontong Cap Go Meh yang disajikan lengkap dengan sambal goreng, krecek, dan opor ayam hanya bisa ditemui di Indonesia," terang Rizal.
Dengan nada setengah berkelakar, Rizal menuturkan orang-orang Thionghoa selama ini sedang berjuang untuk melawan lupa. Lupa yang dimaksud adalah lupa orang tuanya bukan darah asing bagi Indonesia.
"Jadi, dari situ kita bisa menyimpulkan, selama ini kita saling memberi. Sebenarnya kita bukan orang asing. Dan dari situ pula, bukti dua kebudayaan China dan Indonesia sudah teralkutrasi," ungkapnya. (lin)
Selama ini, etnis Thionghoa mendapat perlakuan rasis akibat doktrin politik kolonial Belanda yang saat itu memang rasis.
Hal itu diungkapkan sejarahwan, JJ Rizal, yang juga warga keturunan Thionghoa dalam diskusi "Imlek dan Kiprah Thionghoa Kini" di Warung Daun, Jalan Cikini Raya, Jakarta, Sabtu (21/1/2012).
Menurut Rizal, etnis China selama ini memang diciptakan oleh politik asing. Kekuatan Kolonial Belanda sangat rasis saat itu. Saat peristiwa G 30S PKI 1965 silam, ada anggapan orang China atau etnis Thionghoa adalah komunis. Saat itulah komunis dianggap seperti hantu.
"Karena dianggap seperti hantu itulah makanya warga etnis Thionghoa dihajar bahkan diusir oleh aparat. Segala macam berbau China sempat dilarang," kata Rizal.
Maka itu tak heran, etnis Thionghoa sengaja ditempatkan di kampung-kampung khusus. Contohnya, Kampung China di Glodok, saat itu mereka tidak boleh bergaul, dan kalau keluar harus memakai pass (kartu identitas) khusus. Kondisi tersebut juga sempat terjadi lagi pada masa orde baru.
"Jadi setiap ngomong China, dianggap menghina. Padahal di dalam sejarahnya tidak pernah ada masalah. Kita mengenal pete China, pacar China," tuturnya.
masih menurut Rizal, etnis Thionghoa sebenarnya justru ingin berbaur dengan masyarakat pribumi. Salah satu contoh adalah budaya 'Lontong Cap Gomeh' yang dilakukan pada masa perayaan hari raya Imlek. Lontong Cap Gomeh adalah perayaan 15 hari setelah hari imlek.
Lalu mengapa sebutannya lontong? lanjut Rizal, sebenarnya tradisi tersebut tidak pernah dikenal di negara China sendiri. Itu tradisi yang diadopsi masyarakat Thionghoa dari masyarakat pribumi.
"Perayaan Cap Go Meh bagi masyarakat Tionghoa, dirasa tidak lengkap tanpa kehadiran makanan lontong. Seperti halnya perayaan Idul Fitri yang kurang lengkap tanpa hadirnya ketupat sayur. Lontong Cap Go Meh yang disajikan lengkap dengan sambal goreng, krecek, dan opor ayam hanya bisa ditemui di Indonesia," terang Rizal.
Dengan nada setengah berkelakar, Rizal menuturkan orang-orang Thionghoa selama ini sedang berjuang untuk melawan lupa. Lupa yang dimaksud adalah lupa orang tuanya bukan darah asing bagi Indonesia.
"Jadi, dari situ kita bisa menyimpulkan, selama ini kita saling memberi. Sebenarnya kita bukan orang asing. Dan dari situ pula, bukti dua kebudayaan China dan Indonesia sudah teralkutrasi," ungkapnya. (lin)
()