Pemberantasan korupsi merosot
A
A
A
Sindonews.com-Persepsi pemberantasan korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun kian merosot. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan bahwa persepsi ini terendah sejak kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Dari hasil survei yang kita lakukan menunjukkan bahwa hanya 44 persen responden menjawab kinerja pemberantasan korupsi kita baik.Padahal, pada Desember 2008, kepuasan publik pada pemberantasan korupsi mencapai 77 persen. Hasil kali ini merupakan yang terendah sejak SBY menjadi presiden,” kata Direktur Eksekutif LSI Dodi Ambardi saat memaparkan hasil surveinya di Jakarta kemarin.
Dodi memaparkan, persepsi publik mengalami tren penurunan secara rutin dari tahun ke tahun. Pada survei Desember 2009, persentase responden yang puas pada kinerja pemberantasan korupsi sebesar persen. Kemudian pada Desember 2010 turun menjadi 52 persen. “Jadi, kalau sekarang 44 persen, berarti menurunnya tajam,” tandasnya.
Survei LSI tersebut dilakukan pada 8 – 17 Desember 2011 dengan 1.220 responden dan margin of error -2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Adapun populasi survei adalah warga negara Indonesia (WNI) yang sudah berusia 17 tahun ke atas.
Menurut Dodi, menurunnya tingkat persepsi publik terhadap kinerja pemberantasan korupsi lebih banyak dipengaruhi belum tuntasnya kasus-kasus korupsi yang menjadi sorotan publik. Utamanya, kasus yang memiliki profil politik tinggi seperti bailout Bank Century, cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur BI, serta skandal mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
Secara lebih rinci Dodi menerangkan bahwa persepsi negatif terkait pemberantasan korupsi juga menghinggapi lembaga-lembaga strategis negara. Dari 11 lembaga negara yang disurvei, hanya TNI yang dinilai paling bersih dan dipercaya publik dengan 57 persen serta Presiden dengan 51 persen.
“Kepercayaan publik pada lembaga lain masih di bawah 50 persen. Masing-masing Kepolisian 39,1 persen, KPK 38,5 persen, Bank Indonesia 38,2 persen, Mahkamah Konstitusi 37,7 persen, Mahkamah Agung 34,9 persen, Badan Pemeriksa Keuangan 33,8 persen, Kejaksaan Agung 33,2 persen, Dewan Perwakilan Rakyat 31,1 persen,dan partai politik 30,2 persen. Dari sini kami menyimpulkan bahwa publik pada umumnya tidak percaya bahwa lembaga-lembaga bersih dari korupsi,” katanya.
Praktisi hukum senior Todung Mulya Lubis mengatakan, menurunnya persepsi publik pada kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia tak lepas dari indikasi tebang pilih dalam pengusutan kasus korupsi.Penanganan kasus-kasus besar seperti dibonsai dan hanya ditujukan ada penerima,sedangkan penyuplainya tidak.
“Penegakan kasus korupsi itu harus dari dua sisi mata uang. Ada supply side dan demand side. Namun, kok hanya demand side yang terungkap. Ke mana supply side? Karena tidak tuntas ini makanya publik tak percaya,” ucap Todung.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, menurunnya persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi bisa jadi akibat sorotan media yang lebih cenderung hanya pada penindakan. Padahal, selain melakukan penindakan, KPK juga harus mengembangkan upaya pemberantasan korupsi secara pembenahan sistemis melalui sejumlah kegiatan.
“Hasil survei LSI ini akan berarti banyak jika dimanfaatkan dengan baik. Hanya, semua harus mulai melihat dan meletakkan persepsi pemberantasan korupsi dalam konteks yang lebih luas. Bukan hanya penindakan,” tandasnya.
“Dari hasil survei yang kita lakukan menunjukkan bahwa hanya 44 persen responden menjawab kinerja pemberantasan korupsi kita baik.Padahal, pada Desember 2008, kepuasan publik pada pemberantasan korupsi mencapai 77 persen. Hasil kali ini merupakan yang terendah sejak SBY menjadi presiden,” kata Direktur Eksekutif LSI Dodi Ambardi saat memaparkan hasil surveinya di Jakarta kemarin.
Dodi memaparkan, persepsi publik mengalami tren penurunan secara rutin dari tahun ke tahun. Pada survei Desember 2009, persentase responden yang puas pada kinerja pemberantasan korupsi sebesar persen. Kemudian pada Desember 2010 turun menjadi 52 persen. “Jadi, kalau sekarang 44 persen, berarti menurunnya tajam,” tandasnya.
Survei LSI tersebut dilakukan pada 8 – 17 Desember 2011 dengan 1.220 responden dan margin of error -2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Adapun populasi survei adalah warga negara Indonesia (WNI) yang sudah berusia 17 tahun ke atas.
Menurut Dodi, menurunnya tingkat persepsi publik terhadap kinerja pemberantasan korupsi lebih banyak dipengaruhi belum tuntasnya kasus-kasus korupsi yang menjadi sorotan publik. Utamanya, kasus yang memiliki profil politik tinggi seperti bailout Bank Century, cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur BI, serta skandal mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
Secara lebih rinci Dodi menerangkan bahwa persepsi negatif terkait pemberantasan korupsi juga menghinggapi lembaga-lembaga strategis negara. Dari 11 lembaga negara yang disurvei, hanya TNI yang dinilai paling bersih dan dipercaya publik dengan 57 persen serta Presiden dengan 51 persen.
“Kepercayaan publik pada lembaga lain masih di bawah 50 persen. Masing-masing Kepolisian 39,1 persen, KPK 38,5 persen, Bank Indonesia 38,2 persen, Mahkamah Konstitusi 37,7 persen, Mahkamah Agung 34,9 persen, Badan Pemeriksa Keuangan 33,8 persen, Kejaksaan Agung 33,2 persen, Dewan Perwakilan Rakyat 31,1 persen,dan partai politik 30,2 persen. Dari sini kami menyimpulkan bahwa publik pada umumnya tidak percaya bahwa lembaga-lembaga bersih dari korupsi,” katanya.
Praktisi hukum senior Todung Mulya Lubis mengatakan, menurunnya persepsi publik pada kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia tak lepas dari indikasi tebang pilih dalam pengusutan kasus korupsi.Penanganan kasus-kasus besar seperti dibonsai dan hanya ditujukan ada penerima,sedangkan penyuplainya tidak.
“Penegakan kasus korupsi itu harus dari dua sisi mata uang. Ada supply side dan demand side. Namun, kok hanya demand side yang terungkap. Ke mana supply side? Karena tidak tuntas ini makanya publik tak percaya,” ucap Todung.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, menurunnya persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi bisa jadi akibat sorotan media yang lebih cenderung hanya pada penindakan. Padahal, selain melakukan penindakan, KPK juga harus mengembangkan upaya pemberantasan korupsi secara pembenahan sistemis melalui sejumlah kegiatan.
“Hasil survei LSI ini akan berarti banyak jika dimanfaatkan dengan baik. Hanya, semua harus mulai melihat dan meletakkan persepsi pemberantasan korupsi dalam konteks yang lebih luas. Bukan hanya penindakan,” tandasnya.
()