Parpol-parpol masih berdebat soal sistem Pemilu
A
A
A
Sindonews.com– Berbagai fraksi di Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu DPR diminta mengefektifkan lobi-lobi sejumlah isu krusial sesuai yang telah diagendakan secara khusus pada masa reses kali ini.
Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso menyatakan,Golkar tidak memberikan harga mati dalam setiap sikap maupun usulan yang telah dikemukakan dalam pembahasan di Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu.
Karena itu, lobi-lobi menyangkut beberapa isu krusial dan sensitif dalam RUU ini seperti sistem pemilu, parliamentary threshold (PT), alokasi kursi, dan jumlah daerah pemilihan (dapil) idealnya bisa tuntas pada masa reses yang akan berakhir 8 Januari mendatang.
Dengan demikian, pada masa persidangan mendatang, pembahasan formal akan jauh lebih mudah mencapai kesepakatan dan solusi.
”Lebih baik sepakat sejak awal. Jika memang tidak ada kesepakatan, pengambilan keputusan akan dilakukan dengan cara voting. Pasti selesai itu. Tidak perlu ada aksi boikot karena cara itu tidak etis dan tidak mencerminkan suara seluruh rakyat,” katanya di Jakarta, 1 Januari 2012.
Wakil Ketua DPR ini meyakini tidak akan ada aksi boikot dari partai menengah. Pihaknya juga optimistis RUU Pemilu bisa disahkan tepat waktu dengan jalan akhir negosiasi. ”Mudah-mudahan seluruh partai agar menggunakan kepala dingin dalam masalah ini. Ini kan untuk kepentingan bersama,” tandasnya.
Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu DPR Arwani M Thomaf menyebutkan, waktu pengesahan RUU Pemilu bisa mencapai target asalkan dinamika yang ada di Pansus bisa disaring.
Seperti diketahui, setelah perdebatan soal PT mengemuka, kini fraksi-fraksi di DPR sedang memperdebatkan sistem pemilu yang akan dipakai pada Pemilu 2014. Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Al Muzzammil Yusuf mengusulkan penggunaan sistem proporsional tertutup sebagai sistem terbaik untuk pemilu ke depan.
PKS sebelumnya memilih proporsional terbuka, tetapi belakangan satu sikap dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Muzzammil mengungkapkan, setelah melalui kajian mendalam di Fraksi PKS,akhirnya pihaknya memutuskan untuk mengajukan sistem proporsional tertutup yang diawali dengan pemilu internal partai politik. Dia menjelaskan, banyak catatan kekurangan sistem proporsional terbuka yang diterapkan pada Pemilu 2009.
”Di antaranya, posisi partai politik lemah.Caleg cenderung individualistis,biaya kampanye mahal karena setiap calon beriklan, dan sulitnya rekapitulasi hasil pemilu karena kerumitan cara peng-hitungan dengan sistem terbuka,”jelasnya.
Hal senada diungkapkan anggota Fraksi PKB Abdul Malik Haramain.Menurut dia,hasil kajian dan analisis tim RUU Pemilu dari PKB menyimpulkan bahwa sistem pemilu proporsional tertutup lebih ideal diberlakukan untuk Pemilu 2014.
Dia menyadari bahwa proporsional tertutup atau terbuka punya kelebihan dan kelemahan. Namun, bagi PKB ke depan, salah satu agenda prioritas adalah penguatan partai.
Pengalaman Pemilu 2009 yang dominasi persaingan kurang sehat antarcaleg telah melemahkan keberadaan partai. Selain pertimbangan penguatan institusi partai, pilihan proporsional tertutup lebih bisa mengurangi persaingan yang tidak fair antarcaleg di satu partai maupun persaingan antarcaleg dengan partai lain.
”Contohnya, berdasar pengalaman Pemilu 2009, persaingan cenderung liberal dan disinyalir menggunakan segala cara, termasuk politik uang untuk memperoleh suara terbanyak. Tidak mudah untuk mengatasi dugaan politik uang.Tidak aneh potensi konflik antarcaleg begitu dominan pada Pemilu 2009,”ujarnya.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menilai, sistem proporsional tertutup sebetulnya tak berpihak kepada rakyat. Dia menganggap sistem proporsional tertutup sangat rawan karena sistem ini menghendaki partai untuk berkuasa penuh pada calegnya.
Di sisi lain, sistem proporsional terbuka memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih calegnya tanpa harus mendapat intervensi dari parpol tempat caleg bernaung.
Dalam sistem ini, hanya caleg yang meraih dukungan penuh rakyat yang bisa duduk di kursi legislatif. Sistem ini juga menciptakan kompetisi yang sehat antara para calon.Sistem pencalonan yang lebih demokratis dalam partai politik, mengikis sistem oligarki partai,dan mendapatkan calon terpilih yang lebih akuntabel bagi konstituennya.
”Dengan menggunakan sistem proporsional terbuka ini, pemilih tidak akan lagi dibohongi. Partai juga akan lebih dinilai positif oleh masyarakat karena telah memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat pemilih untuk menetapkan siapa yang menjadi wakilnya di DPR,”terang Indria.
Pendiri Center for Electoral Reform (Cetro) Ani Soetjipto mengatakan, sistem pemilu yang diterapkan pada Pemilu Legislatif 2009 lalu banyak menyisakan masalah, salah satunya membuat proses demokrasi internal parpol tidak berjalan dan memancing praktik jual beli suara sehingga orangorang yang terpilih dalam pemilu adalah orang-orang yang secara kapasitas tidak mumpuni.
Implikasi negatif lainnya, mayoritas perempuan di parlemen masuk melalui tiga partai besar, yaitu Demokrat, Golkar, dan PDI Perjuangan. Sementara di tiga partai besar ini,kata Ani, sistemnya masih berantakan. ”Partai tidak mengerti kenapa ada afirmatif atau prioritas,”tandasnya.
Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menyatakan, molornya pembahasan RUU Pemilu akan memengaruhi tahapan pemilu. Akibatnya, persiapan dalam setiap tahapan pemilu dilakukan secara terburu-buru.
”Kalau waktunya sudah mepet tidak mungkin verifikasi parpol dan data pemilih dilakukan dengan benar,”jelas Sebastian.
Pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya menilai, bila UU Pemilu baru bisa disahkan setelah Maret 2012, beban kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendatang akan berlebihan dan semakin berat.
”Waktu yang pendek membuat sulit untuk memantau dan mengawasi secara lebih baik. RUU Pemilu akan terlambat dan ini akan menjadikan kualitas pemilu buruk seperti masa lalu atau bahkan bisa jadi lebih buruk lagi,”tandasnya.
Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso menyatakan,Golkar tidak memberikan harga mati dalam setiap sikap maupun usulan yang telah dikemukakan dalam pembahasan di Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu.
Karena itu, lobi-lobi menyangkut beberapa isu krusial dan sensitif dalam RUU ini seperti sistem pemilu, parliamentary threshold (PT), alokasi kursi, dan jumlah daerah pemilihan (dapil) idealnya bisa tuntas pada masa reses yang akan berakhir 8 Januari mendatang.
Dengan demikian, pada masa persidangan mendatang, pembahasan formal akan jauh lebih mudah mencapai kesepakatan dan solusi.
”Lebih baik sepakat sejak awal. Jika memang tidak ada kesepakatan, pengambilan keputusan akan dilakukan dengan cara voting. Pasti selesai itu. Tidak perlu ada aksi boikot karena cara itu tidak etis dan tidak mencerminkan suara seluruh rakyat,” katanya di Jakarta, 1 Januari 2012.
Wakil Ketua DPR ini meyakini tidak akan ada aksi boikot dari partai menengah. Pihaknya juga optimistis RUU Pemilu bisa disahkan tepat waktu dengan jalan akhir negosiasi. ”Mudah-mudahan seluruh partai agar menggunakan kepala dingin dalam masalah ini. Ini kan untuk kepentingan bersama,” tandasnya.
Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu DPR Arwani M Thomaf menyebutkan, waktu pengesahan RUU Pemilu bisa mencapai target asalkan dinamika yang ada di Pansus bisa disaring.
Seperti diketahui, setelah perdebatan soal PT mengemuka, kini fraksi-fraksi di DPR sedang memperdebatkan sistem pemilu yang akan dipakai pada Pemilu 2014. Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Al Muzzammil Yusuf mengusulkan penggunaan sistem proporsional tertutup sebagai sistem terbaik untuk pemilu ke depan.
PKS sebelumnya memilih proporsional terbuka, tetapi belakangan satu sikap dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Muzzammil mengungkapkan, setelah melalui kajian mendalam di Fraksi PKS,akhirnya pihaknya memutuskan untuk mengajukan sistem proporsional tertutup yang diawali dengan pemilu internal partai politik. Dia menjelaskan, banyak catatan kekurangan sistem proporsional terbuka yang diterapkan pada Pemilu 2009.
”Di antaranya, posisi partai politik lemah.Caleg cenderung individualistis,biaya kampanye mahal karena setiap calon beriklan, dan sulitnya rekapitulasi hasil pemilu karena kerumitan cara peng-hitungan dengan sistem terbuka,”jelasnya.
Hal senada diungkapkan anggota Fraksi PKB Abdul Malik Haramain.Menurut dia,hasil kajian dan analisis tim RUU Pemilu dari PKB menyimpulkan bahwa sistem pemilu proporsional tertutup lebih ideal diberlakukan untuk Pemilu 2014.
Dia menyadari bahwa proporsional tertutup atau terbuka punya kelebihan dan kelemahan. Namun, bagi PKB ke depan, salah satu agenda prioritas adalah penguatan partai.
Pengalaman Pemilu 2009 yang dominasi persaingan kurang sehat antarcaleg telah melemahkan keberadaan partai. Selain pertimbangan penguatan institusi partai, pilihan proporsional tertutup lebih bisa mengurangi persaingan yang tidak fair antarcaleg di satu partai maupun persaingan antarcaleg dengan partai lain.
”Contohnya, berdasar pengalaman Pemilu 2009, persaingan cenderung liberal dan disinyalir menggunakan segala cara, termasuk politik uang untuk memperoleh suara terbanyak. Tidak mudah untuk mengatasi dugaan politik uang.Tidak aneh potensi konflik antarcaleg begitu dominan pada Pemilu 2009,”ujarnya.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menilai, sistem proporsional tertutup sebetulnya tak berpihak kepada rakyat. Dia menganggap sistem proporsional tertutup sangat rawan karena sistem ini menghendaki partai untuk berkuasa penuh pada calegnya.
Di sisi lain, sistem proporsional terbuka memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih calegnya tanpa harus mendapat intervensi dari parpol tempat caleg bernaung.
Dalam sistem ini, hanya caleg yang meraih dukungan penuh rakyat yang bisa duduk di kursi legislatif. Sistem ini juga menciptakan kompetisi yang sehat antara para calon.Sistem pencalonan yang lebih demokratis dalam partai politik, mengikis sistem oligarki partai,dan mendapatkan calon terpilih yang lebih akuntabel bagi konstituennya.
”Dengan menggunakan sistem proporsional terbuka ini, pemilih tidak akan lagi dibohongi. Partai juga akan lebih dinilai positif oleh masyarakat karena telah memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat pemilih untuk menetapkan siapa yang menjadi wakilnya di DPR,”terang Indria.
Pendiri Center for Electoral Reform (Cetro) Ani Soetjipto mengatakan, sistem pemilu yang diterapkan pada Pemilu Legislatif 2009 lalu banyak menyisakan masalah, salah satunya membuat proses demokrasi internal parpol tidak berjalan dan memancing praktik jual beli suara sehingga orangorang yang terpilih dalam pemilu adalah orang-orang yang secara kapasitas tidak mumpuni.
Implikasi negatif lainnya, mayoritas perempuan di parlemen masuk melalui tiga partai besar, yaitu Demokrat, Golkar, dan PDI Perjuangan. Sementara di tiga partai besar ini,kata Ani, sistemnya masih berantakan. ”Partai tidak mengerti kenapa ada afirmatif atau prioritas,”tandasnya.
Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menyatakan, molornya pembahasan RUU Pemilu akan memengaruhi tahapan pemilu. Akibatnya, persiapan dalam setiap tahapan pemilu dilakukan secara terburu-buru.
”Kalau waktunya sudah mepet tidak mungkin verifikasi parpol dan data pemilih dilakukan dengan benar,”jelas Sebastian.
Pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya menilai, bila UU Pemilu baru bisa disahkan setelah Maret 2012, beban kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendatang akan berlebihan dan semakin berat.
”Waktu yang pendek membuat sulit untuk memantau dan mengawasi secara lebih baik. RUU Pemilu akan terlambat dan ini akan menjadikan kualitas pemilu buruk seperti masa lalu atau bahkan bisa jadi lebih buruk lagi,”tandasnya.
()