Perlindungan buruh migran jangan hanya wacana

Kamis, 29 September 2011 - 15:55 WIB
Perlindungan buruh migran jangan hanya wacana
Perlindungan buruh migran jangan hanya wacana
A A A
Sindonews.com - Konferensi Parlemen se-Asia yang digelar di Solo, 28 September sampai 2 Oktober 2011 mengagendakan upaya perlindungan bagi tenaga kerja. Upaya ini perlu diapresiasi, namun diharapkan ada hasil yang benar-benar konkret dan strategis, sehingga menjadi kesepakatan bersama antarnegara Asia untuk melindungi pekerja migran.

Anggota Komisi IX DPR Anshosy Siregar memaparkan kasus terakhir yang terjadi terhadap buruh migran Indonesia yakni hukuman pancung terhadap Ruyati, karena dituduh membunuh majikannya di Arab Saudi. Kasus yang menimpa Ruyati ini menggambarkan begitu tak berdayanya Indonesia di mata negara lain di Asia, tanpa pembelaan dan perlindungan sekalian.

“Coba kita bandingkan dengan Philipina yang kepala negaranya begitu memiliki perhatian luar biasa terhadap warganya yang menjadi pekerja/buruh migran di negara lain,” katanya di Jakarta, Kamis (29/9/2011).

Anshory berharap, dalam Konferensi Parlemen Asia ini dirumuskan suatu kesepakatan baru dalam melindungi pekerja/buruh migran dari negara lain. Ada beberapa hal yang perlu disepakati yakni mengenai peran masing-masing negara untuk memberikan keamanan dan payung hukum terhadap para pekerja migran dari negara lain.

Selain itu, penting juga upaya penempatan buruh migran di negara masing-masing dengan data base yang akurat. “Poin penting terakhir adalah dibuatnya memorandum of understanding mengenai gaji layak, jam kerja jelas, libur, dan perlindungan hukum serta perlakuan yang manusiawi. Kalau hal ini bisa disepakati, maka akan menjadi payung hukum sekaligus politik bagi buruh migran," tuturnya.

Sementara itu anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka menyoroti pernyataan Dubes RI untuk Arab Saudi yang menanggapi hasil investigasi Migrant Care terkait kasus Ruyati, memperlihatkan pola lepas tangan pemerintah.

Dubes tersebut mengatakan, bahwa Migrant Care jangan hanya kritik tapi siapkan pengacara dan biaya untuk membayarnya adalah sebuah statement yang tidak patut dan tidak memiliki landasan yang jelas. "Pemerintah wajib menyediakan pengacara yang andal untuk kasus-kasus TKI di berbagai negara," kata polistis PDIP itu.

Dari mana anggarannya? Menurut akumulasi data yang dikeluarkan Kemenakertrans dan BNP2TKI, sedikitnya 500 ribu TKI per tahun yang diberangkatkan. Menurut Rieke, sumber-sumber dana yang bisa digunakan untuk membayar pengacara; pertama, dana yang dipungut langsung dari TKI sebelum keberangkatan.

Yakni, PNBP per orang USD15 x 500 ribu, asuransi TKI per orang Rp400.000 yang salah satunya untuk biaya pendampingan hukum di negara tujuan TKI. Kemudian, PNBP yang dipungut lewat perwakilan-perwakilan RI dari pengurusan dokumen di negara tujuan TKI.

Kedua, biaya perlindungan WNI di luar negeri yang diperoleh Kemenlu dari APBN dan dinaikkan hingga Rp1,2 triliun sampai 2014. Ketiga, dana perlindungan TKI di Kemenakertrans dan BNP2TKI. Keempat, hasil remitens TKI yang disebut devisa yang berjumlah triliunan rupiah.

Kisah pilu TKI di luar negeri sudah berulangkali terjadi. Puncaknya adalah eksekusi mati terhadap Ruyati binti Satubi, TKW asal Bekasi. Ruyati yang sudah tiga kali berangkat ke Arab Saudi untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga, harus menjalani hukuman pancung, Sabtu lalu, karena divonis membunuh majikan perempuannya. Ruyati adalah TKI kedua yang menjalani hukuman mati di Arab Saudi, selama sepuluh tahun terakhir. Tahun 2008, tercatat TKW bernama Yanti Riyanti, menjalani hukuman pancung.

Sementara Darsem binti Daud Tawar, TKW asal Subang yang juga mengadu nasib di Arab Saudi, akhirnya bisa lepas dari hukuman pancung, setelah pemerintah membayar denda Rp4,7 miliar setelah keluarga korban memaafkannya. Darsem diancam hukuman pancung, karena divonis membunuh majikan yang akan memperkosanya.

Terkait TKI yang terancam hukuman mati di berbagai negera penempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengungkapkan ada sebanyak 200 TKI terancam hukuman mati, 20 persen di antaranya terkait kasus pembunuhan. Selebihnya terkait kasus Narkoba.

00 TKI tersebut saat ini tersebar di empat negara yakni Arab Saudi, China, Singapura dan Malaysia. SBY mengistilahkan, tugas yang dilaksanakan oleh para Satgas TKI ini adalah mission impossible. Tapi SBY berharap, bagaimana agar yang impossible ini berubah menjadi possible dan mampu membebaskan para TKI dari jeratan hukuman mati.
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5005 seconds (0.1#10.140)