Pembahasan Omnibus Law Ciptaker Diminta Pertimbangkan Berbagai Kajian

Rabu, 08 April 2020 - 21:48 WIB
Pembahasan Omnibus Law...
Pembahasan Omnibus Law Ciptaker Diminta Pertimbangkan Berbagai Kajian
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) yang kini mulai dibahas Badan Legislasi DPR masih terus menuai kontroversi. Dalam situasi inilah, tak hanya opini beberapa pihak yang patut didengar.

Hal ini dikatakan M Yusuf Wibisono, akademisi dari Universitas Islam Sunan Gunung Djati. Menurutnya, DPR juga harus melihat kajian atau diskusi publik yang membahas secara ilmiah dan objektif isi RUU.

(Baca juga: Omnibus Law Cipta Kerja Tak Boleh Diselesaikan Lewat Kebut Semalam)

Yusuf beberapa bulan terakhir melakukan kajian terkait kontroversi RUU Ciptaker. Menurut Yusuf, suara terkait RUU Ciptaker di media, perlu diperkaya dengan kajian-kajian dari berbagai perspektif.

"Karena ini kan Omnibus Law, gabungan banyak undang-undang. Kebayang kan, ini tuh bangunan atau rancangan bangunan yang sangat besar. Kalau ia dibuat dengan tujuan memperbaiki iklim perekonomian, artinya banyak aspek yang harus dibahas di situ," kata Yusuf, Rabu (8/4/2020).

"Yang diperbaiki yang mana, yang diperdalam yang mana, yang didiskusikan yang mana harus jelas. Memang tidak mungkin diterima semua, atau sebaliknya, ditolak semua, padahal dibahas saja belum," tambahnya.

Pegiat kelompok diskusi Madrasah Malam Reboan UIN SGD Bandung itu menyatakan, dalam salah kajiannya bersama kolega akademisi lain, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja akan merevisi 51 Pasal dari UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Berdasarkan outlook perekonomian 2020 yang dirilis oleh Kementerian Koordinator Perekonomian, isu ketenagakerjaan menjadi salah satu tantangan internal atas perekonomian Indonesia pada tahun depan.

"Sampai di sini, kita memahami pentingnya perbaikan ekosistem ketenagakerjaan. Itu jelas kepentingan bersama. Masuk akal juga misalnya, kalau pemerintah bilang, pokok-pokok regulasi ketenagakerjaan perlu disusun ulang dagar sistem ketenagakerjaan yang lebih fleskibel dan kondusif terhadap iklim investasi serta iklim usaha," jelasnya.

Logikanya tambah Yusuf, kalau iklim investasi baik, maka industri dan dunia usaha umumnya diharapkan membaik. Banyak tenaga kerja terserap. Dan inilah, menurut Yusuf yang dibutuhkan saat ini.

"Terlebih karena pandemik corona. Banyak industri terpukul, terancam gulung tikar dan PHK mulai terjadi. Orang butuh kerja, kan harus ada yang dikerjakan. Mempersoalkan hak-hak pekerja itu penting, tapi kita mau bicara apa kalau tidak ada lapangan kerja?" paparnya.

Lazimnya tambah Yusuf, meningkatnya angka pengangguran hanya dapat diatasi dengan cara menyediakan lapangan kerja. Sedangkan lapangan kerja akan terbuka apabila ada kegiatan investasi yang kondusif, terutama pada sektor riil yang menghasilkan barang dan jasa.

Menurut peneliti dan pemerhati masalah sosial politik ini, hal tersebut perlu menjadi perhatian karena tingkat pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi.

"Pengangguran ini kalau merujuk data BPS jumlahnya mencapai 7 juta lebih. Kalau ditolak dengan angkatan kerja baru, lalu yang setengah penganguran sekitar 8 jutaan, ditambah pekerja paruh waktu 28,41 juta, keseluruhannya 45,84 juta (34,4%) angkatan. Saya kira, angka ini bisa saja semakin buruk karena situasi sekarang, ada corona. harus ada upaya yang menjanjikan untuk mengatasinya," katanya.

Yusuf justru mengapresiasi Omnibus Law RUU Ciptaker yang memuat pengaturan hubungan antara pekerja dengan usaha kecil dan menengah yang berbasis pada kesepakatan kerja. intinya kata Yusuf, RUU ini berusaha membentuk iklim ketenagakerjaan yang easy hiring dan easy firing.

"Karena itu, ketika kita tahu bahwa RUU Ciptaker digagas untuk tujuan baik, maka bicarakan dengan baik. Sekali lagi, ini bangunan besar multi aspek, jangan digeneralisir sebagai produk yang seluruhnya negatif," tegasnya.

"Coba kita lihat, bagaimana kita melalukan percepatan pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan? Apakah kita sudah berusaha menyediakan lapangan pekerjaan dengan cara menyederhanakan perizinan investasi, dan meminimalisir tumpang tindihnya regulasi? Kalau belum, artinya RUU ini lebih dari layak dipertimbangkan," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1179 seconds (0.1#10.140)