Surat Terbuka Fadli Zon: Kepada Yth Pak Jokowi, Jangan Tunda Lockdown...
A
A
A
JAKARTA - Anggota DPR Fadli Zon merasa prihatin dengan semakin banyaknya pasien positif terinfensi virus Corona di Indonesia. Fadli mengaku miris dengan angka kematian akibat Corona di Tanah Air yang rasionya mencapai 9% dari jumlah penderita positif Corona.
Dia memaparkan hingga hari Minggu kemarin, 22 Maret 2020, misalnya, total jumlah kasus Corona yang dikonfirmasi pemerintah Cina mencapai 81.093 kasus, dengan jumlah korban meninggal 3.270 orang. Artinya, tingkat kematian kasus COVID-19 di Cina sebesar 4%..
Sedangkan di Indonesia kasus Corona pada hari ini mencapai 579 dengan jumlah orang meninggal 49.
"Tanpa bermaksud mengecilkan, meski secara jumlah angka tadi masih tergolong kecil, namun angka rasio kematian kasus Covid-19 di Indonesia ternyata mencapai sekitar 9 persen, tertinggi di dunia. Angka ini bukan hanya lebih dari dua kali lipat rasio kematian di Cina, namun juga lebih dari dua kali lipat rasio kematian COVID-19 di tingkat global," kata Fadli melalui keterangan tertulisnya, Senin (23/3/2020). ( Baca juga: Positif Corona di Indonesia Bertambah Jadi 579 Orang, 49 Meninggal Dunia )
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini juga mempertanyakan sikap Jokowi yang tidak kunjung mengambil keputusan lockdown atau mengunci akses keluar masuk negara demi mencegah penyebaran Corona.
Berikut isi surat terbuka Fadli Zon untuk Presiden Jokowi:
Kepada Yth
Presiden Republik Indonesia
Ir Joko Widodo*
Pak Jokowi, hari ini, tepat dua bulan lalu, atau 23 Januari 2020, pemerintah China resmi mengisolasi (lockdown) Kota Wuhan yang terletak di Provinsi Hubei. Keputusan untuk mengunci kota itu dilakukan untuk mengontrol sekaligus membatasi penyebaran virus Corona (COVID-19). Kasus COVID-19, kita tahu, memang pertama kali muncul dari kota tersebut. Sesudah Wuhan, Cina kemudian secara berturut-turut juga mengunci 15 kota besar lainnya.
Karena kesigapan tersebut, per hari ini, saya membaca Wuhan sudah lima hari berturut-turut bebas dari kasus baru COVID-19. Kota itu mulai kembali hidup dan bangkit. Di tingkat nasional, Komisi Kesehatan Nasional China juga menyatakan kini sudah tak ada lagi kasus COVID-19 baru yang berasal dari dalam negeri. Dari empat puluhan kasus baru, semuanya berasal dari para penumpang yang datang dari luar negeri.
Tentu saja semua itu pencapaian luar biasa. Tak heran jika pemerintah Cina mengekspresikannya sebagai sebentuk kemenangan. Apalagi, meski merupakan negara dengan populasi terbesar di dunia, China berhasil menekan rasio kematian akibat COVID-19 di bawah rata-rata global. Hingga hari Minggu kemarin, 22 Maret 2020, misalnya, total jumlah kasus Corona yang dikonfirmasi pemerintah Cina mencapai 81.093 kasus, dengan jumlah korban meninggal 3.270 orang. Artinya, tingkat kematian kasus Covid-19 di Cina sebesar 4 persen.
Menyimak angka-angka itu, terus terang saya agak miris. Bandingkanlah angka-angka itu dengan jumlah kasus di Indonesia hari ini, yang mencapai 579, dengan jumlah orang meninggal 49. Tanpa bermaksud mengecilkan, meski secara jumlah angka tadi masih tergolong kecil, namun angka rasio kematian kasus COVID-19 di Indonesia ternyata mencapai sekitar 9 persen, tertinggi di dunia. Angka ini bukan hanya lebih dari dua kali lipat rasio kematian di Cina, namun juga lebih dari dua kali lipat rasio kematian COVID-19 di tingkat global.
Sebagai catatan, hingga hari Minggu kemarin, jumlah kasus positif COVID-19 di seluruh dunia mencapai 318.228 orang dengan jumlah korban meninggal 13.671. Artinya, rasio kematian akibat COVID-19 di seluruh dunia ada di angka 4,29 persen.
Rasio kematian akibat COVID-19 di Indonesia juga lebih buruk dari Italia. Padahal, saat ini Italia merupakan negara dengan jumlah kematian terbesar di dunia, bahkan melebihi Cina. Jumlah korban meninggal di Italia per hari ini mencapai 5.476 orang, jauh di atas China yakni 3.270 orang. Dengan jumlah orang terinfeksi mencapai 59.138 orang, rasio kematian akibat COVID19 di Italia mencapai 9,25%.
Menurut saya, ada dua sebab kenapa rasio angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia lebih tinggi dari angka rata-rata dunia.
*Pertama, kita tak berhasil mendeteksi seluruh orang yang secara riil telah terpapar COVID-19, sehingga angkanya jadi ekstrem. Jika kita menggunakan rasio kematian rata-rata secara global, yaitu 4,29%, maka dengan jumlah kematian 49 orang, maka seharusnya jumlah orang terinfeksi yang terdata berada di kisaran lebih dari 1.100 orang. Atau, lebih dari dua kali lipat data jumlah terinfeksi yang kita pegang sekarang.
*Kedua,seandainya rasio kematian 9,3 persen tadi adalah riil, berarti tingkat penangan kasus Covid-19 di Indonesia sejauh ini merupakan yang paling buruk di dunia.
Pak Jokowi, dengan rasio kematian lebih dari dua kali lipat rasio global, seharusnya kita segera mengambil sikap lebih gesit dan presisi. Jika kita masih bertahan dengan pola koordinasi yang telah diterapkan selama seminggu terakhir, bukan tak mungkin kita akan mengalami situasi yang lebih buruk dari Italia dalam beberapa minggu ke depan.
Sebagaimana yang banyak kita ketahui, salah satu sebab kenapa Italia kini mengalami kondisi lebih buruk dari China adalah karena pada mulanya mereka terlalu menganggap remeh wabah COVID-19. Mereka terlambat melakukan lockdown, sehingga pada akhirnya virus menyebar dengan cepat ke seluruh wilayah melebihi kapasitas perawatan yang bisa disediakan.
Saya khawatir kita sedang mengulangi kesalahan Italia. Sebagai catatan, saat kebijakan lockdown diberlakukan di Wuhan, jumlah orang yang terjangkit COVID-19 tercatat baru mencapai 495 orang. Bandingkanlah angka itu dengan jumlah orang terinfeksi di Indonesia yang saat ini telah mencapai 579 orang. Apalagi, dari 579 kasus tadi, sedikitnya 304 di antaranya berada di Jakarta. Ini adalah titik kritis untuk segera memulai sebuah kebijakan drastis.
Sayangnya, kebijakan drastis itu saya lihat tak segera muncul. Saya paham ada banyak sekali pro dan kontra terkait kebijakan lockdown, khususnya untuk Jakarta, yang kini menjadi episentrum wabah di tanah air. Mereka yang kontra umumnya berargumen kebijakan lockdown akan mempercepat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, mengingat Jakarta adalah urat nadi perekonomian kita. Sebagai pembanding, mereka yang kontra biasanya menyebut Hongkong dan Shanghai yang juga tidak di-lockdown oleh pemerintah China. Begitu juga dengan Singapura, yang berhasil menekan penularan COVID-19 tanpa lockdown.
Namun, membandingkan diri dengan kasus Singapura, Hongkong dan Shanghai saya kira tidaklah sepadan, tidak “apple to apple” dalam menilai kebijakan lockdown. Singapura, misalnya, memang tak perlu melakukan lockdown karena mereka bisa mengontrol sepenuhnya semua pintu masuk ke negaranya yang jumlahnya memang tak banyak. Terbukti, meski termasuk negara ASEAN pertama yang terpapar Corona, sejauh ini jumlah korban meninggal di negara kota tersebut hanya 2 orang. Itupun, salah satunya pasien dari Indonesia.
Juga, jangan bandingkan wacana mengenai lockdown Jakarta dengan Hongkong dan Shanghai. Kedua kota itu tidak di-lockdown oleh pemerintah China bukan karena posisinya sebagai pusat bisnis dan perekonomian, namun karena memang kedua kota itu bukan episentrum wabah Corona. Di sisi lain, kita sama-sama melihat, pemerintah China sejak awal sangat tegas segera me-lockdown Wuhan, kota yang menjadi episentrum wabah.
Artinya, dalam menyusun pertimbangan mengenai lockdown Jakarta, maka kasus Singapura, Shanghai dan Hongkong bukanlah pembanding yang tepat. Kasus lockdown kota Manila, atau New York, mungkin bisa dijadikan pembanding.
Saya sepenuhnya memahami, dalam wacana lockdown kota Jakarta, dilema terbesar kita adalah Jakarta bukan hanya urat nadi bagi perekonomian dan politik nasional, tapi kini telah menjadi episentrum wabah COVID-19. Di satu sisi, kebijakan lockdown dikhawatirkan akan memukul rakyat kecil yang menyandarkan pendapatannya pada kerja-kerja harian. Namun di sisi lain, jika tak dibuat kebijakan tegas seperti lockdown, dikhawatirkan kita tak akan bisa membatasi penyebaran virus ini ke depannya.
Namun, apapun pilihan kebijakan yang akan diambil Pemerintah, menurut saya ada satu hal yang ke depan akan sulit disangkal: dalam tiga hingga enam bulan ke depan, kedua krisis yang tengah kita alami saat ini, yaitu krisis COVID-19 dan krisis ekonomi, pada akhirnya akan sampai di titik yang sama, dari manapun dimulainya. Dengan kata lain, mulai dari manapun, pada akhirnya kita akan sampai di titik yang sama.
Jadi, Pak Jokowi, Bapak akan mengatasi krisis ini mulai dari mana?
Bagi saya, jika demikian situasinya, kita seharusnya tak menunggu sampai jatuh korban dalam jumlah yang ekstrem baru kemudian melakukan lockdown. Ekses ekonomi, bagaimanapun jauh lebih kasat mata, sehingga lebih mudah dikontrol, daripada ekses penyebaran virus.
Kita yakin pandemi ini akan berakhir, dan Insya Allah akan berakhir. Tapi berapa lama, serta berapa besar korbannya, sangat tergantung kepada keputusan Bapak hari ini, sebagai Presiden Republik Indonesia.
Ketua Gugus Tugas COVID-19 adalah orang yang andal, saya kenal beliau sejak pangkat Mayor. Tapi bagaimanapun ia hanyalah pelaksana kebijakan. Begitu juga para kepala daerah, provinsi atau kabupaten/kota, mereka punya keterbatasan kewenangan.
Jadi, Pak Jokowi, jangan buang-buang waktu menunda lockdown karena nanti akan lebih banyak korban jatuh. Gunakan anggaran bantuan sosial dan anggaran lain untuk membantu mereka yg terdampak, seperti pekerja harian, tukang ojek, sopir taksi, buruh, tani, pedagang kecil, dan seterusnya. Siapkan jaring pengaman sosial dengan mengalihkan belanja proyek-proyek pembangunan fisik yang tidak mendesak dan bisa ditunda.
Surat terbuka ini saya sampaikan karena saya yakin kita sama-sama menyayangi rakyat dan negara ini. Pemilihan Presiden sudah lewat, dan Pemilu yang akan datang masih lama. Seharusnya tak ada urusan kontestasi politik dalam menangani krisis COVID-19. Kalau saya mengkritisi kebijakan penanganan Covid-19, itu semata-mata dalam rangka tugas pengawasan, agar berbagai kebijakan tersebut tepat dan cepat.
Sekali lagi, saran saya: lockdown sementara!
Terima kasih.
Salam Indonesia Raya!
Dr. Fadli Zon, M.Sc
Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
Dia memaparkan hingga hari Minggu kemarin, 22 Maret 2020, misalnya, total jumlah kasus Corona yang dikonfirmasi pemerintah Cina mencapai 81.093 kasus, dengan jumlah korban meninggal 3.270 orang. Artinya, tingkat kematian kasus COVID-19 di Cina sebesar 4%..
Sedangkan di Indonesia kasus Corona pada hari ini mencapai 579 dengan jumlah orang meninggal 49.
"Tanpa bermaksud mengecilkan, meski secara jumlah angka tadi masih tergolong kecil, namun angka rasio kematian kasus Covid-19 di Indonesia ternyata mencapai sekitar 9 persen, tertinggi di dunia. Angka ini bukan hanya lebih dari dua kali lipat rasio kematian di Cina, namun juga lebih dari dua kali lipat rasio kematian COVID-19 di tingkat global," kata Fadli melalui keterangan tertulisnya, Senin (23/3/2020). ( Baca juga: Positif Corona di Indonesia Bertambah Jadi 579 Orang, 49 Meninggal Dunia )
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini juga mempertanyakan sikap Jokowi yang tidak kunjung mengambil keputusan lockdown atau mengunci akses keluar masuk negara demi mencegah penyebaran Corona.
Berikut isi surat terbuka Fadli Zon untuk Presiden Jokowi:
Kepada Yth
Presiden Republik Indonesia
Ir Joko Widodo*
Pak Jokowi, hari ini, tepat dua bulan lalu, atau 23 Januari 2020, pemerintah China resmi mengisolasi (lockdown) Kota Wuhan yang terletak di Provinsi Hubei. Keputusan untuk mengunci kota itu dilakukan untuk mengontrol sekaligus membatasi penyebaran virus Corona (COVID-19). Kasus COVID-19, kita tahu, memang pertama kali muncul dari kota tersebut. Sesudah Wuhan, Cina kemudian secara berturut-turut juga mengunci 15 kota besar lainnya.
Karena kesigapan tersebut, per hari ini, saya membaca Wuhan sudah lima hari berturut-turut bebas dari kasus baru COVID-19. Kota itu mulai kembali hidup dan bangkit. Di tingkat nasional, Komisi Kesehatan Nasional China juga menyatakan kini sudah tak ada lagi kasus COVID-19 baru yang berasal dari dalam negeri. Dari empat puluhan kasus baru, semuanya berasal dari para penumpang yang datang dari luar negeri.
Tentu saja semua itu pencapaian luar biasa. Tak heran jika pemerintah Cina mengekspresikannya sebagai sebentuk kemenangan. Apalagi, meski merupakan negara dengan populasi terbesar di dunia, China berhasil menekan rasio kematian akibat COVID-19 di bawah rata-rata global. Hingga hari Minggu kemarin, 22 Maret 2020, misalnya, total jumlah kasus Corona yang dikonfirmasi pemerintah Cina mencapai 81.093 kasus, dengan jumlah korban meninggal 3.270 orang. Artinya, tingkat kematian kasus Covid-19 di Cina sebesar 4 persen.
Menyimak angka-angka itu, terus terang saya agak miris. Bandingkanlah angka-angka itu dengan jumlah kasus di Indonesia hari ini, yang mencapai 579, dengan jumlah orang meninggal 49. Tanpa bermaksud mengecilkan, meski secara jumlah angka tadi masih tergolong kecil, namun angka rasio kematian kasus COVID-19 di Indonesia ternyata mencapai sekitar 9 persen, tertinggi di dunia. Angka ini bukan hanya lebih dari dua kali lipat rasio kematian di Cina, namun juga lebih dari dua kali lipat rasio kematian COVID-19 di tingkat global.
Sebagai catatan, hingga hari Minggu kemarin, jumlah kasus positif COVID-19 di seluruh dunia mencapai 318.228 orang dengan jumlah korban meninggal 13.671. Artinya, rasio kematian akibat COVID-19 di seluruh dunia ada di angka 4,29 persen.
Rasio kematian akibat COVID-19 di Indonesia juga lebih buruk dari Italia. Padahal, saat ini Italia merupakan negara dengan jumlah kematian terbesar di dunia, bahkan melebihi Cina. Jumlah korban meninggal di Italia per hari ini mencapai 5.476 orang, jauh di atas China yakni 3.270 orang. Dengan jumlah orang terinfeksi mencapai 59.138 orang, rasio kematian akibat COVID19 di Italia mencapai 9,25%.
Menurut saya, ada dua sebab kenapa rasio angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia lebih tinggi dari angka rata-rata dunia.
*Pertama, kita tak berhasil mendeteksi seluruh orang yang secara riil telah terpapar COVID-19, sehingga angkanya jadi ekstrem. Jika kita menggunakan rasio kematian rata-rata secara global, yaitu 4,29%, maka dengan jumlah kematian 49 orang, maka seharusnya jumlah orang terinfeksi yang terdata berada di kisaran lebih dari 1.100 orang. Atau, lebih dari dua kali lipat data jumlah terinfeksi yang kita pegang sekarang.
*Kedua,seandainya rasio kematian 9,3 persen tadi adalah riil, berarti tingkat penangan kasus Covid-19 di Indonesia sejauh ini merupakan yang paling buruk di dunia.
Pak Jokowi, dengan rasio kematian lebih dari dua kali lipat rasio global, seharusnya kita segera mengambil sikap lebih gesit dan presisi. Jika kita masih bertahan dengan pola koordinasi yang telah diterapkan selama seminggu terakhir, bukan tak mungkin kita akan mengalami situasi yang lebih buruk dari Italia dalam beberapa minggu ke depan.
Sebagaimana yang banyak kita ketahui, salah satu sebab kenapa Italia kini mengalami kondisi lebih buruk dari China adalah karena pada mulanya mereka terlalu menganggap remeh wabah COVID-19. Mereka terlambat melakukan lockdown, sehingga pada akhirnya virus menyebar dengan cepat ke seluruh wilayah melebihi kapasitas perawatan yang bisa disediakan.
Saya khawatir kita sedang mengulangi kesalahan Italia. Sebagai catatan, saat kebijakan lockdown diberlakukan di Wuhan, jumlah orang yang terjangkit COVID-19 tercatat baru mencapai 495 orang. Bandingkanlah angka itu dengan jumlah orang terinfeksi di Indonesia yang saat ini telah mencapai 579 orang. Apalagi, dari 579 kasus tadi, sedikitnya 304 di antaranya berada di Jakarta. Ini adalah titik kritis untuk segera memulai sebuah kebijakan drastis.
Sayangnya, kebijakan drastis itu saya lihat tak segera muncul. Saya paham ada banyak sekali pro dan kontra terkait kebijakan lockdown, khususnya untuk Jakarta, yang kini menjadi episentrum wabah di tanah air. Mereka yang kontra umumnya berargumen kebijakan lockdown akan mempercepat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, mengingat Jakarta adalah urat nadi perekonomian kita. Sebagai pembanding, mereka yang kontra biasanya menyebut Hongkong dan Shanghai yang juga tidak di-lockdown oleh pemerintah China. Begitu juga dengan Singapura, yang berhasil menekan penularan COVID-19 tanpa lockdown.
Namun, membandingkan diri dengan kasus Singapura, Hongkong dan Shanghai saya kira tidaklah sepadan, tidak “apple to apple” dalam menilai kebijakan lockdown. Singapura, misalnya, memang tak perlu melakukan lockdown karena mereka bisa mengontrol sepenuhnya semua pintu masuk ke negaranya yang jumlahnya memang tak banyak. Terbukti, meski termasuk negara ASEAN pertama yang terpapar Corona, sejauh ini jumlah korban meninggal di negara kota tersebut hanya 2 orang. Itupun, salah satunya pasien dari Indonesia.
Juga, jangan bandingkan wacana mengenai lockdown Jakarta dengan Hongkong dan Shanghai. Kedua kota itu tidak di-lockdown oleh pemerintah China bukan karena posisinya sebagai pusat bisnis dan perekonomian, namun karena memang kedua kota itu bukan episentrum wabah Corona. Di sisi lain, kita sama-sama melihat, pemerintah China sejak awal sangat tegas segera me-lockdown Wuhan, kota yang menjadi episentrum wabah.
Artinya, dalam menyusun pertimbangan mengenai lockdown Jakarta, maka kasus Singapura, Shanghai dan Hongkong bukanlah pembanding yang tepat. Kasus lockdown kota Manila, atau New York, mungkin bisa dijadikan pembanding.
Saya sepenuhnya memahami, dalam wacana lockdown kota Jakarta, dilema terbesar kita adalah Jakarta bukan hanya urat nadi bagi perekonomian dan politik nasional, tapi kini telah menjadi episentrum wabah COVID-19. Di satu sisi, kebijakan lockdown dikhawatirkan akan memukul rakyat kecil yang menyandarkan pendapatannya pada kerja-kerja harian. Namun di sisi lain, jika tak dibuat kebijakan tegas seperti lockdown, dikhawatirkan kita tak akan bisa membatasi penyebaran virus ini ke depannya.
Namun, apapun pilihan kebijakan yang akan diambil Pemerintah, menurut saya ada satu hal yang ke depan akan sulit disangkal: dalam tiga hingga enam bulan ke depan, kedua krisis yang tengah kita alami saat ini, yaitu krisis COVID-19 dan krisis ekonomi, pada akhirnya akan sampai di titik yang sama, dari manapun dimulainya. Dengan kata lain, mulai dari manapun, pada akhirnya kita akan sampai di titik yang sama.
Jadi, Pak Jokowi, Bapak akan mengatasi krisis ini mulai dari mana?
Bagi saya, jika demikian situasinya, kita seharusnya tak menunggu sampai jatuh korban dalam jumlah yang ekstrem baru kemudian melakukan lockdown. Ekses ekonomi, bagaimanapun jauh lebih kasat mata, sehingga lebih mudah dikontrol, daripada ekses penyebaran virus.
Kita yakin pandemi ini akan berakhir, dan Insya Allah akan berakhir. Tapi berapa lama, serta berapa besar korbannya, sangat tergantung kepada keputusan Bapak hari ini, sebagai Presiden Republik Indonesia.
Ketua Gugus Tugas COVID-19 adalah orang yang andal, saya kenal beliau sejak pangkat Mayor. Tapi bagaimanapun ia hanyalah pelaksana kebijakan. Begitu juga para kepala daerah, provinsi atau kabupaten/kota, mereka punya keterbatasan kewenangan.
Jadi, Pak Jokowi, jangan buang-buang waktu menunda lockdown karena nanti akan lebih banyak korban jatuh. Gunakan anggaran bantuan sosial dan anggaran lain untuk membantu mereka yg terdampak, seperti pekerja harian, tukang ojek, sopir taksi, buruh, tani, pedagang kecil, dan seterusnya. Siapkan jaring pengaman sosial dengan mengalihkan belanja proyek-proyek pembangunan fisik yang tidak mendesak dan bisa ditunda.
Surat terbuka ini saya sampaikan karena saya yakin kita sama-sama menyayangi rakyat dan negara ini. Pemilihan Presiden sudah lewat, dan Pemilu yang akan datang masih lama. Seharusnya tak ada urusan kontestasi politik dalam menangani krisis COVID-19. Kalau saya mengkritisi kebijakan penanganan Covid-19, itu semata-mata dalam rangka tugas pengawasan, agar berbagai kebijakan tersebut tepat dan cepat.
Sekali lagi, saran saya: lockdown sementara!
Terima kasih.
Salam Indonesia Raya!
Dr. Fadli Zon, M.Sc
Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
(dam)