Muhammadiyah: Kode Etik KPK yang Baru Bertentangan dengan Pancasila
A
A
A
JAKARTA - Ketua Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Razikin mengkritik kode etik yang telah dirumuskan oleh Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) bagi semua pegawai dan Pimpinan KPK. Pasalnya, kode etik itu menghilangkan salah satu poin yakni religiusitas. (Baca juga: Tumpak Hatorangan: Dewas Telah Rampungkan Kode Etik KPK)
Maka itu, dia menilai kode etik yang baru itu merupakan bentuk pembangkangan terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. "Karena itu saya berharap Dewas KPK jangan berbuat yang aneh-aneh yang dapat berpotensi menghilangkan trust public terhadap KPK itu sendiri," ujar Razikin dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (9/3/2020).
Dia menilai religiusitas itu adalah semangat sekaligus benteng pertahanan mental masing-masing individu dari rasa takut, ancaman yang membuat orang lega bekerja dan pada saat yang sama menjadi panduan moralitas untuk bekerja secara sesuai dengan peraturan perindang-undangan. "Karena, religiusitas harus didengungkan secara terus menerus, bukan dihilangkan," ujarnya.
Dia menambahkan, penghilangan religiusitas membuat publik mencurigai dan mengaitkan dengan isu sebelumnya bahwa di KPK ada kelompok Taliban dan radikal. Hal tersebut dinilai sangat tidak kondusif bagi KPK karena religiusitas itu bukan mengarah agama tertentu atau identik dengan salah satu agama. ”Jadi, jika ingin menambahkan poin sinergi, ya silakan ditambahkan saja tanpa kemudian menghilangkan nilai dasar religiusitas,” katanya.
Intinya, Dewan Pengawas membuat aturan yang melanggar Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. ”semua pimpinan dan pegawai disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, lalu kemudian apa salahnya nilai keagamaan itu menjiwai seluruh aktivitas mereka," ujarnya.
Maka itu, dia menilai kode etik yang baru itu merupakan bentuk pembangkangan terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. "Karena itu saya berharap Dewas KPK jangan berbuat yang aneh-aneh yang dapat berpotensi menghilangkan trust public terhadap KPK itu sendiri," ujar Razikin dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (9/3/2020).
Dia menilai religiusitas itu adalah semangat sekaligus benteng pertahanan mental masing-masing individu dari rasa takut, ancaman yang membuat orang lega bekerja dan pada saat yang sama menjadi panduan moralitas untuk bekerja secara sesuai dengan peraturan perindang-undangan. "Karena, religiusitas harus didengungkan secara terus menerus, bukan dihilangkan," ujarnya.
Dia menambahkan, penghilangan religiusitas membuat publik mencurigai dan mengaitkan dengan isu sebelumnya bahwa di KPK ada kelompok Taliban dan radikal. Hal tersebut dinilai sangat tidak kondusif bagi KPK karena religiusitas itu bukan mengarah agama tertentu atau identik dengan salah satu agama. ”Jadi, jika ingin menambahkan poin sinergi, ya silakan ditambahkan saja tanpa kemudian menghilangkan nilai dasar religiusitas,” katanya.
Intinya, Dewan Pengawas membuat aturan yang melanggar Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. ”semua pimpinan dan pegawai disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, lalu kemudian apa salahnya nilai keagamaan itu menjiwai seluruh aktivitas mereka," ujarnya.
(cip)