Soal Virus Corona, BKPN Minta Negara Hadir Fasilitasi Ketersediaan Masker
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rolas Sitinjak menilai aksi penangkapan para penimbun masker tak menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan ketakutan para pedagang. Dia meyakini atas musibah virus Corona semestinya negara hadir memfasilitasi ketersediaan masker yang mencukupi kebutuhan masyarakat.
Rolas menegaskan, saat ini Cina dan Amerika Serikat (AS) sebagai produsen masker terbesar di dunia menitikberatkan ketersediaan pasokan warganya. Karena itu, harapan impor dari Singapura bisa dipermudah perizinannya.
"Juga mengembangkan produksi dalam negeri. Kita bisa tiru China yang mempermudah perijinan hingga sehari selesai," ujar peraih gelar doktor hukum dari Universitas Trisakti Jakarta ini di Jakarta, Kamis (5/3/2020).
Dia mengkategorikan ada dua jenis masker, yaitu masker tribal dan model N95 yang biasa digunakan masyarakat serta kalangan pekerja industri. Menurutnya, apabila diperuntukkan bagi masyarakat umum tidak perlu perizinan alat kesehatan.
"Yang perlu diperhatikan ketersediaan barang dengan meningkatkan produksi dalam negeri dan membuka keran impor dengan berbagai kemudahan," jelas advokat yang lima kali memenangkan gugatan kepada Lion Air atas aksi penelantaran konsumen ini.
Maraknya aksi penangkapan penimbun masker baginya tak berdampak tersedianya masker secara mudah. Dia mengaku sudah menelusuri sejumlah pertokoan yang tak lagi menjual masker.
"Pantauan saya malah terjadi kekosongan masker di banyak tempat. Patut diduga penangkapan penimbun masker tak menyelesaikan masalah karena pedagang khawatir. Penegakan hukum memang perlu, tetapi yang memberikan jalan keluar. Karena itu, negara harus hadir memberikan solusi memfasilitasi tersedianya masker bagi rakyat," sebutnya.
Rolas mempertanyakan aksi penangkapan penimbun masker tersebut lantaran belum masuk kategori barang kebutuhan pokok dan barang penting. Dia menjelaskan, berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting tak disebutkan masker.
"Aturannya tidak memasukkan masker sebagai kebutuhan pokok, jadi kurang tepat landasan hukum penangkapan tersebut," tuturnya.
Selain itu, dia juga mengkritisi perijinan usaha masker baik dalam perdagangan maupun produksi. Baginya, masker yang saat ini dipakai masyarakat merupakan masker penahan debu yang seharusnya tidak termasuk alat kesehatan.
"Berbeda dengan masker yang dipakai tenaga medis memang termasuk kategori alat kesehatan karena berbeda dengan yang dipakai masyarakat. Ini mungkin bisa jadi pertimbangan," tutur advokat yang telah lima kali memenangkan gugatan kepada maskapai Lion Air atas aksi penelantaran konsumen tersebut.
Masalah utama tersebut yang semestinya diselesaikan dengan cepat. "Itu masalah utama dari hulu. Saya tidak pro pelaku usaha atau saya berdagang. Saya hanya berharap memastikan agar aturan dan penegakan hukum itu bisa menjadi solusi guna memastikan konsumen (masyarakat) mudah mendapatkan masker.”
"Kalau virus itu mewabah saat ini persediaan tidak cukup. Kalau diasumsikan penduduk sekitar 260 juta berarti tiap hari butuh 260 juta buah. Cari ke mana barangnya? Kalau tak tercukupi bisa saja terjadi kerusuhan massa. Ini yang segera perlu diantisipasi," imbuh dia.
Rolas menegaskan, saat ini Cina dan Amerika Serikat (AS) sebagai produsen masker terbesar di dunia menitikberatkan ketersediaan pasokan warganya. Karena itu, harapan impor dari Singapura bisa dipermudah perizinannya.
"Juga mengembangkan produksi dalam negeri. Kita bisa tiru China yang mempermudah perijinan hingga sehari selesai," ujar peraih gelar doktor hukum dari Universitas Trisakti Jakarta ini di Jakarta, Kamis (5/3/2020).
Dia mengkategorikan ada dua jenis masker, yaitu masker tribal dan model N95 yang biasa digunakan masyarakat serta kalangan pekerja industri. Menurutnya, apabila diperuntukkan bagi masyarakat umum tidak perlu perizinan alat kesehatan.
"Yang perlu diperhatikan ketersediaan barang dengan meningkatkan produksi dalam negeri dan membuka keran impor dengan berbagai kemudahan," jelas advokat yang lima kali memenangkan gugatan kepada Lion Air atas aksi penelantaran konsumen ini.
Maraknya aksi penangkapan penimbun masker baginya tak berdampak tersedianya masker secara mudah. Dia mengaku sudah menelusuri sejumlah pertokoan yang tak lagi menjual masker.
"Pantauan saya malah terjadi kekosongan masker di banyak tempat. Patut diduga penangkapan penimbun masker tak menyelesaikan masalah karena pedagang khawatir. Penegakan hukum memang perlu, tetapi yang memberikan jalan keluar. Karena itu, negara harus hadir memberikan solusi memfasilitasi tersedianya masker bagi rakyat," sebutnya.
Rolas mempertanyakan aksi penangkapan penimbun masker tersebut lantaran belum masuk kategori barang kebutuhan pokok dan barang penting. Dia menjelaskan, berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting tak disebutkan masker.
"Aturannya tidak memasukkan masker sebagai kebutuhan pokok, jadi kurang tepat landasan hukum penangkapan tersebut," tuturnya.
Selain itu, dia juga mengkritisi perijinan usaha masker baik dalam perdagangan maupun produksi. Baginya, masker yang saat ini dipakai masyarakat merupakan masker penahan debu yang seharusnya tidak termasuk alat kesehatan.
"Berbeda dengan masker yang dipakai tenaga medis memang termasuk kategori alat kesehatan karena berbeda dengan yang dipakai masyarakat. Ini mungkin bisa jadi pertimbangan," tutur advokat yang telah lima kali memenangkan gugatan kepada maskapai Lion Air atas aksi penelantaran konsumen tersebut.
Masalah utama tersebut yang semestinya diselesaikan dengan cepat. "Itu masalah utama dari hulu. Saya tidak pro pelaku usaha atau saya berdagang. Saya hanya berharap memastikan agar aturan dan penegakan hukum itu bisa menjadi solusi guna memastikan konsumen (masyarakat) mudah mendapatkan masker.”
"Kalau virus itu mewabah saat ini persediaan tidak cukup. Kalau diasumsikan penduduk sekitar 260 juta berarti tiap hari butuh 260 juta buah. Cari ke mana barangnya? Kalau tak tercukupi bisa saja terjadi kerusuhan massa. Ini yang segera perlu diantisipasi," imbuh dia.
(kri)