Pasien Merdeka

Senin, 02 Maret 2020 - 07:30 WIB
Pasien Merdeka
Pasien Merdeka
A A A
Pujiyono S Guru Besar Hukum Bisnis UNS Surakarta

Ketika pemerintah mendukung globalisasi di bidang kesehatan, sewajarnya pembangunan bidang kesehatan harus semakin baik. Intisari dari pembangunan bidang kesehatan haruslah bertujuan meningkatkan taraf kesehatan rakyat agar tercipta masyarakat yang sehat dan sejahtera.

Banyaknya rumah sakit yang berdiri dan bertebaran sangat diharapkan mempermudah dan mempercepat masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan. Agenda pembangunan pada bidang kesehatan juga bertujuan meningkatkan pembangunan dalam bidang investasi kesehatan berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Realitas yang terjadi saat ini, bidang kesehatan banyak dilirik pihak asing sehingga banyak modal asing yang masuk ke Indonesia. Banyaknya WNI yang memilih berobat di luar negeri menjadi salah satu alasan peluang bisnis di bidang kesehatan ini dilirik asing.

Selain itu, rumah sakit di Indonesia yang cenderung menikmati comfort zone juga butuh gebrakan agar kompetisi rumah sakit semakin memudahkan dan memberikan pilihan lebih variatif bagi pasien. Sejak 2017, relaksasi aturan juga membuat investor asing semakin terbuka masuk.

Wajar bila penanaman modal pada bidang kesehatan oleh pihak asing kini berkembang dengan pesat. Fakta ini dapat dilihat dari mulai banyak berdirinya rumah sakit bertaraf internasional dengan kehadiran tenaga medis tidak sedikit dan berasal dari luar negeri, di mana regulasi diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Strata Rumah Sakit Lahirnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2020 terkait Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit (yang selanjutnya disebut PMK) membuat kontroversi publik dan mengakibatkan polemik yang berujung pada ragam ekspresi penolakan terhadap kebijakan menteri kesehatan.

Bagi pasien yang sakit, regulasi PMK menyebabkan kerugian besar karena agenda mengobati orang sakit menjadi semakin rumit. Dipandang dari jenis pelayanan, pasien justru tidak "merdeka" dalam menentukan pilihan pengobatan sakitnya. Pasien merdeka hanya menjadi mimpi semata, ketika rumah sakit sudah menetapkan tingkatan stratanya.

Dalam aturan PMK pasal 6 bahwa berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan menjadi dua, yakni rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Bisa jadi orang sakit tidak dapat langsung masuk ke rumah sakit terdekat guna mendapat pelayanan segera, tetapi harus dideteksi dulu sakitnya, baru masuk rumah sakit ke strata mana.

Ironisnya, bagi rumah sakit umum terdapat strata rumah sakit yang melahirkan turunan berupa klasifikasi. Klasifikasi rumah sakit umum sebagaimana pasal 16 poin (1) disebutkan bahwa klasifikasi rumah sakit umum terdiri atas rumah sakit umum kelas A, rumah sakit umum kelas B, rumah sakit umum kelas C, dan rumah sakit umum kelas D. Khusus bagi rumah sakit umum kelas D masih harus terklasifikasi atas rumah sakit umum kelas D dan rumah sakit kelas D pratama.

Begitu pula bagi rumah sakit khusus bisa memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.

Adapun rumah sakit yang khusus dimaksud meliputi khusus ibu dan anak, mata, gigi dan mulut, ginjal, jiwa, infeksi, telinga-hidung-tenggorokan kepala leher, paru, ketergantungan obat, bedah, otak, ortopedi, kanker serta jantung dan pembuluh darah. Bahkan bagi rumah sakit khusus masih bisa menyelenggarakan pelayanan lain di luar kekhususannya.

Terjadinya klasifikasi tentu akan membingungkan pasien karena kedatangannya pasti terfokus pada agenda bagaimana mendapatkan penanganan terbaik, cepat, dan tepat. Akibatnya, baik pasien maupun rumah sakit akan menunjuk klasifikasi tipe rumah sakit yang paling tinggi.

Tanpa disadari, bagi rumah sakit tentu akan terjadi penumpukan pasien pada rumah sakit yang memiliki klasifikasi tertinggi. Begitu pula bagi pasien yang tanpa disadari tidak punya pilihan lain, kecuali masuk pada perawatan rumah sakit berklasifikasi tertinggi.

Keberadaan PMK Nomor 3 Tahun 2020 hampir tidak mengatur tentang bagaimana model rujukan bagi pasien rumah sakit. Seharusnya pasien lebih merdeka dalam mendapatkan rujukan terlebih dahulu supaya pasien tidak bertumpuk pada rumah sakit yang berklasifikasi tertinggi. Bisa jadi rumah sakit berklasifikasi yang ada di bawahnya sebenarnya dapat menangani pasien sampai sembuh, namun karena tidak mendapat rujukan maka semua pasien larinya ke rumah sakit berklasifikasi tertinggi.

Perlunya rujukan bagi pasien sesungguhnya memberi "kemerdekaan" pilihan bagi pasien untuk memilih rumah sakit sesuai kemampuannya. Rujukan bagi pasien ibarat memberikan arahan dan gambaran supaya pasien tidak bingung, tapi paham atas langkah yang mau diambil guna mendapat pengobatan sesuai kemampuan. Rujukan bagi pasien tentu akan melahirkan "pasien merdeka" dalam menentukan tempat perawatan sesuai pilihan dan kemampuannya.

Limitasi Asing Kita berharap agenda pasien merdeka perlu mendapatkan perhatian pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Keberadaan PMK Nomor 3 Tahun 2020 pasal 46 ayat (1) bahwa rumah sakit yang didirikan oleh swasta dapat berupa rumah sakit dengan penanaman modal asing. Bahkan pasal 47 ayat (1) secara tegas menyatakan bahwa rumah sakit dapat mendayagunakan tenaga kesehatan dan tenaga nonkesehatan warga negara asing sesuai dengan kebutuhan pelayanan. Munculnya modal asing dan sumber daya asing dikhawatirkan melahirkan pasien terasing saat perawatan karena standar pembiayaan rumah sakit menjadi tinggi.

Memang yang namanya investasi asing adalah sebuah keniscayaan karena rumah sakit kini sudah menjadi bidang industri, bukan hanya sebatas pelayanan sosial semata. Liberalisasi kesehatan mengakibatkan terjadinya komersialisasi perangkat dan daya dukung pada sektor kesehatan. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan seharusnya membuat limitasi terhadap modal asing untuk memproteksi rumah sakit dan menjaga pasien merdeka pada saat perawatan tanpa kekhawatiran dalam pembiayaan.

Pertama , penanam modal asing tidak boleh memiliki saham 100% atas kepemilikan rumah sakit di Tanah Air. Pemerintah harus mengatur kepemilikan saham asing yang masuk pada bidang kesehatan secara jeli supaya melindungi dan menjaga kehidupan rumah sakit maupun pasien tetap merdeka saat menjalani perawatan. Kemerdekaan pasien yang dirawat dikhawatirkan lenyap karena modal asing yang menggurita mengakibatkan mahalnya biaya tanpa mempertimbangkan nilai-nilai sosial masyarakat.

Kedua , pemerintah harus tegas mengatur penanam modal untuk mengelola rumah sakit minimal khusus jenis kelas A. Keberadaan investor yang padat modal, maka tidak boleh masuk pada pengelolaan rumah sakit tipe C atau D, tetapi minimal harus A. Proteksi pemerintah bidang kesehatan ini penting mengingat gurita bisnis pemodal asing bisa saja mematikan rumah sakit tipe serupa yang berada di daerah karena modalnya tidak sekuat industri rumah sakit asing.

Ketiga , pemerintah harus tegas dalam mewajibkan tenaga medis asing mempunyai responsibilitas dengan pasien sebagaimana kode etik profesi kesehatan Indonesia. Rumah sakit asing harus konsekuen memberlakukan berbagai aturan yang tidak bersifat diskriminatif terhadap pasien sesuai ketentuan yang berlaku bagi para tenaga kesehatan Indonesia, seperti program adaptasi, masa wajib kerja sarjana, dan izin praktik kesehatan. Responsibilitas tenaga medis asing terhadap pasien di Tanah Air menjadikan pasien merdeka dalam perawatan.

(zil)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6091 seconds (0.1#10.140)