Soal Eks WNI Kombatan ISIS, PKB Anggap Sikap Pemerintah Bersayap

Rabu, 12 Februari 2020 - 19:23 WIB
Soal Eks WNI Kombatan...
Soal Eks WNI Kombatan ISIS, PKB Anggap Sikap Pemerintah Bersayap
A A A
JAKARTA - Pemerintah memutuskan untuk tidak memulangkan eks warga negara Indonesia (WNI) kombatan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).

Hal itu diputuskan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar rapat bersama jajaran menterinya di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2/2020).

Ketua DPP PKB Bidang Pertahanan dan Keamanan Yaqut Cholil Qoumas menilai sikap pemerintah untuk tidak memulangkan eks WNI kombatan ISIS sudah tepat dan baik. Kendati begitu, Gus Yaqut menilai sikap pemerintah tersebut bersayap.

”Apa yang dikatakan pemerintah dengan tidak akan memulangkan eks kombatan ISIS itu menurut saya bersayap. Ada satu pertanyaan, kalau pulang sendiri bagaimana atau difasilitasi yang lain itu bagaimana? Apa sikap pemerintah? Kemarin itu tidak dijelaskan,” ujarnya di sela Diskusi Reboan bertajuk ”Kombatan ISIS Tidak Dipulangkan, What’s Next?” di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020).

Menurut Ketua Umum GP Ansor itu, pemerintah seharusnya menjelaskan selain tidak memulangkan eks kombatan ISIS, apakah pemerintah juga akan menghalangi ketika mereka pulang baik secara sukarela atau atas fasilitasi organisasi atau kelompok lain. ”Ini tidak ada ketegasan dari pemerintah,” katanya.

Selain itu, Gus Yaqut juga mempertanyakan soal penggunaan data jumlah eks kombatan ISIS yang mengacu pada data CIA.

”Kenapa pakai data CIA? Kayak kita ini enggak punya lembaga intelijen saja. Kita ini punya BIN, kita punya BAIS. Menko Polhukam ngomong berdasarkan data yang diberikan CIA, ada sekian ratus WNI yang jadi kombatan ISIS. Itu kan menurut saya ini kayak menafikan lembaga inteligen yang kita punya,” kata anggota Komisi II DPR ini. ( Baca juga: Presiden Jokowi Gunakan Istilah WNI Eks ISIS )

Gus Yaqut khawatir data yang disampaikan CIA yang menyebut ada sebanyak 689 WNI tergabung ISIS hanya rekayasa.

”Kita tahu lah, salah satu produsen terorisme kan Amerika. Jangan-jangan data ini data mainan saja? Ya kita enggak tahu karena ini yang ngomong CIA,” tuturnya. Menurutnya, akan lebih kredibel jika pemerintah menggunakan data hasil penelusuran intelijen sendiri.

”Kalau saya ngomong ada 600-an, jangan-jangan kalau menurut BIN lebih dari itu, bagaimana coba?” katanya.

Gus Yaqut mengatakan, dalam konteks ini pemerintah hanya mencoba ”memadamkan api”, namun tidak pernah mencari sumber apinya sehingga upaya penanganannya selalu terlambat karena tidak ada upaya preventif yang serius.

”Misalnya, pemerintah membatasi ruang gerak sumber ajaran radikal, yakni yang kita tahu adalah Wahabi dan Salafi. Ini tak diatasi. Kita bisa temui di BUMN-BUMN, misalnya, banyak pendakwah masih mengajarkan ajaran Salafi, Wahabi, ini sumber ajaran radikal. Ini tidak dilakukan dengan baik. Semestinya kan cari sebabnya, lalu diatasi,” tuturnya.

Pemerintah juga seharusnya terbuka atas persoalan kelompok teroris ini. Dia mencontohkan pada 2019 lalu, terjadi dua gelombang pemulangan eks kombatan ISIS sekitar 50 orang.

”Mereka sekarang bagaimana? Apakah mereka sudah kembali menerima NKRI, melawan ideologi jihad yang mereka pegang atau bagaimana? Tidak terbuka pemerintah,” katanya.

Gus Yaqut berharap dalam upaya melakukan deradikalisasi agar melibatkan peran serta masyarakat. ”Jangan menganggap deradikaliasasi dalam frame project. Ini kan ancaman serius, bukan hanya project. Kalau tak melibatkan masyarakat maka kita wajib mencurigai pemerintah pakai frame project,” katanya.

Sementara itu, Sekjen DPP PKB Hasanuddin Wahid mengatakan, penanganan soal eks kombatan ISIS ini harus komprehensif dari hulu hingga hilir. Setelah mereka tidak dipulangkan, harus jelas apa langkah selanjutnya.

”Harus ada penyelesaian menyeluruh. Ini persoalan hajat hidup rakyat Indonesia, bahkan dunia. Dan tak ada negara yang tak melihat ISIS ini sebagai sebuah persoalan,” katanya.

Hasan mengatakan, pergerakan ISIS ini tak hanya perang di darat, tapi juga ada pergerakan di dunia maya yang sangat massif.

”Bahkan ISIS di dunia maya tujuh kali lipat lebih susah diatasi dibanding ISIS yang didarat. Kata mereka seperti Perang Salib,” katanya.

Pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah untuk tidak memulangkan 689 WNI yang tergabung ISIS. Sebab, berdasarkan sudut pandang usul Fikih, kemaslahatan umum harus didahulukan dari kemaslahatan khusus.

”Artinya, sekitar 680 orang eks kombatan ISIS itu khoso (khusus) sementara 250 juta masyarakat Indonesia ini umum,” katanya.

Karena tugas negara melindungi segenap masyarakat Indonesia maka kemaslahatan 250 juta masyarakat harus diutamakan dibanding 689 eks WNI kombatan ISIS.

Hasan mengatakan, masalah ISIS ini harus dilihat dari semua spektrum. Baik terkait keamanannya, ekonomi, sosial, politik, budaya, dan semuanya. ”Yang bahaya adalah klaim kebenaran berdasarkan pemahaman agama yang sempit. Sekarang terjadi pembakuan teks kitab keagamaan, tanpa melihat secara kontekstual. Ini yang memunculkan gesekan dan kedangkalan. Bahasa pokoknya “harus”, padahal kebenaran itu harus dilihat kontekstual juga,” tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9616 seconds (0.1#10.140)