Abraham Samad dkk Galang Dukungan Petisi Penyelamatan KPK
A
A
A
JAKARTA - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengajak masyarakat untuk mendukung Mahkamah Konstitusi (MK) menyelamatkan KPK.
"Sahabat, bantu saya dengan menandatangani petisi ini. Kami membutuhkan dukungan dari seluruh msyrkat Indonesia untuk mendukung Mahkamah Konstitusi menyelamatkan KPK dgn menganulir UU KPK baru yang melemahkan KPK," tulis Samad melalui akun Twitternya @AbrSamad, Selasa 14 Januari 2020.
Samad mengajak petisi yang berada di situs change.org. Petisi digagas mahasiswa Business Law Binus University dan pegiat antikorupsi, Diky Anandya. Adapun isi petisi ini sebagai berikut:
Nasib pemberantasan korupsi sudah di ujung tanduk. Bagaimana tidak, kewenangan lembaga anti korupsi telah dilucuti melalui pengesahan revisi UU KPK beberapa waktu lalu. Bukannya menolak akan sebuah perubahan, tapi tatkala perubahan tersebut justru memperlemah KPK tentu niat dari DPR dan pemerintah patut untuk dipertanyakan.
Mulai dari pembentukan Dewan Pengawas, perubahan status kelembagaan KPK yang tidak lagi independen, dan ke depan kasus-kasus besar akan berpotensi dihentikan dengan instrumen Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Ini menandakan mimpi Indonesia terbebas dari korupsi akan lebih sulit dicapai.
Akhir November lalu, 13 orang ajukan judicial review UU KPK ke Mahkamah Konstitusi. Mereka adalah tiga Pimpinan KPK (Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang), dua mantan Pimpinan KPK (Erry Riyana dan Moch Jasin), dan tokoh-tokoh anti korupsi lainnya.
Mereka mengajukan permohonan uji formil kepada MK. Bukan tanpa alasan, mereka mempersoalkan proses pembahasan UU KPK di DPR yang terburu-buru.
Setidaknya ada 3 (tiga) alasan sehingga tiba pada kesimpulan bahwa UU KPK baru dibahas dan disahkan tidak sesuai dengan kaidah peraturan perundang-undangan.
Pertama, UU KPK tidak masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2019 DPR. Sehingga menjadi pertanyaan bagi publik, apa urgensi nya membahas dan mengesahkan suatu UU yang tidak masuk dalam perencanaan?
Kedua, pada saat pengesahan UU KPK di DPR diduga tidak memenuhi kuorum. Dalam banyak pemberitaan menyebutkan pada saat paripurna anggota DPR yang hadir hanya 80-90 orang dari total 560 orang. Tentu ini merupakan pelanggaran serius, bagaimana mungkin keputusan sebuah lembaga tidak diikuti oleh seluruh anggotanya.
Ketiga, KPK secara institusi yang akan menjalankan UU tersebut tidak pernah dilibatkan sama sekali dalam pembahasan, baik di tingkat DPR maupun pemerintah. Bagaimana mungkin DPR bersama pemerintah satu pendapat bahwa UU KPK baru akan memperkuat lembaga anti korupsi tersebut sedangkan KPK tidak pernah diikutsertakan? Untuk itu, narasi penguatan yang selalu didengungkan oleh DPR dan pemerintah terkesan sebatas ilusi semata.
Melihat kisruhnya proses pembentukan UU KPK belakangan ini, saya pun mengambil sikap. Tidak hanya pimpinan KPK yang resah akan masa depan KPK, tetapi juga banyak masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya saya memulai petisi ini, mengajak semua kalangan untuk mulai melek politik.
Kini masa depan KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia ada di tangan MK. Masyarakat Indonesia kini menggantungkan harapan terakhir pada sembilan Hakim di Mahkamah Konstitusi.
Ini menjadi langkah terakhir setelah segala upaya yang sudah dilakukan teman-teman aktivis, akademisi, mahasiswa dan masyarakat umum. Melalui dunia maya, permohonan ke DPR secara langsung, aksi turun ke jalan, sampai permohonan PERPPU dari Presiden.
Untuk itu, kita bersama-sama dukung Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan Judicial Review dan membatalkan pengesahan UU KPK yang penuh kontroversi.
Masyarakat Indonesia sangat berharap akan hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai penyelamat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Salam,
Diky Anandya Kharystya Putra
Mahasiswa Business Law Binus University dan pegiat antikorupsi
Diky menyebutkan petisi ini dukung oleh sejumlah tokoh, yakni mantan pimpinan KPK Abraham Samad, Busyro Muqoddas, Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Panitia Seleksi Pimpinan KPK Betti Alisjahbana, Wakil Ketua Dewan Direktur Yayasan CSIS Clara Joewono, Natalia Soebagjo dari Transparency International Indonesia, Presiden Mahasiswa Universitas Gajah Mada Muhammad Atiatul Muqtadir, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia 2019 Manik Marganamahendra. Hingga berita ini ditulis, sudah ada 10.226 yang ikut menandatangani petisi.
"Sahabat, bantu saya dengan menandatangani petisi ini. Kami membutuhkan dukungan dari seluruh msyrkat Indonesia untuk mendukung Mahkamah Konstitusi menyelamatkan KPK dgn menganulir UU KPK baru yang melemahkan KPK," tulis Samad melalui akun Twitternya @AbrSamad, Selasa 14 Januari 2020.
Samad mengajak petisi yang berada di situs change.org. Petisi digagas mahasiswa Business Law Binus University dan pegiat antikorupsi, Diky Anandya. Adapun isi petisi ini sebagai berikut:
Nasib pemberantasan korupsi sudah di ujung tanduk. Bagaimana tidak, kewenangan lembaga anti korupsi telah dilucuti melalui pengesahan revisi UU KPK beberapa waktu lalu. Bukannya menolak akan sebuah perubahan, tapi tatkala perubahan tersebut justru memperlemah KPK tentu niat dari DPR dan pemerintah patut untuk dipertanyakan.
Mulai dari pembentukan Dewan Pengawas, perubahan status kelembagaan KPK yang tidak lagi independen, dan ke depan kasus-kasus besar akan berpotensi dihentikan dengan instrumen Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Ini menandakan mimpi Indonesia terbebas dari korupsi akan lebih sulit dicapai.
Akhir November lalu, 13 orang ajukan judicial review UU KPK ke Mahkamah Konstitusi. Mereka adalah tiga Pimpinan KPK (Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang), dua mantan Pimpinan KPK (Erry Riyana dan Moch Jasin), dan tokoh-tokoh anti korupsi lainnya.
Mereka mengajukan permohonan uji formil kepada MK. Bukan tanpa alasan, mereka mempersoalkan proses pembahasan UU KPK di DPR yang terburu-buru.
Setidaknya ada 3 (tiga) alasan sehingga tiba pada kesimpulan bahwa UU KPK baru dibahas dan disahkan tidak sesuai dengan kaidah peraturan perundang-undangan.
Pertama, UU KPK tidak masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2019 DPR. Sehingga menjadi pertanyaan bagi publik, apa urgensi nya membahas dan mengesahkan suatu UU yang tidak masuk dalam perencanaan?
Kedua, pada saat pengesahan UU KPK di DPR diduga tidak memenuhi kuorum. Dalam banyak pemberitaan menyebutkan pada saat paripurna anggota DPR yang hadir hanya 80-90 orang dari total 560 orang. Tentu ini merupakan pelanggaran serius, bagaimana mungkin keputusan sebuah lembaga tidak diikuti oleh seluruh anggotanya.
Ketiga, KPK secara institusi yang akan menjalankan UU tersebut tidak pernah dilibatkan sama sekali dalam pembahasan, baik di tingkat DPR maupun pemerintah. Bagaimana mungkin DPR bersama pemerintah satu pendapat bahwa UU KPK baru akan memperkuat lembaga anti korupsi tersebut sedangkan KPK tidak pernah diikutsertakan? Untuk itu, narasi penguatan yang selalu didengungkan oleh DPR dan pemerintah terkesan sebatas ilusi semata.
Melihat kisruhnya proses pembentukan UU KPK belakangan ini, saya pun mengambil sikap. Tidak hanya pimpinan KPK yang resah akan masa depan KPK, tetapi juga banyak masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya saya memulai petisi ini, mengajak semua kalangan untuk mulai melek politik.
Kini masa depan KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia ada di tangan MK. Masyarakat Indonesia kini menggantungkan harapan terakhir pada sembilan Hakim di Mahkamah Konstitusi.
Ini menjadi langkah terakhir setelah segala upaya yang sudah dilakukan teman-teman aktivis, akademisi, mahasiswa dan masyarakat umum. Melalui dunia maya, permohonan ke DPR secara langsung, aksi turun ke jalan, sampai permohonan PERPPU dari Presiden.
Untuk itu, kita bersama-sama dukung Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan Judicial Review dan membatalkan pengesahan UU KPK yang penuh kontroversi.
Masyarakat Indonesia sangat berharap akan hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai penyelamat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Salam,
Diky Anandya Kharystya Putra
Mahasiswa Business Law Binus University dan pegiat antikorupsi
Diky menyebutkan petisi ini dukung oleh sejumlah tokoh, yakni mantan pimpinan KPK Abraham Samad, Busyro Muqoddas, Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Panitia Seleksi Pimpinan KPK Betti Alisjahbana, Wakil Ketua Dewan Direktur Yayasan CSIS Clara Joewono, Natalia Soebagjo dari Transparency International Indonesia, Presiden Mahasiswa Universitas Gajah Mada Muhammad Atiatul Muqtadir, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia 2019 Manik Marganamahendra. Hingga berita ini ditulis, sudah ada 10.226 yang ikut menandatangani petisi.
(dam)