Pembangunan Ibu Kota Baru, Peran Investor Asing Harus Proporsional
A
A
A
JAKARTA - Angin segar berembus dari kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Uni Emirat Arab (UEA). Negara federasi tujuh emirat itu menyatakan kesiapannya membantu pengembangan ibu kota baru .
Undangan ini disampaikan Jokowi saat menjadi keynote speaker pada forum Abu Dhabi Sustainability Week (ADSW) di Abu Dhabi National ExhibitionCenter (ADNEC). “Di ibu kota negara baru, kami mengundang dunia untuk membawa teknologi terbaik, inovasi terbaik, dan kearifan terbaik,” ucapnya. Jokowi mengatakan bahwa ibu kota baru harus menjadi kota dengan teknologi mutakhir.
Jokowi menyampaikan bahwa pembangunan ibu kota negara baru merupakan salah satu solusi pemerataan pembangunan di Indonesia. Jokowi bahkan meminta Sheikh Mohammed bin Zayed untuk masuk dalam jajaran dewan pengarah pemindahan ibu kota negara baru. Adapun Sheikh Mohammed bin Zayed mengatakan, hubungan kedua negara masih dapat ditingkatkan. “Kita dapat memulai era baru hubungan kedua negara yang lebih erat,” tegasnya. (Baca: Pemerintah Bentuk Provinsi untuk Ibu Kota Negara Baru)
Selain membicarakan investasi Ibu Kota baru, pertemuan Jokowi dengan Sheikh Mohammed bin Zayed juga menyepakati perjanjian di bidang keagamaan, pendidikan, perta nian, kesehatan, dan penanggulangan terorisme, Indonesia dan UEA juga meneken perjanjian di bidang energi, minyak dan gas, petrokimia, pelabuhan, telekomunikasi, dan riset. Total nilai investasi yang akan digelontorkan mencapai USD22,89 miliar atau setara Rp314,9 triliun.
Dari catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam kurun 2014-2019, investasi UEA di Indonesia hanya USD264,4 juta atau sekitar Rp3,62 triliun dari 318 proyek.
Dengan komitmen investasi tersebut, UEA mencatatkan sejarah baru dalam bidang kerjasama ekonomi dan investasi dengan Indonesia. Investasi UEA juga akan digelontorkan untuk pengembangan ibu kota baru. “Saya sangat sambut baik, hari ini 16 perjanjian kerja sama dapat dilakukan,” ungkap Jokowi seusai melakukan pertemuan dengan Sheikh Mohamed bin Zayed di Istana Kepresidenan Qasr al-Watan di Abu Dhabi seperti dilansir laman Sekretariat Presiden kemarin.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengingatkan bahwa peran pemodal dari dalam negeri harus menjadi pilihan paling utama mengingat risikonya yang rendah. Tapi di sisi lain pemerintah juga harus realistis bahwa pembangunan tidak dapat hanya mengandalkan pemodal lokal.
Menurut dia, kekhawatiran pada investasi asing sebenarnya tidak perlu berlebihan mengingat pembangunan ibu kota baru membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Karena yang terpenting adalah perjanjian pembangunan untuk ibu kota baru harus menguntungkan Indonesia. “Saya mengkhawatirkan ketika ada investasi asing dalam proyek pembangunan dan negara tidak dapat membayar, tentunya pembangunannya akan dikuasai oleh asing. Jadi pemerintah harus memperhatikan manajemen risikonya,” ujarnya.
Pengamat ekonomi Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan langkah Presiden RI Joko Widodo mengajak putra mahkota Abu Dhabi Mohammedbin Zayed untuk masuk dalam jajaran dewan pengarah pemindahan ibu kota baru itu masih prematur. Menurut Bhima, langkah tersebut merupakan politik keseimbangan.
Dia beralasan masih ada negara-negara lain yang layak diajak dalam pengembangan ibu kota baru. “Sebelumnya ada China, Jepang, dan terakhir negara di Timur Tengah. Saya kira pada akhirnya nanti akan muncul ke permukaan siapa saja yang berpeluang diajak, terutama dalam hal pengem bangan dan memberikan pengaruh investasi,” ucapnya. (Baca juga: Jokowi Undang Investor Timteng, Upaya RI Geser Ketergantungan Pada Tiongkok)
Dia menambahkan negara-negara di Timur Tengah berpeluang bergabung jika ada persamaan atau persepsi di bidang ekonomi. “Misalnya pengembangan ekonomi syariah kita di dalam negeri bagaimana apakah sudah satu visi dengan negara di Timur Tengah atau bagaimana. Saya kira itu salah satu yang bakal menjadi nilai tawar negara Timur Tengah,” papar nya.
Pembangunan ibu kota baru terus dimatangkan, khususnya terkait dengan pendanaan. Sebab pemerintah hanya bisa menanggung 19% dari total kebutuhan pembiayaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari perkiraan kebutuhan anggaran sebesar Rp466 triliun, porsi APBN mencapai Rp89,47 triliun. Pemerintah melalui Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menegaskan bahwa APBN bukan sumber pendanaan utama dalam pembangunan ibu kota negara baru. Mayoritas pembangunan dilakukan dengan melibatkan swasta dan badan usaha milik negara (BUMN). Skemanya bisa melalui investasi langsung dari swasta atau BUMN. Selain itu terdapat skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Porsi pembangunan melalui investasi langsung swasta/BUMN dipatok 26,2% atau sekitar Rp122,092 triliun. Ada pun yang melalui KPBU/PPP mencapai 54,6% atau sebesar Rp254,436 triliun. Porsi pendanaan dari APBN akan digunakan untuk membangun infrastruktur dasar dan kantor-kantor utama pemerintahan. Adapun untuk pembangunan infrastruktur penunjang diperlukan keterlibatan pihak lain, khususnya swasta.
Selain UEA, komitmen investasi juga datang dari Masayoshi dari Softbank (Jepang) dan dari International Development Finance Corporatio (IDFC) Amerika Serikat. UEA menginginkan dibentuk SovereignWealth Fund untuk menampung investasi tersebut.
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, dengan Sovereign Wealth Fund itu, UEA akan masuk berinvestasi dalam pembangunan ibu kota baru di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. UEA, kata Luhut, juga ingin berinvestasi dalam pembangunan di Aceh. “Di Aceh mereka sangat ingin masuk properti,” ungkapnya.
Sementara itu, anggota Komisi V DPR Irwan mengatakan upaya Presiden Jokowi mengundang investor asing untuk berinvestasi dalam pembangunan ibu kota baru patut di apresiasi. Yang paling penting adalah pemerintah tetap mengedepankan kedaulatan dan ketahanan Indonesia di atas kepentingan apa-pun. “Selama tetap mengedepankan kedaulatan dan ketahanan negara, terlepas dari kerja sama investasi itu, kita tetap harus bermartabat dan berdaulat sebagai bangsa dan negara,” kata Irwan.
Undangan ini disampaikan Jokowi saat menjadi keynote speaker pada forum Abu Dhabi Sustainability Week (ADSW) di Abu Dhabi National ExhibitionCenter (ADNEC). “Di ibu kota negara baru, kami mengundang dunia untuk membawa teknologi terbaik, inovasi terbaik, dan kearifan terbaik,” ucapnya. Jokowi mengatakan bahwa ibu kota baru harus menjadi kota dengan teknologi mutakhir.
Jokowi menyampaikan bahwa pembangunan ibu kota negara baru merupakan salah satu solusi pemerataan pembangunan di Indonesia. Jokowi bahkan meminta Sheikh Mohammed bin Zayed untuk masuk dalam jajaran dewan pengarah pemindahan ibu kota negara baru. Adapun Sheikh Mohammed bin Zayed mengatakan, hubungan kedua negara masih dapat ditingkatkan. “Kita dapat memulai era baru hubungan kedua negara yang lebih erat,” tegasnya. (Baca: Pemerintah Bentuk Provinsi untuk Ibu Kota Negara Baru)
Selain membicarakan investasi Ibu Kota baru, pertemuan Jokowi dengan Sheikh Mohammed bin Zayed juga menyepakati perjanjian di bidang keagamaan, pendidikan, perta nian, kesehatan, dan penanggulangan terorisme, Indonesia dan UEA juga meneken perjanjian di bidang energi, minyak dan gas, petrokimia, pelabuhan, telekomunikasi, dan riset. Total nilai investasi yang akan digelontorkan mencapai USD22,89 miliar atau setara Rp314,9 triliun.
Dari catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam kurun 2014-2019, investasi UEA di Indonesia hanya USD264,4 juta atau sekitar Rp3,62 triliun dari 318 proyek.
Dengan komitmen investasi tersebut, UEA mencatatkan sejarah baru dalam bidang kerjasama ekonomi dan investasi dengan Indonesia. Investasi UEA juga akan digelontorkan untuk pengembangan ibu kota baru. “Saya sangat sambut baik, hari ini 16 perjanjian kerja sama dapat dilakukan,” ungkap Jokowi seusai melakukan pertemuan dengan Sheikh Mohamed bin Zayed di Istana Kepresidenan Qasr al-Watan di Abu Dhabi seperti dilansir laman Sekretariat Presiden kemarin.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengingatkan bahwa peran pemodal dari dalam negeri harus menjadi pilihan paling utama mengingat risikonya yang rendah. Tapi di sisi lain pemerintah juga harus realistis bahwa pembangunan tidak dapat hanya mengandalkan pemodal lokal.
Menurut dia, kekhawatiran pada investasi asing sebenarnya tidak perlu berlebihan mengingat pembangunan ibu kota baru membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Karena yang terpenting adalah perjanjian pembangunan untuk ibu kota baru harus menguntungkan Indonesia. “Saya mengkhawatirkan ketika ada investasi asing dalam proyek pembangunan dan negara tidak dapat membayar, tentunya pembangunannya akan dikuasai oleh asing. Jadi pemerintah harus memperhatikan manajemen risikonya,” ujarnya.
Pengamat ekonomi Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan langkah Presiden RI Joko Widodo mengajak putra mahkota Abu Dhabi Mohammedbin Zayed untuk masuk dalam jajaran dewan pengarah pemindahan ibu kota baru itu masih prematur. Menurut Bhima, langkah tersebut merupakan politik keseimbangan.
Dia beralasan masih ada negara-negara lain yang layak diajak dalam pengembangan ibu kota baru. “Sebelumnya ada China, Jepang, dan terakhir negara di Timur Tengah. Saya kira pada akhirnya nanti akan muncul ke permukaan siapa saja yang berpeluang diajak, terutama dalam hal pengem bangan dan memberikan pengaruh investasi,” ucapnya. (Baca juga: Jokowi Undang Investor Timteng, Upaya RI Geser Ketergantungan Pada Tiongkok)
Dia menambahkan negara-negara di Timur Tengah berpeluang bergabung jika ada persamaan atau persepsi di bidang ekonomi. “Misalnya pengembangan ekonomi syariah kita di dalam negeri bagaimana apakah sudah satu visi dengan negara di Timur Tengah atau bagaimana. Saya kira itu salah satu yang bakal menjadi nilai tawar negara Timur Tengah,” papar nya.
Pembangunan ibu kota baru terus dimatangkan, khususnya terkait dengan pendanaan. Sebab pemerintah hanya bisa menanggung 19% dari total kebutuhan pembiayaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari perkiraan kebutuhan anggaran sebesar Rp466 triliun, porsi APBN mencapai Rp89,47 triliun. Pemerintah melalui Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menegaskan bahwa APBN bukan sumber pendanaan utama dalam pembangunan ibu kota negara baru. Mayoritas pembangunan dilakukan dengan melibatkan swasta dan badan usaha milik negara (BUMN). Skemanya bisa melalui investasi langsung dari swasta atau BUMN. Selain itu terdapat skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Porsi pembangunan melalui investasi langsung swasta/BUMN dipatok 26,2% atau sekitar Rp122,092 triliun. Ada pun yang melalui KPBU/PPP mencapai 54,6% atau sebesar Rp254,436 triliun. Porsi pendanaan dari APBN akan digunakan untuk membangun infrastruktur dasar dan kantor-kantor utama pemerintahan. Adapun untuk pembangunan infrastruktur penunjang diperlukan keterlibatan pihak lain, khususnya swasta.
Selain UEA, komitmen investasi juga datang dari Masayoshi dari Softbank (Jepang) dan dari International Development Finance Corporatio (IDFC) Amerika Serikat. UEA menginginkan dibentuk SovereignWealth Fund untuk menampung investasi tersebut.
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, dengan Sovereign Wealth Fund itu, UEA akan masuk berinvestasi dalam pembangunan ibu kota baru di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. UEA, kata Luhut, juga ingin berinvestasi dalam pembangunan di Aceh. “Di Aceh mereka sangat ingin masuk properti,” ungkapnya.
Sementara itu, anggota Komisi V DPR Irwan mengatakan upaya Presiden Jokowi mengundang investor asing untuk berinvestasi dalam pembangunan ibu kota baru patut di apresiasi. Yang paling penting adalah pemerintah tetap mengedepankan kedaulatan dan ketahanan Indonesia di atas kepentingan apa-pun. “Selama tetap mengedepankan kedaulatan dan ketahanan negara, terlepas dari kerja sama investasi itu, kita tetap harus bermartabat dan berdaulat sebagai bangsa dan negara,” kata Irwan.
(ysw)