Tempuh Jalur Diplomatik, Langkah Tepat Indonesia Padamkan Bara di Natuna

Selasa, 14 Januari 2020 - 06:27 WIB
Tempuh Jalur Diplomatik, Langkah Tepat Indonesia Padamkan Bara di Natuna
Tempuh Jalur Diplomatik, Langkah Tepat Indonesia Padamkan Bara di Natuna
A A A
KAPAL-KAPAL Tiongkok itu pergi tak lama setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyudahi kunjungan ke Natuna pada pekan lalu. Kabar hengkangnya Tiongkok yang disampaikan otoritas resmi Indonesia itu untuk sementara mengakhiri polemik pelanggaran wilayah Indonesia oleh mereka sepanjang pekan pertama awal 2020.

“Berdasarkan pengamatan TNI AU melalui pengintaian udara, kapal-kapal Tiongkok yang waktu itu melakukan illegal fishing sudah keluar dari ZEE (zona ekonomi eksklusif) kita pasca-kunjungan Bapak Presiden ke Natuna,” kata Mayjen Sisriadi, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis pekan lalu.

Naiknya tensi hubungan Indonesia-Tiongkok dipicu kejadian menjelang pergantian tahun. Senin akhir Desember 2019, KRI Tjiptadi-381 memergoki sebuah kapal penjaga pantai (coast guard) Tiongkok di wilayah ZEE perairan Natuna Utara. Kapal penjaga pantai Tiongkok tersebut sedang mengawal sejumlah kapal ikan Tiongkok yang melakukan kegiatan pencurian ikan (illegal, unreported, and unregulated/IUU fishing) di perairan tersebut. (Baca: Tak Ada Nelayan RI, Dinilai Penyebab China Masuk Indonesia)

Nota protes pun segera dilayangkan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia kepada Pemerintah Tiongkok pada 30 Desember 2019. Sayangnya, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok malah balik menyatakan memiliki hak atas perairan tersebut berdasarkan konsep Sembilan Garis Putus (Nine Dash Line), yaitu garis yang diklaim Pemerintah Tiongkok dengan alasan historis bahwa perairan tersebut menjadi lokasi aktivitas kapal-kapal nelayan Negeri Tirai Bambu sejak dahulu (traditional fishing ground).

Klaim sepihak ini membuat situasi ketegangan sempat meningkat. Pemerintah Indonesia menegaskan penolakan terhadap klaim Tiongkok atau Cina terhadap wilayah Natuna. “Indonesia tidak akan pernah mengakui Nine Dash Line lantaran tidak memiliki alasan hukum yang diakui secara internasional, terutama UNCLOS 1982,” kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi.

TNI bahkan sempat mengirimkan sejumlah tambahan kapal patroli dan jet tempur. Upaya ini dilakukan lantaran sejumlah kapal nelayan Tiongkok masih bertahan di perairan Natuna Utara. “Kita tidak membuat provokasi dengan pihak manapun, kita menjaga wilayah kita,” tutur Marsekal Pertama Ronny Irianto Moningka, Komandan Lanud Roesmin Nurjadin.

Di tengah tingginya tensi diplomatik tersebut, Jokowi memutuskan mengunjungi Natuna. Setelah itu, ketegangan pun berangsur-angsur menurun. Jokowi menyatakan tidak ada aksi pelanggaran kedaulatan di Natuna. Sesuai laporan yang diterima dari TNI, kapal-kapal Tiongkok tersebut berada di ZEE Indonesia, bukan laut teritorial Indonesia.

Di wilayah ZEE, kapal-kapal internasional dapat melintas dengan bebas. Namun, sesuai hukum internasional, Indonesia memiliki hak atas kekayaan alam di dalamnya dan berhak menggunakan kebijakan hukum ZEE. Hal ini termasuk menangkap atau menghalau kapal asing yang mencoba memanfaatkan kekayaan alam di ZEE. “Kapal-kapal TNI AL senantiasa bersiaga menjaga kedaulatan Tanah Air Indonesia di Laut Natuna,” ujar Jokowi seusai kunjungan di Natuna.

Dilematik

“Korban” klaim Tiongkok di Laut Cina Selatan bukan hanya Indonesia. Sejumlah negara di Asia Tenggara juga terlibat konflik dengan Tiongkok berkaitan dengan wilayah laut mereka. Malaysia, misalnya, memilih jalur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelesaikan masalahnya. Malaysia mengajukan proposal ke PBB untuk mencari kejelasan tentang batas landas kontinennya untuk wilayah 322 km di luar ZEE yang juga kerap disengketakan karena diklaim beberapa negara Asia Tenggara.

Selain Malaysia, Filipina juga mengadukan Tiongkok ke PBB. Filipina menuduh kapal Tiongkok menabrak salah satu kapalnya hingga tenggelam pada beberapa minggu yang lalu dan membahayakan 22 nelayan kapal tersebut. Vietnam juga tidak lepas dari konflik dengan Tiongkok terkait wilayah laut. Negara ini mengecam Tiongkok dengan terbuka di melalui surat kabar pemerintah pada Februari lalu.

Sama seperti Indonesia, negara-negara tetangga tersebut menolak klaim Sembilan Garis Putus yang diklaim Tiongkok karena tidak memiliki dasar yang kuat. Pijakan Tiongkok hanya mengacu faktor sejarah yang tidak memiliki bukti persetujuan tertulis apapun.

Bagi Indonesia sendiri, langkah untuk menyelesaikan polemik melalui jalur diplomatik memang lebih masuk akal. Sebab, posisi Indonesia cukup dilematik mengingat peran Tiongkok bagi Indonesia. Tiongkok tercatat sebagai negara pemberi utang keempat terbesar kepada Indonesia sebesar US$17,75 miliar atau setara Rp274 triliun. Begitu pula dalam hal investasi, Tiongkok adalah investor terbesar kedua. Berdasarkan catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai investasi Tiongkok sepanjang Januari–September 2019 mencapai US$3,3 miliar. (Baca juga: Kapal China Masuk Perairan Indonesia, Jadi Pembelajaran untuk Perketat Pertahanan)

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana meyakini konflik Indonesia-Tiongkok di Natuna Utara tidak akan pernah selesai kendati juga tak akan lebih panas dari yang sudah-sudah. Menurut dia, ada aspek politis yang mungkin berada di balik “provokasi” Tiongkok di Natuna Utara. Pada 2016, kejadian serupa pernah terjadi. Ketika situasi mulai memanas, Presiden Jokowi datang ke Tiongkok dan situasi kembali normal. “Jadi, ada alasan mereka coba-coba. Namun, kalau Indonesia konsisten, mereka tidak macam-macam,” katanya kepada SINDO Weekly.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0451 seconds (0.1#10.140)