Wahyu Setiawan Minta Rp900 Juta ke Caleg PDIP agar PAW Dimuluskan
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebagai tersangka penerima suap terkait dengan penetapan anggota DPR-RI Terpilih 2019-2024.
(Baca juga: KPK Tetapkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan Tersangka Penerima Suap)
Dalam kasus ini, Wahyu meminta kepada caleg PDIP Harun Masiku sebesar Rp900 juta, agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019.
"Untuk membantu penetapan HAR (Harun Masiku) sebagai anggota DPR-RI pengganti antar waktu, WSE (Wahyu Setiawan) meminta dana operasional Rp900 juta," ujar Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/1/2020).
Lili menjelaskan, pada awal Juli 2019, salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan advokat Doni mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara.
Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya Caleg Terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019. Gugatan ini kemudian dikabulkan Mahkamah Agung (MA) pada 19 Juli 2019. MA pun menetapkan partai adalah penentu suara dan pengganti antar waktu.
"Penetapan MA ini kemudian menjadi dasar PDIP berkirim surat kepada KPU untuk
menetapkan HAR (Harun Masiku) sebagai pengganti caleg yang meninggal tersebut," jelas Lili.
Namun, Tanggal 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Alm. Nazarudin Kiemas. Dua pekan kemudian atau tanggal 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa MA dan pada 23 September mengirimkan surat berisi penetapan caleg.
Saeful pihak swasta sebagai pemberi menghubungi Mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu sekaligus orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina dan melakukan lobi untuk mengabulkan Harun sebagai Pergantian Antarwaktu (PAW).
"Selanjutnya, Agustiani mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari Saeful, kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun dan Wahyu menyanggupi membantu dengan membalas: 'Siap, mainkan!'," kata Lili.
Lalu pada Selasa, 7 Januari 2020 berdasarkan hasil rapat Pleno, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan HAR sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal.
Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, Wahyu kemudian menghubungi Doni menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi PAW.
"Pada Rabu, 8 Januari 2020, Wahyu, Komisioner KPU meminta sebagian uangnya yang dikelola oleh Agustiani (setelah hal ini terjadi, tim KPK melakukan OTT). Tim menemukan dan mengamankan barang bukti uang RP400 juta yang berada di tangan Agustiani dalam bentuk Dollar Singapura," ungkap Lili.
Sebagai penerima Wahyu dan Agustiani disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dan sebagai pemberi, Harun Masiku dan Saeful disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
(Baca juga: KPK Tetapkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan Tersangka Penerima Suap)
Dalam kasus ini, Wahyu meminta kepada caleg PDIP Harun Masiku sebesar Rp900 juta, agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019.
"Untuk membantu penetapan HAR (Harun Masiku) sebagai anggota DPR-RI pengganti antar waktu, WSE (Wahyu Setiawan) meminta dana operasional Rp900 juta," ujar Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/1/2020).
Lili menjelaskan, pada awal Juli 2019, salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan advokat Doni mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara.
Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya Caleg Terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019. Gugatan ini kemudian dikabulkan Mahkamah Agung (MA) pada 19 Juli 2019. MA pun menetapkan partai adalah penentu suara dan pengganti antar waktu.
"Penetapan MA ini kemudian menjadi dasar PDIP berkirim surat kepada KPU untuk
menetapkan HAR (Harun Masiku) sebagai pengganti caleg yang meninggal tersebut," jelas Lili.
Namun, Tanggal 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Alm. Nazarudin Kiemas. Dua pekan kemudian atau tanggal 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa MA dan pada 23 September mengirimkan surat berisi penetapan caleg.
Saeful pihak swasta sebagai pemberi menghubungi Mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu sekaligus orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina dan melakukan lobi untuk mengabulkan Harun sebagai Pergantian Antarwaktu (PAW).
"Selanjutnya, Agustiani mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari Saeful, kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun dan Wahyu menyanggupi membantu dengan membalas: 'Siap, mainkan!'," kata Lili.
Lalu pada Selasa, 7 Januari 2020 berdasarkan hasil rapat Pleno, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan HAR sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal.
Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, Wahyu kemudian menghubungi Doni menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi PAW.
"Pada Rabu, 8 Januari 2020, Wahyu, Komisioner KPU meminta sebagian uangnya yang dikelola oleh Agustiani (setelah hal ini terjadi, tim KPK melakukan OTT). Tim menemukan dan mengamankan barang bukti uang RP400 juta yang berada di tangan Agustiani dalam bentuk Dollar Singapura," ungkap Lili.
Sebagai penerima Wahyu dan Agustiani disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dan sebagai pemberi, Harun Masiku dan Saeful disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
(maf)