Drone Black Eagle Bukti Indonesia Bisa Mandiri

Selasa, 31 Desember 2019 - 10:08 WIB
Drone Black Eagle Bukti...
Drone Black Eagle Bukti Indonesia Bisa Mandiri
A A A
BANDUNG - Pesawat tanpa awak (drone) Black Eagle atau Elang Hitam yang diperkenalkan oleh konsorsium enam lembaga bersama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membuktikan bahwa Indonesia sudah bisa mandiri dalam menghasilkan alat keamanan berteknologi tinggi.

Ke depan, industri semacam ini harus didukung agar mendapatkan pasar lebih luas sehingga mencapai tingkat keekonomian secara komersil.

Prototipe pesawat udara nirawak (PUNA) Medium Altitude Long Endurance (MALE) yang diberi nama Elang Hitam atau Black Eagle itu, kemarindiperlihatkan di hanggar PT Dirgantara Indonesia (PTDI), Kota Bandung, Jawa Barat.

Pengenalan Black Eagle menandai dimulainya tahapan terbang yang diharapkan dilakukan pada 2020. Pesawat tanpa awak itu ditargetkan selesai dan bisa dioperasikan pada 2024 mendatang, setelah mendapatkan sejumlah uji sertifikasi.

"Pada 2020 akan dibuat dua unit prototype. Nanti masing-masing untuk tujuan uji terbang dan uji kekuatan struktur di BPPT. Di tahun yang sama, proses sertifikasi produk militer juga akan dimulai dan diharapkan pada akhir tahun 2021 sudah mendapatkan sertifikat tipe dari Pusat Kelaikan Kementerian Pertahanan RI," kata Direktur Utama PTDI Elfien Goentoro di Bandung, Jawa Barat, kemarin.

Serangkaian proses sertifikasi tersebut, kata dia, sekaligus untuk mengintegrasikan sistem senjata pada prototype PUNA MALE yang dilakukan di 2020. Sehingga diproyeksikan sudah mendapatkan sertifikasi tipe produk militer.

Elfien mengatakan, pesawat nirawak ini mampu terbang dengan maximum endurance 30 jam dalam perhitungan maximum cruising speed 235 km/jam. Tak hanya itu, pesawat yang dikendalikan dari jarak jauh ini mampu terbang sejauh 250 km. Namun, pesawat ini hanya mampu membawa beban sekitar 300 kg. Beban ini rencananya bisa dipakai untuk kebutuhan militer seperti membawa misil atau rudal.

"Tetapi untuk tahap awal bukan untuk kombatan. Tetapi bisa dipakai untuk kebutuhan pengawasan dari udara seperti ancaman daerah perbatasan, terorisme, penyelundupan, pembajakan, serta pencurian sumber daya alam seperti illegal logging dan illegal fishing," kata dia.

Drone Black Eagle memiliki lebar 16 meter, panjang 8,65 meter, dan tinggi 2,6 meter. Saat take off, pesawat bisa mengunakan landasan sepanjang 700 meter. Sedangkan saat mendarat (landing) bisa pada landasan sepanjang 500 meter. Kemampuan ini hampir mirip dengan pesawat N212 buatan PTDI yang dibuat untuk bandara perintis.

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan, pesawat Udara Nir Awak (PUNA) jenis Medium Altitude Long Endurance (MALE) diperlukan untuk membantu menjaga kedaulatan NKRI dari udara yang sangat efisien dan dapat mengurangi potensi kehilangan jiwa (tanpa pilot).

Dengan kemandirian ini, maka PUNA MALE buatan Indonesia dapat mengisi kebutuhan squadron TNI AU untuk dapat mengawasi wilayah NKRI melalui wahana udara. Selain itu kegiatan dapat mengembangkan industri dalam negeri yang sesuai dengan mandat Undang-Undang No 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.

"Produk ini diharapkan mengisi kebutuhan impor nasional. Sehingga menjadi negara mandiri dan kompetitif," imbuh dia.

Sementara itu, Komisi I DPR mengapresiasi atas diluncurkannya prototype drone Black Eagle produksi industri pertahanan (inhan) dalam negeri. Namun, DPR berharap bahwa pengembangan drone tersebut ini tidak hanya berhenti pada prototype saja, pemerintah juga perlu membelinya sehingga punya nilai ekonomi tinggi.

“Selanjutnya adalah komitmen pemerintah, berapa banyak yang akan dibeli untuk digunakan, baik keperluan sipil seperti pemetaan, atau keamanan kawasan seperti monitoring ilegal fishing ataupun militer,” kata Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi saat dihubungi SINDO Media, kemarin.

Namun, kata Bobby, tantangan utama sebagaimana produk inhan terdahulu adalah, teknologi industri strategis seperti ini biasanya berhenti sampai prototype saja. menurutnya, kalaupun sampai pada tahap komersial, tidak produksi sampai volume keekonomian yang tinggi seperti Anoa, dan pesawat CN235.

“Pemerintah perlu berikhtiar, bila ingin mengembangkan industri pertahanan dalam negeri, perlu membeli dalam jumlah yang cukup ekonomis,” ujarnya.

Terlebih lagi, ujar Bobby, belum ada roadmap pembelian drone Black Eagle dalam MEF 3 2020-2024. Bahkan, saat Menko Polhukam masih dijabat Wiranto, kata dia, justru yang dumumkan adalah drone CH-4 buatan China yang masuk dalam formasi militer.

“Kata panglima, sudah masuk renstra II, bukan Black Eagle. Harapannya bisa masuk ke depan,” harap Politisi Partai Golkar itu.

Tetapi, terkait apakah Black Eagle ini memenuhi standar pertahanan dalam negeri, Bobby meyakini bahwa TNI yang lebih paham. Komisi I DPR mendukung apabila memang Black Eagle sudah bisa masuk standar tempur TNI dalam negeri dan masuk daftar belanja.

“Pasti DPR mendukung kemajuan inhan dalam negeri, dengan mengawal kebijakan Undang-Undang Inhan tahun 2012 , dan evaluasi kandungan lokal, dan Menhan perlu segera mengangkat formasi KKIP yang baru,” tambahnya.

Selain kemampuan membuat drone untuk kepentingan militer, BUMN nasional lainnya juga dikenal dengan keberhasilan memproduksi berbagai alat utama sistem persenjataan (alutsista). Misalnya PT Pindad yang berhasil memproduksi persenjataan jenis pistol dan senapan serbu yang kerap digunakan oleh militer asing.

Pindad juga memproduksi kendaraan tempur yang laku di luar negeri seperti Panser Anoa dan kendaraan taktis Komodo yang teruji di berbagai medan pertempuran. Khusus Anoa bahkan resmi menjadi panser yang digunakan oleh pasukan khusus perdamaian PBB.

Di sektor lain, BUMN lain yakni PT PAL juga mencatatkan prestasi tidak sembarangan. Perseroan yang bermarkas di Surabaya, Jawa Timur itu bisa memproduksi kapal perang sampai dengan jenis korvet dan frigate. Teranyar, perusahaan itu juga berhasil mengekspor kapal militer jenis landing platform dock (LPD) ke Filipina.

Libatkan Konsorsium
Elfien menambahkan, inisiasi pengembangan PUNA MALE telah dimulai oleh Badan Penelitian dan Pengembanga (Balitbang) Kementerian Pertahanan (Kemhan) sejak tahun 2015 dengan melibatkan TNI, Ditjen Pothan Kemhan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan PT Dirgantara Indonesia (Persero).

Proses perancangan drone tersebut dimulai dengan kegiatan preliminary design, basic design dengan pembuatan dua kali model terowongan angin dan hasil ujinya di 2016 dan 2018 di BPPT. Kemudian pembuatan engineering document and drawing pada 2017 dengan anggaran dari Balitbang Kemhan dan BPPT.

Pada 2017 terbentuk perjanjian bersama berupa Konsorsium Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA MALE) dengan anggota yang terdiri atas Kementerian Pertahanan RI yaitu Ditjen Pothan dan Balitbang, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), TNI AU (Dislitbangau), Institut Teknologi Bandung/ITB (FTMD), BUMN yaitu PT Dirgantara Indonesia (Persero) dan PT Len Industri (Persero). Kemudian pada 2019 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) masuk sebagai anggota konsorsium.

Pada 2019, proyek drone memasuki tahap manufacturing yang diawali oleh proses design structure, perhitungan finite element method, pembuatan gambar 3D, dan detail drawing 2D yang dikerjakan oleh engineer BPPT dan disupervisi oleh PT Dirgantara Indonesia (Persero).

Kemudian dilanjutkan dengan proses pembuatan tooling, molding, cetakan dan selanjutnya fabrikasi dengan proses pre-preg dengan autoclave. Di tahun ini juga dilakukan pengadaan Flight Control System (FCS) yang diproduksi di Spanyol yang diproyeksikan akan diintegrasikan pada prototype pertama PUNA MALE yang telah di manufaktur oleh PT Dirgantara Indonesia pada awal tahun 2020.

Proses integrasi dilaksanakan oleh engineer BPPT dan PT Dirgantara Indonesia yang telah mendapatkan pelatihan untuk mengintegrasikan dan mengoperasikan sistem kendali tersebut.

"Semoga seluruh tahapan pekerjaan dalam proses pengembangan pesawat PUNA MALE ini dapat berjalan dengan lancar, sebagaimana yang direncanakan dan kemudian dapat dioptimalkan fungsinya untuk kebutuhan Surveillance dan Target Acquisition,” ujar Elfien. (Arif Budianto/Kiswondari)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0713 seconds (0.1#10.140)