Refleksi Akhir Tahun, Demokrasi dan Penegakan Hukum Masih Jadi Catatan
A
A
A
JAKARTA - Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus memberikan catatan terkait refleksi akhir tahun 2019 yang segera berakhir. Namun demikian, pekerjaan rumah bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin yang tersisa masih cukup banyak.
"Beberapa persoalan masuk catatan kami, dua hal di antara yang fundamental adalah demokrasi dan penegakan hukum," kata Sulthan saat dihubungi SINDOnews, Jumat (27/12/2019).
(Baca juga: Jubir Presiden Sebut Perpres KPK Masih Dalam Pembahasan di Setneg)
Sulthan mengatakan, ruang demokrasi yang ada perlahan mulai terkikis, di mana ada banyak masalah hukum yang menjerat masyarakat kita. Padahal salah satu faktornya akibat ketidaktahuan dengan terseret 'pasal karet'.
"Bukankah sebaiknya regulasi itu lahir dari kebutuhan masyarakat? Saya pikir 2020 peraturan yang bertentangan dengan prinsip negara demokratis segera ditinjau kembali. Itu pesan konstitusi," tutur dia.
Kemudian lanjut dia, di sektor penegakan hukum. Ia menilai, secara kasat mata terlihat negara tajam ke kanan tumpul ke kiri. Begitu juga sebaliknya, asas equality before the law dikesampingkan begitu saja.
"Saya pikir pemerintahan dan pemimpin politik punya kewajiban mewujudkan kenyamanan," ujarnya.
Alumni UIN Jakarta ini menganggap, ketentraman hidup rakyat itu hanya mungkin dicapai dengan pertumbuhan ekonomi. Dan kestabilan ekonomi hanya mungkin tumbuh subur dalam iklim demokratis. Menurutnya, langkah awal bisa dimulai dengan reformasi regulasi.
Dalam hal ini, perlu diapresiasi upaya pemerintah melahirkan undang-undang yang menjadi omnibus law. Tinggal berikutnya memperkuat peran pencegahan dan pengawasan.
Untuk itu, kata Sulthan, negara perlu 'banyak mata' di luar mata-mata politisi, di tengah tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik yang relatif rendah. "Hemat saya, pemerintah komit saja dengan demokrasi dan equality before the law. Dengan begitu negara kita lebih mudah mencapai tujuan kesejahteraan rakyat," imbuhnya.
"Beberapa persoalan masuk catatan kami, dua hal di antara yang fundamental adalah demokrasi dan penegakan hukum," kata Sulthan saat dihubungi SINDOnews, Jumat (27/12/2019).
(Baca juga: Jubir Presiden Sebut Perpres KPK Masih Dalam Pembahasan di Setneg)
Sulthan mengatakan, ruang demokrasi yang ada perlahan mulai terkikis, di mana ada banyak masalah hukum yang menjerat masyarakat kita. Padahal salah satu faktornya akibat ketidaktahuan dengan terseret 'pasal karet'.
"Bukankah sebaiknya regulasi itu lahir dari kebutuhan masyarakat? Saya pikir 2020 peraturan yang bertentangan dengan prinsip negara demokratis segera ditinjau kembali. Itu pesan konstitusi," tutur dia.
Kemudian lanjut dia, di sektor penegakan hukum. Ia menilai, secara kasat mata terlihat negara tajam ke kanan tumpul ke kiri. Begitu juga sebaliknya, asas equality before the law dikesampingkan begitu saja.
"Saya pikir pemerintahan dan pemimpin politik punya kewajiban mewujudkan kenyamanan," ujarnya.
Alumni UIN Jakarta ini menganggap, ketentraman hidup rakyat itu hanya mungkin dicapai dengan pertumbuhan ekonomi. Dan kestabilan ekonomi hanya mungkin tumbuh subur dalam iklim demokratis. Menurutnya, langkah awal bisa dimulai dengan reformasi regulasi.
Dalam hal ini, perlu diapresiasi upaya pemerintah melahirkan undang-undang yang menjadi omnibus law. Tinggal berikutnya memperkuat peran pencegahan dan pengawasan.
Untuk itu, kata Sulthan, negara perlu 'banyak mata' di luar mata-mata politisi, di tengah tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik yang relatif rendah. "Hemat saya, pemerintah komit saja dengan demokrasi dan equality before the law. Dengan begitu negara kita lebih mudah mencapai tujuan kesejahteraan rakyat," imbuhnya.
(maf)