Kasus Rommy, Saksi Ahli: Bedakan Status Ketum Partai dan Anggota DPR
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis meminta majelis hakim tindak pidana korupsi (tipikor) untuk membedakan status Romahurmuziy (Rommy) sebagai anggota DPR dan ketua umum partai saat melakukan kegiatan. Sebab dua status itu mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda.
“Dapat dibedakan status anggota DPR dengan ketua umum partai. Tegas saya berpendapat, dua soal ini diatur dalam UU yang berbeda. Ini cukup rumit, maka perlu jeli betul dalam melihat ini. Sebab jika tidak, itu akan pukul rata, tidak proporsional dalam melihat masalah,” kata Margarito saat menjadi saksi ahli dalam kasus jual beli jabatan dengan terdakwa Rommy di PN Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (18/12/2019).
Margarito menambahkan bahwa administrasi kesekjenan DPR selalu melekat pada kegiatan anggota DPR. Tidak hanya di persidangan, namun juga saat reses.
“Jika Beliau (Rommy) anggota DPR turun ke daerah saat reses adalah perintah kesekjenan, semua pembiayaannya diadministrasikan. Sehingga jika ia menghadiri tahlilan misalnya saat menjalankan tugas DPR dan menerima bingkisan, maka itu dilarang,” jelas Margarito.
Berbeda dengan posisi sebagai politisi atau bahkan ketum partai yang sedang turun ke daerah untuk menyerap aspirasi masyarakat atau konstituen. Saat menjalankan fungsi sebagai politisi ini, maka seseorang tersebut bertindak bukan sebagai anggota DPR.
Margarito menyebut salah satu fungsi partai politik melakukan artikulasi dan menyerap aspirasi-aspirasi rakyat. “Jika seorang melakukan fungsinya sebagai ketua partai dalam menyerap aspirasi, maka tidak terkait dengan suap menyuap. Misalnya saat Ketum Partai mendapatkan oleh-oleh dari ketua wilayah, maka itu tidak apa-apa,” ujarnya.
Margarito merupakan salah satu saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang Rommy. Rommy didakwa menerima suap dari mantan Kepala Kanwil Kemenag Jawa Timur Hasanuddin dan mantan Kepala Kantor Kemenag Gresik Muafaq Wirahadi. Keduanya sudah divonis bersalah.
“Dapat dibedakan status anggota DPR dengan ketua umum partai. Tegas saya berpendapat, dua soal ini diatur dalam UU yang berbeda. Ini cukup rumit, maka perlu jeli betul dalam melihat ini. Sebab jika tidak, itu akan pukul rata, tidak proporsional dalam melihat masalah,” kata Margarito saat menjadi saksi ahli dalam kasus jual beli jabatan dengan terdakwa Rommy di PN Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (18/12/2019).
Margarito menambahkan bahwa administrasi kesekjenan DPR selalu melekat pada kegiatan anggota DPR. Tidak hanya di persidangan, namun juga saat reses.
“Jika Beliau (Rommy) anggota DPR turun ke daerah saat reses adalah perintah kesekjenan, semua pembiayaannya diadministrasikan. Sehingga jika ia menghadiri tahlilan misalnya saat menjalankan tugas DPR dan menerima bingkisan, maka itu dilarang,” jelas Margarito.
Berbeda dengan posisi sebagai politisi atau bahkan ketum partai yang sedang turun ke daerah untuk menyerap aspirasi masyarakat atau konstituen. Saat menjalankan fungsi sebagai politisi ini, maka seseorang tersebut bertindak bukan sebagai anggota DPR.
Margarito menyebut salah satu fungsi partai politik melakukan artikulasi dan menyerap aspirasi-aspirasi rakyat. “Jika seorang melakukan fungsinya sebagai ketua partai dalam menyerap aspirasi, maka tidak terkait dengan suap menyuap. Misalnya saat Ketum Partai mendapatkan oleh-oleh dari ketua wilayah, maka itu tidak apa-apa,” ujarnya.
Margarito merupakan salah satu saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang Rommy. Rommy didakwa menerima suap dari mantan Kepala Kanwil Kemenag Jawa Timur Hasanuddin dan mantan Kepala Kantor Kemenag Gresik Muafaq Wirahadi. Keduanya sudah divonis bersalah.
(poe)