Kisah Ormas Islam Indonesia ke Xinjiang Melihat dari Dekat Muslim Uighur
A
A
A
JAKARTA - Delegasi Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam Indonesia terdiri atas Muhammadiyah, PBNU dan MUI mendapat kesempatan mengunjungi Xinjiang, China untuk melihat dari dekat kondisi masyarakat Xinjiang khususnya muslim Uighur. Dalam kunjungannya, ada banyak hal yang diperoleh dan dilihat terkait dengan kondisi kebebasan beragama di Negeri Tirai Bambu tersebut.
Ketua bidang Hubungan Luar Negeri MUI, Muhyiddin Junaidi menuturkan, awalnya delegasi Ormas Islam diundang Kedutaan Besar China di Indonesia untuk berkunjung ke Xinjiang Otonomic Region. (Baca juga: PP Muhammadiyah Keluarkan 7 Pernyataan Sikap Soal Muslim Uighur)
Delegasi Ormas Islam Indonesia berjumlah 15 orang. Dimana setiap ormas mengirimkan 5 orang dan tiga wartawan dari media cetak dan elektronik. Sesampainya di Beijing, delegasi Ormas Islam Indonesia langsung bersilaturahmi dengan Dubes, dan dilanjutkan dengan makan malam serta memberikan gambaran singkat mengenai Xinjiang.
"Kami bertemu dengan pimpinan CIA (China Islamic Association) yang kebetulan baru atau Asosiasi Muslim China. Bukan seperti Muhammadiyah atau MUI. Dia ini perpanjangan pemerintah karena tidak ada organisasi pemerintah di China. Semua harus di bawah kontrol pemerintah di China," ujar Junaidi saat jumpa pers di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Senin (16/12/2019).
Saat Bertemu dengan CIA inilah kecurigaan delegasi ormas Islam Indonesia muncul. Hal itu diawali ketika delegasi Ormas Islam ingin diantarkan ke masjid terdekat untuk salat berjamaah namun tidak diantarkan dengan alasan cuaca. Padahal, permintaan seorang tamu biasanya sebisa mungkin dikabulkan ataupun dituruti walau hanya diantarkan ke masjid sekalipun. "Mulai saat itu kami mulai mencurigai, masuk kami ke hotel, memang sudah ada direction of kiblat di tiap kamar tapi nampak jelas yang asli dan baru itu berbeda. Kami mulai curiga," jelasnya.
Kecurigaan juga muncul saat seorang wartawan ingin membeli rokok keluar hotel, dan dengan sigap perwakilan CIA tidak memperbolehkan keluar dan membelikannya langsung segala keperluan wartawan itu.
Wartawan itupun kembali ke hotel dan menceritakan hal tersebut kepada delegasi Ormas Islam Indonesia. Hari berikutnya, wakil ketua CIA mengajak ke museum tindak kekerasan yang dilakukan masyarakat Uighur ke masyarakat di Xinjiang. ”Dirinya merasa kurang yakin kekerasan itu dilakukan masyarakat Uighur terlihat dari gambar yang disajikan, namun nama yang tertera mirip dengan masyarakat Uighur,” ucapnya.
Delegasi Ormas Islam Indonesia pun menyambangi tempat lainnya dan mereka semakin yakin tidak ada kebebasan beragama di sana. "Kunjungan ke beberapa tempat, masjid, institut Islam semakin meyakinkan kami bahwa tidak ada kebebasan beragama. Freedom of religion itu agak susah kita buktikan. Kenapa demikian? Konstitusi China bab 2 artikel 38 mengatakan bahwa pemerintah China beri kebebasan warga untuk beragama dan tidak beragama," katanya.
Setelah berkunjung ke re-education center dimana penghuninya adalah orang-orang Uighur yang melaksanakan agamanya secara terbuka demonstratif. Padahal, dalam konstitus di China menyatakan, agama diterapkan di ruang tertutup tidak boleh diruang terbuka, jika dibawa ke ruang terbuka dianggap radikal dan patut dibawa ke re-education.
"Kalau Anda radikal dikirim ke kamp-kamp re-education center dilatih 1 tahun di sana agar paham konstitusi China dan paham bahasa Mandarin karena umumnya orang Uighur tidak bisa bahasa Mandarin. Jadi, selama re-education tidak boleh salat, baca alquran, tidak boleh puasa, makan seadanya. Itu CCTV every corner. jadi gadget ga boleh, terputus dari dunia luar. Nah itu kalau salat diruang terbuka anda dianggap radikal," sambungnya.
Pada hari Jumat, salat Jumat dipenuhi kakek-kakek dengan seragam sama, tidak ada anak kecil, anak muda yang menjalankan ibadah dengan alasan konstitusi. Sebab beragama setelah 18 tahun baru dibolehkan. Jika ada seorang ibu yang mengajarkan agama kepada anak-anaknya maka dianggap radikal. "Menyedihkan, kami diskusi dengan wakil ketua CIA. Jadi salatnya dirapel 8 bulan, sekian bulan satu tahun," jelasnya.
Seusai kunjungan itu, delegasi Ormas Islam Indonesia langsung menyampaikan hasil kunjungan itu kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Ada beberapa poin yang disampaikan di antaranya, delegasi meminta kepada pemerintah China memberikan kebebasan umat Islam untuk melaksanakan ibadah mereka secara terbuka karena dijamin oleh Piagam PBB.
"Ya kami serahkan ke Bu Retno ada poinnya banyak. Tetapi saya tidak tahu Ibu Retno sudah memanggil Dubes China atau belum atau sudah diserahkan atau belum. Kenapa kami tidak mau melakukan jumpa pers, ya kami diskusi dulu dgn Menlu, khawatir nanti menimbulkan pro-kontra. Mudah-mudahan Ibu Menlu sudah menyampaikan Dubes China yang bertugas di Indonesia," ungkapnya.
Ketua bidang Hubungan Luar Negeri MUI, Muhyiddin Junaidi menuturkan, awalnya delegasi Ormas Islam diundang Kedutaan Besar China di Indonesia untuk berkunjung ke Xinjiang Otonomic Region. (Baca juga: PP Muhammadiyah Keluarkan 7 Pernyataan Sikap Soal Muslim Uighur)
Delegasi Ormas Islam Indonesia berjumlah 15 orang. Dimana setiap ormas mengirimkan 5 orang dan tiga wartawan dari media cetak dan elektronik. Sesampainya di Beijing, delegasi Ormas Islam Indonesia langsung bersilaturahmi dengan Dubes, dan dilanjutkan dengan makan malam serta memberikan gambaran singkat mengenai Xinjiang.
"Kami bertemu dengan pimpinan CIA (China Islamic Association) yang kebetulan baru atau Asosiasi Muslim China. Bukan seperti Muhammadiyah atau MUI. Dia ini perpanjangan pemerintah karena tidak ada organisasi pemerintah di China. Semua harus di bawah kontrol pemerintah di China," ujar Junaidi saat jumpa pers di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Senin (16/12/2019).
Saat Bertemu dengan CIA inilah kecurigaan delegasi ormas Islam Indonesia muncul. Hal itu diawali ketika delegasi Ormas Islam ingin diantarkan ke masjid terdekat untuk salat berjamaah namun tidak diantarkan dengan alasan cuaca. Padahal, permintaan seorang tamu biasanya sebisa mungkin dikabulkan ataupun dituruti walau hanya diantarkan ke masjid sekalipun. "Mulai saat itu kami mulai mencurigai, masuk kami ke hotel, memang sudah ada direction of kiblat di tiap kamar tapi nampak jelas yang asli dan baru itu berbeda. Kami mulai curiga," jelasnya.
Kecurigaan juga muncul saat seorang wartawan ingin membeli rokok keluar hotel, dan dengan sigap perwakilan CIA tidak memperbolehkan keluar dan membelikannya langsung segala keperluan wartawan itu.
Wartawan itupun kembali ke hotel dan menceritakan hal tersebut kepada delegasi Ormas Islam Indonesia. Hari berikutnya, wakil ketua CIA mengajak ke museum tindak kekerasan yang dilakukan masyarakat Uighur ke masyarakat di Xinjiang. ”Dirinya merasa kurang yakin kekerasan itu dilakukan masyarakat Uighur terlihat dari gambar yang disajikan, namun nama yang tertera mirip dengan masyarakat Uighur,” ucapnya.
Delegasi Ormas Islam Indonesia pun menyambangi tempat lainnya dan mereka semakin yakin tidak ada kebebasan beragama di sana. "Kunjungan ke beberapa tempat, masjid, institut Islam semakin meyakinkan kami bahwa tidak ada kebebasan beragama. Freedom of religion itu agak susah kita buktikan. Kenapa demikian? Konstitusi China bab 2 artikel 38 mengatakan bahwa pemerintah China beri kebebasan warga untuk beragama dan tidak beragama," katanya.
Setelah berkunjung ke re-education center dimana penghuninya adalah orang-orang Uighur yang melaksanakan agamanya secara terbuka demonstratif. Padahal, dalam konstitus di China menyatakan, agama diterapkan di ruang tertutup tidak boleh diruang terbuka, jika dibawa ke ruang terbuka dianggap radikal dan patut dibawa ke re-education.
"Kalau Anda radikal dikirim ke kamp-kamp re-education center dilatih 1 tahun di sana agar paham konstitusi China dan paham bahasa Mandarin karena umumnya orang Uighur tidak bisa bahasa Mandarin. Jadi, selama re-education tidak boleh salat, baca alquran, tidak boleh puasa, makan seadanya. Itu CCTV every corner. jadi gadget ga boleh, terputus dari dunia luar. Nah itu kalau salat diruang terbuka anda dianggap radikal," sambungnya.
Pada hari Jumat, salat Jumat dipenuhi kakek-kakek dengan seragam sama, tidak ada anak kecil, anak muda yang menjalankan ibadah dengan alasan konstitusi. Sebab beragama setelah 18 tahun baru dibolehkan. Jika ada seorang ibu yang mengajarkan agama kepada anak-anaknya maka dianggap radikal. "Menyedihkan, kami diskusi dengan wakil ketua CIA. Jadi salatnya dirapel 8 bulan, sekian bulan satu tahun," jelasnya.
Seusai kunjungan itu, delegasi Ormas Islam Indonesia langsung menyampaikan hasil kunjungan itu kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Ada beberapa poin yang disampaikan di antaranya, delegasi meminta kepada pemerintah China memberikan kebebasan umat Islam untuk melaksanakan ibadah mereka secara terbuka karena dijamin oleh Piagam PBB.
"Ya kami serahkan ke Bu Retno ada poinnya banyak. Tetapi saya tidak tahu Ibu Retno sudah memanggil Dubes China atau belum atau sudah diserahkan atau belum. Kenapa kami tidak mau melakukan jumpa pers, ya kami diskusi dulu dgn Menlu, khawatir nanti menimbulkan pro-kontra. Mudah-mudahan Ibu Menlu sudah menyampaikan Dubes China yang bertugas di Indonesia," ungkapnya.
(cip)