GP Anshor Duga Kasus Uighur Berlatar Belakang Ekonomi
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, tudingan persekusi yang dialami etnis muslim Uighur di Xinjiang, China diduga berlatar belakang ekonomi.
Menurut Yaqut, berdasarkan data yang diperoleh pihaknya dan kemudian diolah, kasus yang menimpa etnis Uighur di Xinjiang ini tak lain soal penguasaan lahan.
Isu agama, budaya dan lainnya, lanjut Yaqut, membuat motif aslinya tampak kabur dan membuat kasus menjadi semakin rumit.
"Dari data yang kita peroleh, di Xinjiang itu ada beberapa blok migas, sumur gas, dan pipa gas. Bahkan dalam catatan kita pernah ditawarkan 30 blok migas di tahun 2017. Semua bloknya onshore (di daratan). Jadi, berita tentang etnis muslim Uighur dengan segala bumbunya seperti ditulis the Wall Street Journal, saya kira perlu ada klarifikasi. Jangan-jangan ini hanya soal ingin menguasai lahan di Xinjiang yang kaya akan sumber daya alam saja," tutur pria yang biasa disapa Gus Yaqut, Senin (16/12/2019).
Oleh karena itu, lanjut Gus Yaqut, GP Ansor memilih bersikap hati-hati. Namun demikian, dia mendesak adanya klarifikasi yang cepat sekaligus tepat dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tiongkok, maupun Kementerian Luar Negeri mengenai hal ini, dan mendiskusikan apa yang bisa dan sebaiknya Indonesia lakukan untuk menciptakan perdamaian dunia, termasuk di Xinjiang. (Baca Juga: PKS Ajak Indonesia Dukung Uighur Layaknya Bela Palestina)
Menurut dia, kasus etnis muslim Uighur tersebut adalah masalah geopolitik. Politisasi terhadap kasus ini, yakni Islam versus Tiongkok justru membuat komplikasi dari kasus yang sudah rumit tersebut, ditambah dengan konstelasi politik hari ini yang cenderung berwujud sebagai "neo cold war geopolitics". Ada benturan politik ekonomi dan ideologi antara Barat (Amerika) dan Timur (Tiongkok).
Di sisi lain, kata Gus Yaqut, GP Ansor memahami bahwa Tiongkok memiliki kepentingan untuk mengundang dan memperkuat hubungan (engagement) dengan para stakeholders dan key opinion leaders dari seluruh negara di dunia, untuk melihat masalah Uighur, termasuk tokoh NU, Muhammadiyah, akademisi, dan lainnya.
"Ansor juga dapat memahami bagaimana Amerika dan aliansinya melalui semua kanalnya bersuara untuk kepentingan dan keuntungan mereka, termasuk Wall Street Journal (WSJ) yang membeberkan laporan terkait hal ini, tapi di saat bersamaan mempromosikan layanan subscribe untuk jadi pembacanya," tutur Gus Yaqut.
Menurut Yaqut, berdasarkan data yang diperoleh pihaknya dan kemudian diolah, kasus yang menimpa etnis Uighur di Xinjiang ini tak lain soal penguasaan lahan.
Isu agama, budaya dan lainnya, lanjut Yaqut, membuat motif aslinya tampak kabur dan membuat kasus menjadi semakin rumit.
"Dari data yang kita peroleh, di Xinjiang itu ada beberapa blok migas, sumur gas, dan pipa gas. Bahkan dalam catatan kita pernah ditawarkan 30 blok migas di tahun 2017. Semua bloknya onshore (di daratan). Jadi, berita tentang etnis muslim Uighur dengan segala bumbunya seperti ditulis the Wall Street Journal, saya kira perlu ada klarifikasi. Jangan-jangan ini hanya soal ingin menguasai lahan di Xinjiang yang kaya akan sumber daya alam saja," tutur pria yang biasa disapa Gus Yaqut, Senin (16/12/2019).
Oleh karena itu, lanjut Gus Yaqut, GP Ansor memilih bersikap hati-hati. Namun demikian, dia mendesak adanya klarifikasi yang cepat sekaligus tepat dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tiongkok, maupun Kementerian Luar Negeri mengenai hal ini, dan mendiskusikan apa yang bisa dan sebaiknya Indonesia lakukan untuk menciptakan perdamaian dunia, termasuk di Xinjiang. (Baca Juga: PKS Ajak Indonesia Dukung Uighur Layaknya Bela Palestina)
Menurut dia, kasus etnis muslim Uighur tersebut adalah masalah geopolitik. Politisasi terhadap kasus ini, yakni Islam versus Tiongkok justru membuat komplikasi dari kasus yang sudah rumit tersebut, ditambah dengan konstelasi politik hari ini yang cenderung berwujud sebagai "neo cold war geopolitics". Ada benturan politik ekonomi dan ideologi antara Barat (Amerika) dan Timur (Tiongkok).
Di sisi lain, kata Gus Yaqut, GP Ansor memahami bahwa Tiongkok memiliki kepentingan untuk mengundang dan memperkuat hubungan (engagement) dengan para stakeholders dan key opinion leaders dari seluruh negara di dunia, untuk melihat masalah Uighur, termasuk tokoh NU, Muhammadiyah, akademisi, dan lainnya.
"Ansor juga dapat memahami bagaimana Amerika dan aliansinya melalui semua kanalnya bersuara untuk kepentingan dan keuntungan mereka, termasuk Wall Street Journal (WSJ) yang membeberkan laporan terkait hal ini, tapi di saat bersamaan mempromosikan layanan subscribe untuk jadi pembacanya," tutur Gus Yaqut.
(dam)