Perppu KPK Dinilai Lebih Efektif ketimbang Dewan Pengawas
A
A
A
JAKARTA - Pembentukan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rencananya dilaksanakan pertengahan bulan ini.
Sejumlah tokoh pun disebut-sebut berpeluang masuk dalam lembaga yang merupakan amanat Undang-undang KPK hasil revisi itu. (Baca Juga: Sejumlah Nama Dinilai Berpeluang Masuk Dewan Pengawas KPK)
Kendati demikian, siapa pun yang akan duduk dalam Dewan Pengawas KPK dinilai tidak akan memperbaiki upaya pemberantasan korupsi.
"Saya tetap pada posisi menolak Dewan Pengawas karena itu nama-nama orang tidak berpengaruh pada kelanjutan nasib pemberantasan korupsi. Jadi bukan soal siapa orangnya, tapi bagaimana memperkuat sistem pemberantasan korupsi melalui KPK yang independen," tutur pengamat hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, Jumat (13/12/2019).
Fickar mengkritik Presiden Jokowi yang dinilai ambivalen dalam penanganan kasus korupsi. Di satu sisi, Presiden berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Namun di sisi lain Presiden menyetujui revisi UU KPK dan memberikan grasi kepada koruptor.
"Ada inkonsistensi dalam mindset-nya, seharusnya dia memperkuat sistem dengan tetap membiarkan KPK sebagai lembaga independen," tutur Fickar.
Pencegahan, kata Fickar, menjadi tugas semua orang termasuk Presiden yang harus memimpin negara melalui program di semua kementerian dan lembaga negara. "Pencegahan itu budaya menumbuhkan kesadaran sikap antikorupsi, jadi Presiden lah yang bertanggung jawab dalam gerakan pencegahan korupsi," ungkapnya.
Menurut dia, mempertanyakan kegagalan pencegahan korupsi seperti memukul wajah sendiri. "Karena menggerakan birokrasi pemerintahan untuk melakukan gerakan pencegahan korupsi sepenuhnya ada pada presiden. KPK hanya bagian kecil saja," tuturnya.
Fickar tetap berharap kepada Presiden Jokowi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK jika ingin menunjukkan konsistensi memberantas korupsi.
"Jika Presiden masih berkomitmen dalam pemberantasan korupsi, mesti mengeluarkan Perppu," tuturnya.
Sejumlah tokoh pun disebut-sebut berpeluang masuk dalam lembaga yang merupakan amanat Undang-undang KPK hasil revisi itu. (Baca Juga: Sejumlah Nama Dinilai Berpeluang Masuk Dewan Pengawas KPK)
Kendati demikian, siapa pun yang akan duduk dalam Dewan Pengawas KPK dinilai tidak akan memperbaiki upaya pemberantasan korupsi.
"Saya tetap pada posisi menolak Dewan Pengawas karena itu nama-nama orang tidak berpengaruh pada kelanjutan nasib pemberantasan korupsi. Jadi bukan soal siapa orangnya, tapi bagaimana memperkuat sistem pemberantasan korupsi melalui KPK yang independen," tutur pengamat hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, Jumat (13/12/2019).
Fickar mengkritik Presiden Jokowi yang dinilai ambivalen dalam penanganan kasus korupsi. Di satu sisi, Presiden berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Namun di sisi lain Presiden menyetujui revisi UU KPK dan memberikan grasi kepada koruptor.
"Ada inkonsistensi dalam mindset-nya, seharusnya dia memperkuat sistem dengan tetap membiarkan KPK sebagai lembaga independen," tutur Fickar.
Pencegahan, kata Fickar, menjadi tugas semua orang termasuk Presiden yang harus memimpin negara melalui program di semua kementerian dan lembaga negara. "Pencegahan itu budaya menumbuhkan kesadaran sikap antikorupsi, jadi Presiden lah yang bertanggung jawab dalam gerakan pencegahan korupsi," ungkapnya.
Menurut dia, mempertanyakan kegagalan pencegahan korupsi seperti memukul wajah sendiri. "Karena menggerakan birokrasi pemerintahan untuk melakukan gerakan pencegahan korupsi sepenuhnya ada pada presiden. KPK hanya bagian kecil saja," tuturnya.
Fickar tetap berharap kepada Presiden Jokowi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK jika ingin menunjukkan konsistensi memberantas korupsi.
"Jika Presiden masih berkomitmen dalam pemberantasan korupsi, mesti mengeluarkan Perppu," tuturnya.
(dam)