APBN dan Momentum Pertumbuhan

Jum'at, 13 Desember 2019 - 07:14 WIB
APBN dan Momentum Pertumbuhan
APBN dan Momentum Pertumbuhan
A A A
Danu Sandjoyo
Pegawai Biro KLI Kemenkeu
MESKIPUN banyak kalangan memperkirakan penerimaan pajak tahun ini tidak akan memenuhi target yang telah ditetapkan, Kementerian Keuangan berkeyakinan perekonomian nasional tetap sustainable dan target-target makro ekonomi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 masih aman. Dengan kata lain, pemerintah optimistis bisa mengantisipasi dengan baik kemungkinan terjadinya ancaman shortfall penerimaan perpajakan tahun ini dan bahkan telah menyiapkan mitigasi risikonya.

Hingga 31 Oktober 2019 realisasi penerimaan pajak sebesar Rp1.018,47 triliun atau 64,56% dari target sebesar Rp1.577,56 triliun di APBN 2019. Meskipun demikian, jangan diasumsikan seolah-olah dunia akan berakhir, masih ada dua bulan tersisa hingga akhir 2019. Tren positif pencapaian target penerimaan pajak sejak 2015 sampai 2018 masih memberikan harapan di waktu tersisa ini. Pada 2015 realisasinya 81,9% dan 2016 sebesar 81,6% dari target. Pada 2017 sebesar 89,68% dan 2018 sebesar 92,41%.

Kondisi yang dihadapi pemerintah tahun ini sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor eksternal. Penerimaan negara yang tertekan akibat ketidakpastian ekonomi global, terutama perang dagang Amerika Serikat versus China. Ketegangan kedua negara "adidaya" tersebut telah memicu perlambatan ekonomi global sehingga memengaruhi menurunnya aktivitas perekonomian dalam negeri. Kondisi tersebut terlihat dari menurunnya aktivitas impor sehingga pertumbuhannya minus. Padahal kontribusinya ke penerimaan mencapai 18%.

Faktor kedua adalah harga-harga komoditas yang belum menunjukkan perbaikan secara signifikan. Ekspor turun, produksi turun sehingga pajak yang dipungut juga turun. Meski pada bulan lalu sudah ada perbaikan untuk harga sawit misalnya, tapi tidak bisa langsung berkontribusi ke penerimaan bulan Oktober dan baru bisa ke penerimaan bulan Desember. Mudah-mudahan ada tren positif pada bulan terakhir tahun ini. Setidaknya meminimalkan risiko shortfall penerimaan lebih dalam.

Apa saja upaya yang dilakukan pemerintah? Di tengah kondisi demikian, pemerintah tetap berupaya melakukan counter cyclical untuk menjaga momentum pertumbuhan. Kapasitas spending atau realisasi belanja negara terutama untuk program-program prioritas dan lainnya akan tetap dilakukan. Kementerian Keuangan sampai saat ini sepertinya tidak akan melakukan pemotongan anggaran belanja di kementerian/lembaga.

Hal itu ditujukan untuk menjaga momentum pertumbuhan tidak menurun drastis. Pemerintah menginginkan APBN menjadi stimulus untuk memastikan pertumbuhan ekonomi tetap tinggi sesuai dengan target APBN yang ditetapkan. Tingkat pertumbuhan tersebut penting guna menjamin tingkat produktivitas nasional dan memperluas tingkat penyerapan lapangan kerja, yang pada gilirannya membantu menekan angka kemiskinan.

Meskipun tidak ada cut budget, Kementerian Keuangan mengharapkan kementerian/lembaga supaya mengoptimalkan kualitas belanjanya. Sebab, konsekuensi dari komitmen tidak memotong anggaran belanja adalah kemungkinan bakal melebarnya defisit APBN. Namun, kenapa musti cemas jika defisitnya masih di bawah 3%. Hal itu tidak melanggar undang-undang dan masih aman sesuai best practice internasional.

Opsi lainnya ya menarik pinjaman tunai baru untuk mengantisipasi pelebaran defisit tersebut. Rasio debt to GDP kita masih terjaga di sekitar 29%, sementara standar internasional adalah 60%. Selain itu, pemerintah cukup diuntungkan dengan periode suku bunga rendah global saat ini yang mendorong yield turun. Dengan begitu, pemerintah bisa mendapatkan pendanaan dari global bond bertenor panjang dengan yield yang murah sehingga biaya memperoleh dana (cost of fund) pun bisa ditekan.

Tentu saja, peningkatan penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak (PNBP) tetap diupayakan bisa direalisasikan sesuai target, setidaknya mendekati target yang telah ditetapkan. Caranya dengan mengurangi noise pajak di tengah masyarakat. Berikan kesempatan Ditjen Pajak bekerja keras sampai titik darah penghabisan, yaitu tanggal 31 Desember 2019. Untuk itu, diperlukan komunikasi yang baik antara Ditjen Pajak dan stakeholder -nya guna mendukung penerimaan pajak kita.

Upaya-upaya maksimal sudah dilakukan Direktorat Jenderal Pajak mulai dari penagihan yang dilakukan ataupun menggali sumber-sumber pajak baru, seperti pajak digital. Namun, harus diakui permintaan restitusi pajak dipercepat oleh sejumlah kalangan dunia usaha juga turut memberikan imbas pada penerimaan.

Pemerintah bersungguh-sungguh shortfall penerimaan pajak tidak mengganggu optimalisasi realisasi anggaran pendapatan dan belanja negara. Sebab, pemerintah tidak ingin mengganggu momentum pertumbuhan. Kalau program-program APBN yang diharapkan menjadi pengungkit pertumbuhan tersebut tertunda, maka taruhannya adalah tidak tercapainya target akselerasi peningkatan produktivitas nasional dalam jangka panjang.

Pemerintah tidak ingin momentum itu tidak tercapai. Artinya, Indonesia harus meningkatkan produktivitasnya dengan tidak hanya berpuas diri dengan pertumbuhan ekonomi 5% PDB. Momentum akselerasi pertumbuhan diperlukan untuk mengejar angka pertumbuhan 6, 7, atau 8 persen PDB di masa mendatang.

Bila produktivitas perekonomian negara naik, maka income masyarakat ikut naik, konsumsi juga naik. Maka itu pajak, baik dari aktivitas produksi (PPN) dan konsumsi (PPh), juga bisa naik. Kalau PPN dan PPh naik, penerimaan pajak bisa naik. Penerimaan yang naik dapat digunakan untuk quality spending dalam pembangunan sumber daya manusia yang lebih baik lagi. Bila hal ini terus menerus terjadi, mudah-mudahan kita optimistis dapat mencapai "Indonesia Emas 2045". Momentum itu kita jaga mulai sekarang.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4268 seconds (0.1#10.140)