Dilema Teknologi dan Demokrasi

Rabu, 11 Desember 2019 - 06:30 WIB
Dilema Teknologi dan...
Dilema Teknologi dan Demokrasi
A A A
Dinna Wisnu PhD
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@dinnawisnu

KITA tidak dapat menolak bahwa hampir seluruh hidup manusia saat ini terhubung dengan teknologi. Kita menggunakan teknologi sejak bangun tidur di pagi hari dari mengecek e-mail, status di media sosial, hingga menyetel alarm saat ingin tidur.

Data yang terhimpun di telepon genggam kita kadang-kadang kita bagi kepada penyedia layanan yang memiliki program untuk menghitung kualitas kesehatan kita. Data yang memuat rutinitas kegiatan kita sehari-hari mungkin adalah hal yang kecil bagi kita secara individu, tetapi data itu sangat bernilai bagi penyedia teknologi informasi.

Mereka dapat menyatukan data seluruh populasi penduduk dan menjadikannya informasi tentang rata-rata jam tidur, rata-rata jam bangun, berapa kalori yang dihabiskan dalam sehari, aktivitas apa yang sering dilakukan, di mana aktivitas dilakukan, dan sebagainya.

Data ini penting salah satunya bagi perusahaan yang ingin memasarkan produk-produknya. Data ini berguna untuk menyesuaikan iklan, misalnya, untuk disesuaikan dengan kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, dan agama agar efektif.

Tema ini menjadi salah diskusi menarik dalam Bali Democracy Forum yang ke-12 minggu lalu, khususnya di forum Bali Civil Society and Media Forum. Pertumbuhan ekonomi sebuah negara sangat bergantung pada pasar, dan pasar juga sangat bergantung pada teknologi.

Sebuah negara tidak dapat menolak datangnya teknologi karena penolakan dapat mengancam pertumbuhan ekonomi negara itu sendiri. Contoh adalah teknologi 5G Huawei yang ditolak oleh Amerika Serikat (AS).

AS menolak teknologi 5G Huawei dari China karena dianggap tidak aman. Teknologi itu dianggap dapat membahayakan keamanan nasional AS karena dapat menjadi sarana untuk mengambil data penduduk AS. AS menyarankan warganya untuk menggunakan teknologi 5G Eriksson, perusahaan AS sendiri.

Tuduhan itu sendiri bersifat naif karena AS sendiri dan terutama kelompok Five Eyes yaitu lima negara, AS, Australia, Kanada, Inggris, dan Selandia Baru yang bekerja sama dalam proyek mata pemimpin dunia, juga selama ini telah menggunakan teknologi untuk menyadap para pemimpin dunia. Salah satu proyek yang terbongkar adalah penyadapan telepon SBY dan keluarga pada 2013.
Informasi itu dipublikasikan Edward Snowden yang bekerja di NSA Amerika Serikat dan saat ini berada di bawah perlindungan Rusia. Intervensi mereka tidak hanya di jaringan telepon, tetapi juga lebih luas pada jaringan satelit karena sebagian besar satelit-satelit di dunia dibuat dan diluncurkan oleh negara-negara maju. Praktis tidak ada yang rahasia ketika kita menggunakan teknologi, baik dari AS maupun China.
Kenyataan itu memicu pertanyaan tentang bagaimana kemudian masyarakat dunia yang sudah terhubung satu dengan lain secara digital dapat terlindungi? Pertanyaan tersebut masih sulit untuk dijawab karena beberapa persoalan.

Pertama, seperti yang telah diuraikan di atas, pelarangan teknologi akan menjadi sulit karena teknologi sudah menjadi urat nadi industrialisasi segala komoditi. Negara-negara emerging markets dan berkembang tidak memiliki “kedaulatan” untuk menolak karena tekanan pasar.

Penolakan teknologi akan menghambat mereka mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah kemiskinan di negaranya. Apabila mereka ikut melarang maka dalam konteks pasar negara-negara itu tidak akan kompetitif.

Kedua, selain mendorong pertumbuhan ekonomi, teknologi juga membantu sebagian besar fungsi-fungsi demokrasi. Demokrasi sebelum ada telepon genggam dan media sosial sangat bergantung perkembangannya dengan kuantitas dan kualitas pertemuan fisik warga dan komunitas.

Pertemuan seperti diskusi, seminar, atau rapat-rapat kecil di kampus, pabrik-pabrik, kampung nelayan, masyarakat pesisir menjadi sarana untuk menjalin solidaritas dan kebersamaan. Pertemuan-pertemuan kecil tersebut yang kemudian membesar dan menjadi gerakan reformasi.

Cara-cara tersebut kini digantikan oleh aplikasi seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram. Cara tersebut dapat secara masif menyebarluaskan gagasan dan ide-ide dalam waktu yang cepat dan cakupan yang sangat luas.

Perusahaan-perusahaan media sosial, seperti Facebook, juga mengaku mengadopsi nilai-nilai demokrasi universal, seperti menolak rasisme dan menjadikannya sebagai bagian dari konten-konten negatif yang perlu disaring. Namun di sisi lain, Facebook dengan menggunakan cara yang sama menghimpun data dan menjualnya ke pihak ketiga sehingga melanggar hak pribadi penggunanya (BBC.com, 19/12/18).

Apa yang harus kita lakukan untuk menjawab dilema tersebut adalah pekerjaan rumah yang harus kita susun bersama. Setiap negara baik yang memiliki sistem politik tertutup seperti China atau demokrasi terbuka seperti AS dan negara-negara di Eropa, sama-sama melindungi warga dan kedaulatan wilayahnya dengan melakukan pembatasan dan kontrol.

Di China, negara dengan kebijakan yang top-down membatasi hak dan akses warga atas informasi terutama yang terkait dengan politik. China juga memproduksi sendiri aplikasi-aplikasi yang mirip dengan aplikasi yang berkembang di luar negara tersebut.

Sementara di AS atau Eropa, pembatasan dilakukan melalui mekanisme hukum yang berlaku di masing-masing negara. Para pihak, baik masyarakat sipil maupun negara, dapat mengajukan gugatan kepada perusahaan apabila dianggap perusahaan itu melanggar konstitusi demokrasi liberal yang telah menjadi kesepakatan mereka.

Saya sendiri belum dapat menemukan jawabannya, tetapi hal ini harus menjadi dasar diskusi bagi para pemimpin negara baik yang duduk di pemerintahan dan parlemen. Dalam Bali Civil Society dan Media Forum yang baru berlalu, sempat didiskusikan bahwa efek teknologi dalam penyebaran dan penyusunan informasi sangatlah menentukan relasi antarkomunitas dan kelompok dalam suatu negara.

Di suatu negara yang masyarakat sipil dan media massa konvensionalnya bebas sekalipun, platform teknologi terbukti tidak bisa membendung dan bahkan cenderung menyuburkan hoax dan berita bohong.

Platform teknologi menggerus media-media konvensional dan kelompok masyarakat sipil, karena opini-opini sepihak yang dilontarkan oleh social media influencers dan buzzers ternyata lebih memikat kaum muda dan mereka yang tersentuh emosinya oleh pesan-pesan singkat yang belum tentu disusun berdasarkan etika ilmiah atau profesionalisme jurnalisme.

Apakah masyarakat cuma butuh dipuaskan secara ekonomi? Apakah emosi yang meluap-luap dan dituangkan dalam pesan-pesan singkat membawa negara pada kondisi ekonomi yang baik dan stabil? Sebaiknya para pemimpin negara kita memikirkan dengan jernih cara-cara menyikapi platform teknologi yang makin hari semakin menggurita ini.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1971 seconds (0.1#10.140)