Jaksa Singgung 'Jatah Partai' di Sidang Kasus Kuota Impor Bawang
A
A
A
JAKARTA - Terdakwa pemberi suap Zulfikar mengakui adanya informasi mengenai jatah partai terkait kuota impor bawang putih yang diminta untuk PT Cahaya Sakti Agro (CSA).
Fakta tersebut diakui Zulfikar saat menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa sekaligus sebagai saksi untuk dua terdakwa lainnya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (5/12/2019).
Dua terdakwa lainnya, yakni Direktur PT Cahaya Sakti Agro (CSA) Chandry Suanda alias Afung, Direktur PT Sampico Adhi Abattoir (SAA) Dody Wahyudi yang juga menjalani pemeriksaan serupa.
Perkara ketiga terdakwa, yakni pengurusan kuota impor bawang putih sebanyak 20 ribu ton untuk PT CSA, penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan penerbitan Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian (Kementan).
Zulfikar dan Dody Wahyudi mengakui kenal dengan tersangka perantara penerima suap Presiden Direktur PT Asiatech Integrasim, Mirawati Basri.
Mirawati juga merupakan orang dekat dan orang kepercayaan tersangka I Nyoman Dhamantra selaku anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP. Zulfikar dan Dody juga mengaku kenal dengan tersangka Dhamantra. Sementara Afung mengklaim tidak kenal dengan Mirawati dan Dhamantra.
Zulfikar dan Dody mengakui pernah bertemu dengan Mirawati dan Dhamantra di Hotel Dharmawangsa, Jalan Brawijaya Raya, Jakarta Selatan pada Januari 2019.
Saat itu mereka membahas pengurusan impor bawang putih. Dhamantra meminta agar pengurusan tersebut secara teknis akan dibantu oleh Mirawati. Dody mengungkapkan, pengurusan impor bawang putih tersebut untuk perusahaan Afung.
Anggota JPU Moch Takdir Suhan kemudian mengonfirmasi ke Zulfikar atas isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Zulfikar nomor 58.
"Di BAP anda nomor 58, disampaikan dan dijawab oleh terdakwa, benar bahwa sebagaimana saya jelaskan dalam keterangan sebelumnya, bahwa saya mengetahui I Nyoman berjanji akan membantu pengurusan kuota impor bawang putih kepada Dody Wahyudi dengan jatah milik partainya?" tanya JPU Takdir.
"Betul," jawab Zulfikar singkat.
Zulfikar dan Dody memastikan untuk pengurusan tersebut, kemudian ada beberapa kali pertemuan dengan Mirawati. (Baca Juga: PDIP Langsung Pecat Nyoman Dhamantra)
Dody mengungkapkan, untuk pengurusan kuota impor tersebut hingga pengurusan SPI dari Kemendag maka ada kesepakatan fee yang harus disediakan untuk Dhamantra. Seingat Dody, saat pertemuan di Restoran Imperial Steam Pot Senayan City, Jakarta Pusat pada 1 Agustus 2019 ada pembahasan penyediaan dan kesepakatan fee.
Di restoran itu, hadir di antaranya Dody, Zulfikar, Mirawati, dan Elviyanto (kakak kandung Mirawati). Saat itu disepakati untuk pengurusan tersebut biayanya sebesar Rp3,5 miliar. Angka ini tutur Dody, bukan nilai kesepakatan fee secara keseluruhan tapi baru sekadar uang muka. Dody dan Zulfikar bisa hadir karena Zulfikar yang lebih dulu mengontak Mirawati.
"Itu (Rp3,5 miliar kesepakatan) untuk uang muka. Bukan totalnya. Uang muka, untuk saat itu. Bu Mira juga sampaikan pernah (sebelumnya) mengurus kuota impor," ungkap Dody.
Dia mengaku tidak sempat bertemu dengan Dhamantra yang lebih dulu bertemu dengan Mirawati di restoran tersebut. Karena mungkin jam pertemuan berbeda.
Dody mengungkapkan, setelah adanya permintaan dari Mirawati dan dicapainya kesepakatan kemudian Dody mengabarkan ke Afung. Afung, tutur Dody, ingin membayar tetapi setelah SPI dari Kemendag lebih dulu terbit.
"Saya sampaikan ke Pak Afung, karena dia maunya SPI-nya terbit dulu baru dia bayar. Jadi saya sampaikan Rp2 miliar itu ditalangin Pak Zulfikar dulu. Pak Zulfikar kan yang mempertemukan saya dengan Bu Mira, jadi saya bahasanya ke Pak Afung, bilang dari Pak Zulfikar dulu," bebernya.
Sebenarnya saat pertemuan di restoran tadi, ungkap Dody, Mirawati meminta uang success fee atau 'uang keseriusan'. Saat itu Dody sudah berpikir pasti Afung belum atau tidak bisa menyediakan uang saat itu. Mirawati tetap mendesak agar disediakan 'uang keseriusan'. Dody mengatakan, saat itu juga Mirawati mengetahui bahwa Zulfikar yang menalangi dulu.
"Saya sama Pak Zulfikar sempat bicara dulu, untuk masalah kompensasi ininya," imbuhnya.
Setelah pertemuan di restoran tadi, Zulfikar menyampaikan agar dibuatkan rekening bersama. Dana dalam rekening tersebut disebutkan untuk dana operasional dan keseriusan. Tujuannya agar bisa ketahuan pemakaiannya untuk apa. Rekening bersama juga agar jaga-jaga jangan sampai Mirawati dan Elviyanto tidak memenuhi kesepakatan pengurusan kuota impor.
Seingat Dody, Zulfikar kemudian menyetorkan uang Rp3,5 miliar di rekening bersama. Selepas itu, Zulfikar mentransfer uang sebesar Rp2,1 miliar ke rekening Dody. Berikutnya Dody mendapat kabar perintah dari Mirawati agar mengirimkan uang yang diminta sebelumnya ke sebuah rekening milik 'orang Mirawati' di money changer Indocev.
"Waktu itu bu mira sampaikan ini nanti ditransfer ke orang saya. Ini orang kita kasir money changer. Saya transfer Rp2 miliar," ucap Dody.
Fakta tersebut diakui Zulfikar saat menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa sekaligus sebagai saksi untuk dua terdakwa lainnya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (5/12/2019).
Dua terdakwa lainnya, yakni Direktur PT Cahaya Sakti Agro (CSA) Chandry Suanda alias Afung, Direktur PT Sampico Adhi Abattoir (SAA) Dody Wahyudi yang juga menjalani pemeriksaan serupa.
Perkara ketiga terdakwa, yakni pengurusan kuota impor bawang putih sebanyak 20 ribu ton untuk PT CSA, penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan penerbitan Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian (Kementan).
Zulfikar dan Dody Wahyudi mengakui kenal dengan tersangka perantara penerima suap Presiden Direktur PT Asiatech Integrasim, Mirawati Basri.
Mirawati juga merupakan orang dekat dan orang kepercayaan tersangka I Nyoman Dhamantra selaku anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP. Zulfikar dan Dody juga mengaku kenal dengan tersangka Dhamantra. Sementara Afung mengklaim tidak kenal dengan Mirawati dan Dhamantra.
Zulfikar dan Dody mengakui pernah bertemu dengan Mirawati dan Dhamantra di Hotel Dharmawangsa, Jalan Brawijaya Raya, Jakarta Selatan pada Januari 2019.
Saat itu mereka membahas pengurusan impor bawang putih. Dhamantra meminta agar pengurusan tersebut secara teknis akan dibantu oleh Mirawati. Dody mengungkapkan, pengurusan impor bawang putih tersebut untuk perusahaan Afung.
Anggota JPU Moch Takdir Suhan kemudian mengonfirmasi ke Zulfikar atas isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Zulfikar nomor 58.
"Di BAP anda nomor 58, disampaikan dan dijawab oleh terdakwa, benar bahwa sebagaimana saya jelaskan dalam keterangan sebelumnya, bahwa saya mengetahui I Nyoman berjanji akan membantu pengurusan kuota impor bawang putih kepada Dody Wahyudi dengan jatah milik partainya?" tanya JPU Takdir.
"Betul," jawab Zulfikar singkat.
Zulfikar dan Dody memastikan untuk pengurusan tersebut, kemudian ada beberapa kali pertemuan dengan Mirawati. (Baca Juga: PDIP Langsung Pecat Nyoman Dhamantra)
Dody mengungkapkan, untuk pengurusan kuota impor tersebut hingga pengurusan SPI dari Kemendag maka ada kesepakatan fee yang harus disediakan untuk Dhamantra. Seingat Dody, saat pertemuan di Restoran Imperial Steam Pot Senayan City, Jakarta Pusat pada 1 Agustus 2019 ada pembahasan penyediaan dan kesepakatan fee.
Di restoran itu, hadir di antaranya Dody, Zulfikar, Mirawati, dan Elviyanto (kakak kandung Mirawati). Saat itu disepakati untuk pengurusan tersebut biayanya sebesar Rp3,5 miliar. Angka ini tutur Dody, bukan nilai kesepakatan fee secara keseluruhan tapi baru sekadar uang muka. Dody dan Zulfikar bisa hadir karena Zulfikar yang lebih dulu mengontak Mirawati.
"Itu (Rp3,5 miliar kesepakatan) untuk uang muka. Bukan totalnya. Uang muka, untuk saat itu. Bu Mira juga sampaikan pernah (sebelumnya) mengurus kuota impor," ungkap Dody.
Dia mengaku tidak sempat bertemu dengan Dhamantra yang lebih dulu bertemu dengan Mirawati di restoran tersebut. Karena mungkin jam pertemuan berbeda.
Dody mengungkapkan, setelah adanya permintaan dari Mirawati dan dicapainya kesepakatan kemudian Dody mengabarkan ke Afung. Afung, tutur Dody, ingin membayar tetapi setelah SPI dari Kemendag lebih dulu terbit.
"Saya sampaikan ke Pak Afung, karena dia maunya SPI-nya terbit dulu baru dia bayar. Jadi saya sampaikan Rp2 miliar itu ditalangin Pak Zulfikar dulu. Pak Zulfikar kan yang mempertemukan saya dengan Bu Mira, jadi saya bahasanya ke Pak Afung, bilang dari Pak Zulfikar dulu," bebernya.
Sebenarnya saat pertemuan di restoran tadi, ungkap Dody, Mirawati meminta uang success fee atau 'uang keseriusan'. Saat itu Dody sudah berpikir pasti Afung belum atau tidak bisa menyediakan uang saat itu. Mirawati tetap mendesak agar disediakan 'uang keseriusan'. Dody mengatakan, saat itu juga Mirawati mengetahui bahwa Zulfikar yang menalangi dulu.
"Saya sama Pak Zulfikar sempat bicara dulu, untuk masalah kompensasi ininya," imbuhnya.
Setelah pertemuan di restoran tadi, Zulfikar menyampaikan agar dibuatkan rekening bersama. Dana dalam rekening tersebut disebutkan untuk dana operasional dan keseriusan. Tujuannya agar bisa ketahuan pemakaiannya untuk apa. Rekening bersama juga agar jaga-jaga jangan sampai Mirawati dan Elviyanto tidak memenuhi kesepakatan pengurusan kuota impor.
Seingat Dody, Zulfikar kemudian menyetorkan uang Rp3,5 miliar di rekening bersama. Selepas itu, Zulfikar mentransfer uang sebesar Rp2,1 miliar ke rekening Dody. Berikutnya Dody mendapat kabar perintah dari Mirawati agar mengirimkan uang yang diminta sebelumnya ke sebuah rekening milik 'orang Mirawati' di money changer Indocev.
"Waktu itu bu mira sampaikan ini nanti ditransfer ke orang saya. Ini orang kita kasir money changer. Saya transfer Rp2 miliar," ucap Dody.
(dam)