Bowo Sidik Divonis 5 Tahun Bui dan Hak Politik Dicabut 4 Tahun

Rabu, 04 Desember 2019 - 19:27 WIB
Bowo Sidik Divonis 5 Tahun Bui dan Hak Politik Dicabut 4 Tahun
Bowo Sidik Divonis 5 Tahun Bui dan Hak Politik Dicabut 4 Tahun
A A A
JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis terdakwa Bowo Sidik Pangarso selaku anggota dan Wakil Ketua Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar, dengan pidana penjara 5 tahun, disertai pencabutan hak politik selama 4 tahun.

(Baca juga: Hukuman Idrus Marham Disoal, KPK Ingin Ada Kesamaan Visi Penegak Hukum)

Majelis hakim yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Yanto menilai, berdasarkan fakta-fakta persidangan baik dari keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, keterangan ahli serta alat bukti berupa surat, dokumen, dan petunjuk maka dapat dipastikan Bowo Sidik Pangarso selaku anggota DPR RI periode 2014-2019 telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam dua delik, sebagaimana yang sebelumnya telah didakwakan dan dituntut Jaksa Penuntut Umum pada KPK.

Pertama, Bowo dalam kapasitas sebagai anggota Komisi VI DPR telah menerima terbukti telah menerima suap sebesar USD163.733 dan Rp311.022.932 dari terpidana pemberi suap General Manager Komersial PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) Asty Winasty dan tersangka Direktur PT HTK Taufik Agustono. Penerimaan uang suap ini bersama-sama dengan orang kepercayaan Bowo sekaligus pegawai PT Inersia Ampak Engineers (Inersia) M Indung Andriani K (divonis 2 tahun penjara).

Suap dari Asty dan Taufik karena Bowo telah membantu PT HTK mendapatkan kerjasama pekerjaan pengangkutan dan/atau sewa kapal dengan PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog), anak perusahaan PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC).

Selain itu, Bowo juga terbukti menerima suap sebesar Rp300 juta dari Direktur Utama PT Ardila Insan Sejahtera Lamidi Jimat (belum tersangka). Suap dari Lamidi diterima langsung Bowo maupun melalui rekening bank atas nama Rini Setyowati Abadi pada 29 Oktober 2018 dan 14 November 2018.

Uang dari Lamidi karena Bowo telah membantu PT Ardila Insan Sejahtera menagihkan pembayaran utang ke PT Djakarta Lloyd (Persero) dan agar PT Ardila Insan Sejahtera mendapatkan pekerjaan penyediaan BBM (Bahan Bakar Minyak) jenis MFO (Marine Fuel Oil) kapal-kapal PT Djakarta Lloyd (Persero).

Kedua, hakim Yanto membeberkan, Bowo terbukti menerima gratifikasi dengan total SGD700.000 dan Rp600 juta yang terpecah beberapa bagian dan berhubungan dengan beberapa jabatannya. Masing-masing SGD250.000 diterima Bowo pada awal 2016 dalam jabatannya selaku anggota Badan Anggaran DPR yang mengusulkan dan mengurus DAK fisik untuk Kabupaten Kepulauan Meranti mendapatkan dari APBN 2016.

Berikutnya SGD50.000 diterima Bowo pada 2016 dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR sekaligus sebagai Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Jawa Tengah I DPP Golkar saat mengikuti Musyawarah Nasional (Munas) Partai GOLKAR di Denpasar Bali untuk pemilihan ketua umum Partai Golkar periode 2016-2019.

Kemudian pada pekan terakhir Juli 2017, Bowo menerima uang SGD200.000.00 dalam kedudukannya sebagai wakil ketua Komisi VI DPR saat membahas penerbitan dan pemberlakuan ā€ˇPeraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 16/M-DAG/PER/3/2017 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi Melalui Pasar Lelang Komoditas. Sejumlah SGD200.000 diterima Bowo pada 22 Agustus 2017 dalam kedudukannya selaku wakil ketua Komisi VI DPR RI yang bermitra dengan PT PLN yang merupakan BUMN.

Terakhir gratifikasi sebesar Rp600 juta yang diterima dua tahap pada Februari 2017 dalam kapasitas jabatan Bowo sebagai wakil ketua Komisi VI DPR. Uang ini untuk pengurusan usulan dan pengawalan proposal program pengembangan pasar dari Kementerian Perdagangan Tahun Anggaran 2017 berupa dua proyek revitalisasi Pasar untuk Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.

"Mengadili, memutuskan, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Bowo Sidik Pangarso dengan pidana penjara selama 5 tahun dan pidana denda sebesar Rp250 juta subsider pidana kurungan selama 4 bulan," tegas hakim Yanto saat membacakan amar putusan atas nama Bowo Sidik Pangarso, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (4/12/2019).

Hakim Yanto membeberkan, sebagian uang suap dan uang gratifikasi yang diterima Bowo disiapkan dan sebagiannya telah dipergunakan untuk kepentingan Bowo maju kembali sebagai calon anggota DPR pada Pemilu Legislatif 2019. Saat pidana dilakukan, kapasitas Bowo pun masih sebagai anggota DPR. Karenanya majelis sepakat dengan tuntutan JPU untuk mencabut hak Bowo menduduki jabatan publik.

"Menjatuhkan hukuman tambahan terhadap terdakwa Bowo Sidik Pangarso berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan politik selama 4 tahun yang dihitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," tegasnya.

Anggota majelis hakim Rianto Adam Pontoh menambahkan, ada beberapa alasan lain majelis mencabut hak politik terhadap Bowo. Di antaranya, Bowo sebagai anggota DPR dipilih secara langsung oleh masyarakat maka dengan begitu seharusnya Bowo memberikan contoh teladan yang baik bagi masyarakat dan tidak menciderai kepercayaan yang diberikan masyarakat.

Berikutnya pencabutan tersebut juga untuk melindungi masyarakat dari calon pejabat publik yang pernah dijatuhi pidana akibat perbuatan korupsi. Dalam pertimbangan putusan, majelis hakim juga memastikan bahwa saat proses terjadinya suap ada beberapa pihak yang ikut serta.

Mereka di antaranya mantan Direktur Umum dan SDM PT Petrokimia Gresik (Persero) yang kini Direktur Utama PT Petrokimia Gresik (Persero) Rahmad Pribadi, makelar kontrak sekaligus pemilik PT Tiga Macan Steven Wang, Direktur Utama PT Pilog Ahmadi Hasan beserta jajaran direksi PT Pilog, dan jajaran direksi PT PIHC. Berdasarkan fakta-fakta persidangan, uang suap yang ditransaksikan di antaranya bersandi 'titipan', 'tagihan', 'coklat', hingga 'kurma'.

Atas putusan ini, Bowo Sidik Pangarso bersama tim penasihat hukumnya dan Jaksa Penuntut Umum pada KPK mengatakan masih akan pikir-pikir selama tujuh hari apakah akan menerima atau mengajukan banding.

Selepas persidangan ditutup, Bowo Sidik Pangarso mengaku santai menyikapi vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim. Menurut dia, hal tersebut sudah merupakan kehendak Allah subhanahu wa ta'ala.

Di sisi lain, Bowo menuding bahwa vonis tersebut sangat tidak adil karena ada banyak fakta persidangan yang tidak dipergunakan oleh majelis hakim. Apalagi untuk penerimaan gratifikasi, Bowo telah mengungkapkan siapa saja orang yang menjadi sumber pemberi gratifikasi.

"Saya gini, kita santai saja. Ini semua kehendak Allah. Cuman kan fakta persidangan enggak dipakai, apakah saya dikatakan salah?" ujar Bowo.

Dia membeberkan, dalam persidangan dia telah membuka asal mula adanya uang lebih Rp8 miliar yang sebagian besar hasil penerimaan gratifikasi yang telah disita KPK sebelumnya di kantor PT Inersia.

Uang-uang tersebut berasal di antaranya dari Menteri Perdagangan periode 2014-2019 Enggartiasto Lukita, mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir, Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat periode 2014-2019 Muhammad Nasir, dan Komisaris PT Karya Bersinar Indonesia sekaligus anak buah terpidana M Nazaruddin, Jora Nilam Judge alias Jesica.

Tapi tutur Bowo, JPU pada KPK tidak pernah dan tidak berhasil menghadirkan Enggartiasto Lukita, Muhammad Nasir, dan Jesica sebagai saksi untuk mengonfirmasi dan mendalami uang-uang yang mereka berikan. Karenanya menurut Bowo, dengan ketidakhadiran mereka maka uang gratifikasi tersebut tidak dapat dibuktikan.

"Pengakuan saya bahwa saya diberi oleh Enggar, saya diberi Sofyan Basir, saya diberi oleh Jessica orang nazaruddin. Persidangan enggak bisa mendatangkan mereka. Bukti-bukti tidak ada, fakta tidak ada. Nah kemudian saya divonis dengan tidak ada bukti, dengan tidak ada saksi, apakah ini yang namanya keadilan? Kemudian saya divonis bersalah, orangnya tidak bisa dihadirkan di persidangan, buktinya tidak ada apapun, tapi saya divonis," ucapnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9785 seconds (0.1#10.140)