Ratoh Jaroe, Tafsir Kreatif atas Disrupsi Seni dan Budaya Islam
A
A
A
Saiful Maarif
Bekerja pada Direktorat PAI Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama
Diam-diam tari Ratoh Jaroe bergerak menjadi ikon baru dalam berkesenian di madrasah dan sekolah, khususnya di kawasan Jabodetabek. Hampir tiap pekan digelar lomba tari ini, tiap pekan pula ekstrakurikulernya diadakan.
Dalam acara pembukaan Asian Games 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada Agustus tahun lalu, penampilan Ratoh Jaroe yang dibawakan 1.600 pelajar SMA memukau semua pihak. Kolaborasi dan kecekatan siswa-siswa tersebut mendapat pujian luas.
Ratoh Jaroe, tarian khas Aceh yang menyiarkan Keesaan dan Kemahabesaran Allah SWT lewat lantunan lagu pengiring tariannya itu tampil mengentak sebagai kosmologi baru tarian Islam yang populer di kalangan siswa madrasah dan sekolah. Meski Ratoh Jaroe tarian khas Aceh, tapi ia lahir dan bermula di Jakarta. Ratoh (berzikir) dan jaroe (jari) melambangkan disiplin dan ketaatan pada Allah.
Nyanyian yang didendangkan Syahie (pelantun lagu yang mengiri tarian Ratoh Jaroe) lantang dan mantap menyeru Allah dengan segala kebesaran-Nya. Diiringi alunan rapai yang ditabuh Syahie, Ratoh Jaroe seperti menegaskan apa yang dikatakan Ismail Raji Al Faruqi dalam bukunya, The Cultural Atlas of Islam (1963) tentang estetika seni Islam. Al Faruqi menilai bahwa capaian estetis Islam hanya dapat dicapai dengan kreasi artistik yang mampu membuat dan mengantarkan pelakunya untuk menyadari bahwa Allah adalah Zat Yang Mahakuasa.
Pada Ratoh Jaroe, dimensi estetis islami itu demikian penuh dan kuat ditemukan. Anak-anak madrasah dan sekolah itu pada dasarnya tidak hanya sedang berolah fisik dan keserasian gerak ragawi, tapi juga sedang menata kesadaran diri untuk memahami kemahakuasaan Allah.
Di sinilah kiranya penting untuk lebih ditanamkan pada diri para siswa itu tentang makna dan pesan moral Ratoh Jaroe. Makna penting tentang pemahaman dan internalisasi Kemahakuasaan Allah, solidaritas, dan saling mendukung (ta’awun ) adalah beberapa nilai penting yang terdapat dalam Ratoh Jaroe.
Dari amatan budaya urban, Ratoh Jaroe adalah contoh produk seni budaya lokal yang bukan hanya berhasil bertahan dari gempuran globalitas peradaban, tapi lebih dari itu menunjukkan lokalitas dan hasil persinggungan budaya. Tarian ini dikembangkan pemuda Aceh bernama Yusri pada akhir 90-an. Yusri mengelaborasi berbagai tarian Aceh selepas memutuskan diri untuk pindah ke Jakarta.
erkembangan Ratoh Jaroe menunjukkan kesediaan publik milenial dalam diri siswa madrasah dan sekolah untuk tetap beridentitas lokal dan tidak larut dalam sisi negatif globalitas budaya. Terbayangkah jika para siswa madrasah dan sekolah itu lebih memilih budaya K-Pop, hip-hop, atau peragaan busana hypebeast dalam mementaskan kesenian dan melupakan sama sekali produk budaya sendiri?
Ratoh Jaroe adalah sebuah fenomena. Sebagai produk budaya lokal, ia mewakili disrupsi yang tidak lazim. Dengan latar sosial-budaya di mana segala hal dan ide peradaban terkoneksi dan berkelindan sebagai dampak teknologi informasi, Ratoh Jaroe justru berakar dari jalinan antarbudaya lokal.
Dalam perspektif budayawan Umar Kayam tentang kosmologi kerajan (1981), Ratoh Jaroe seperti mewakili kerajan kecil Aceh Raya dengan tarian Ratep Meusaket, Likok Pulo, Rapai Galeng, dan tarian dinamis Aceh lainnya. Identitas kultural Aceh dan kesatupaduan gerak dari berbagai perbedaan budaya dan suku Aceh membentuk kosmologi tradisional khas mereka.
Lalu zaman bergerak, dan kerajan tradisional tersebut tetap terjaga. Publik lebih mengenalnya kemudian sebagai, sebutlah, Tari Saman. Dinamika zaman mempertemukan khazanah tradisional tersebut dengan deras dan gemuruhnya peradaban terkini. Mudah, dengan simpulan sederhana, membayangkan entitas tradisional itu akan dilahap dan hilang oleh budaya milenial yang menuntut serbacepat, pembosan, dan cenderung tidak jelas beridentitas.
Alih-alih musnah ditelan disrupsi seni dan budaya, Ratoh Jaroe tampil sebagai kosmik baru dengan locus yang keren: Jakarta. Maka, di sinilah ketidaklaziman disrupsi budaya itu berlangsung: yang tradisional itu bisa sangat milenial, bahkan tepat di episenter perkembangan budaya Indonesia.
Untuk capaian seperti itu, Ratoh Jaroe tetaplah berupa tari Aceh pada lazimnya. Bagi siswa madrasah dan sekolah, Ratoh Jaroe seperti sebuah arena olahraga untuk memupuk kebersamaan dan soliditas karena kerja timnya, mengenalkan perjuangan karena tingkat kesulitan geraknya, dan solidaritas dengan gerak rampaknya. Nilai-nilai filosofis seperti ini tentu saja penting dalam menunjang upaya membentuk karakter siswa.
Pendekatan yang langsung dipraktikkan dan dirasakan siswa dalam gerak dinamis Ratoh Jaroe hendaknya bukan berhenti pada tataran perlombaan atau pentas seni saja, melainkan juga pada penanaman nilai-nilai hakiki yang menjadi pesan dasar Ratoh Jaroe.
Indonesia memiliki khazanah budaya dan kesenian yang sangat banyak. Modal penting ini akan terus berjalan berdampingan dengan urgensi membentuk karakter siswa madrasah dan sekolah. Ratoh Jaroe telah memberikan kontribusi penting dalam upaya ini.
Sangat terbuka kemungkinan perpaduan dan silang budaya yang akhirnya membentuk "Ratoh Jaroe" lainnya. Jika di Pulau Sulawesi terdapat karya luar biasa dalam I La Galigo misalnya, tidak tertutup kemungkinan ini menjadi inspirasi pengembangan literasi dan budaya baca tulis dalam diri siswa. Demikian juga entitas seni dan budaya di daerah lainnya.
Wallahu a’lam.
Bekerja pada Direktorat PAI Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama
Diam-diam tari Ratoh Jaroe bergerak menjadi ikon baru dalam berkesenian di madrasah dan sekolah, khususnya di kawasan Jabodetabek. Hampir tiap pekan digelar lomba tari ini, tiap pekan pula ekstrakurikulernya diadakan.
Dalam acara pembukaan Asian Games 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada Agustus tahun lalu, penampilan Ratoh Jaroe yang dibawakan 1.600 pelajar SMA memukau semua pihak. Kolaborasi dan kecekatan siswa-siswa tersebut mendapat pujian luas.
Ratoh Jaroe, tarian khas Aceh yang menyiarkan Keesaan dan Kemahabesaran Allah SWT lewat lantunan lagu pengiring tariannya itu tampil mengentak sebagai kosmologi baru tarian Islam yang populer di kalangan siswa madrasah dan sekolah. Meski Ratoh Jaroe tarian khas Aceh, tapi ia lahir dan bermula di Jakarta. Ratoh (berzikir) dan jaroe (jari) melambangkan disiplin dan ketaatan pada Allah.
Nyanyian yang didendangkan Syahie (pelantun lagu yang mengiri tarian Ratoh Jaroe) lantang dan mantap menyeru Allah dengan segala kebesaran-Nya. Diiringi alunan rapai yang ditabuh Syahie, Ratoh Jaroe seperti menegaskan apa yang dikatakan Ismail Raji Al Faruqi dalam bukunya, The Cultural Atlas of Islam (1963) tentang estetika seni Islam. Al Faruqi menilai bahwa capaian estetis Islam hanya dapat dicapai dengan kreasi artistik yang mampu membuat dan mengantarkan pelakunya untuk menyadari bahwa Allah adalah Zat Yang Mahakuasa.
Pada Ratoh Jaroe, dimensi estetis islami itu demikian penuh dan kuat ditemukan. Anak-anak madrasah dan sekolah itu pada dasarnya tidak hanya sedang berolah fisik dan keserasian gerak ragawi, tapi juga sedang menata kesadaran diri untuk memahami kemahakuasaan Allah.
Di sinilah kiranya penting untuk lebih ditanamkan pada diri para siswa itu tentang makna dan pesan moral Ratoh Jaroe. Makna penting tentang pemahaman dan internalisasi Kemahakuasaan Allah, solidaritas, dan saling mendukung (ta’awun ) adalah beberapa nilai penting yang terdapat dalam Ratoh Jaroe.
Dari amatan budaya urban, Ratoh Jaroe adalah contoh produk seni budaya lokal yang bukan hanya berhasil bertahan dari gempuran globalitas peradaban, tapi lebih dari itu menunjukkan lokalitas dan hasil persinggungan budaya. Tarian ini dikembangkan pemuda Aceh bernama Yusri pada akhir 90-an. Yusri mengelaborasi berbagai tarian Aceh selepas memutuskan diri untuk pindah ke Jakarta.
erkembangan Ratoh Jaroe menunjukkan kesediaan publik milenial dalam diri siswa madrasah dan sekolah untuk tetap beridentitas lokal dan tidak larut dalam sisi negatif globalitas budaya. Terbayangkah jika para siswa madrasah dan sekolah itu lebih memilih budaya K-Pop, hip-hop, atau peragaan busana hypebeast dalam mementaskan kesenian dan melupakan sama sekali produk budaya sendiri?
Ratoh Jaroe adalah sebuah fenomena. Sebagai produk budaya lokal, ia mewakili disrupsi yang tidak lazim. Dengan latar sosial-budaya di mana segala hal dan ide peradaban terkoneksi dan berkelindan sebagai dampak teknologi informasi, Ratoh Jaroe justru berakar dari jalinan antarbudaya lokal.
Dalam perspektif budayawan Umar Kayam tentang kosmologi kerajan (1981), Ratoh Jaroe seperti mewakili kerajan kecil Aceh Raya dengan tarian Ratep Meusaket, Likok Pulo, Rapai Galeng, dan tarian dinamis Aceh lainnya. Identitas kultural Aceh dan kesatupaduan gerak dari berbagai perbedaan budaya dan suku Aceh membentuk kosmologi tradisional khas mereka.
Lalu zaman bergerak, dan kerajan tradisional tersebut tetap terjaga. Publik lebih mengenalnya kemudian sebagai, sebutlah, Tari Saman. Dinamika zaman mempertemukan khazanah tradisional tersebut dengan deras dan gemuruhnya peradaban terkini. Mudah, dengan simpulan sederhana, membayangkan entitas tradisional itu akan dilahap dan hilang oleh budaya milenial yang menuntut serbacepat, pembosan, dan cenderung tidak jelas beridentitas.
Alih-alih musnah ditelan disrupsi seni dan budaya, Ratoh Jaroe tampil sebagai kosmik baru dengan locus yang keren: Jakarta. Maka, di sinilah ketidaklaziman disrupsi budaya itu berlangsung: yang tradisional itu bisa sangat milenial, bahkan tepat di episenter perkembangan budaya Indonesia.
Untuk capaian seperti itu, Ratoh Jaroe tetaplah berupa tari Aceh pada lazimnya. Bagi siswa madrasah dan sekolah, Ratoh Jaroe seperti sebuah arena olahraga untuk memupuk kebersamaan dan soliditas karena kerja timnya, mengenalkan perjuangan karena tingkat kesulitan geraknya, dan solidaritas dengan gerak rampaknya. Nilai-nilai filosofis seperti ini tentu saja penting dalam menunjang upaya membentuk karakter siswa.
Pendekatan yang langsung dipraktikkan dan dirasakan siswa dalam gerak dinamis Ratoh Jaroe hendaknya bukan berhenti pada tataran perlombaan atau pentas seni saja, melainkan juga pada penanaman nilai-nilai hakiki yang menjadi pesan dasar Ratoh Jaroe.
Indonesia memiliki khazanah budaya dan kesenian yang sangat banyak. Modal penting ini akan terus berjalan berdampingan dengan urgensi membentuk karakter siswa madrasah dan sekolah. Ratoh Jaroe telah memberikan kontribusi penting dalam upaya ini.
Sangat terbuka kemungkinan perpaduan dan silang budaya yang akhirnya membentuk "Ratoh Jaroe" lainnya. Jika di Pulau Sulawesi terdapat karya luar biasa dalam I La Galigo misalnya, tidak tertutup kemungkinan ini menjadi inspirasi pengembangan literasi dan budaya baca tulis dalam diri siswa. Demikian juga entitas seni dan budaya di daerah lainnya.
Wallahu a’lam.
(zil)