Amendemen Jabatan Presiden Dinilai Akan Sulit Dilakukan
A
A
A
JAKARTA - Wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dinilai bukan perkara mudah. Wakil Ketua Fraksi PPP MPR Syaifullah Tamliha mengatakan, selama dirinya menjadi pimpinan Fraksi PPP di MPR, amendemen UUD selalu menemui kebuntuan.
(Baca juga: Soal Presiden 3 Periode, Jokowi Tak Happy karena Isunya Mengada-ada)
Hal itu dikatakan Syaifullah Tamliha dalam diskusi Empat Pilar dengan tema "Menakar Peluang Amendemen Konstitusi?" di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2019).
"Saya sudah bisa menakar bahwa terlalu sulit untuk melakukan amandemen karena perkembangan selama saya jadi pimpinan Fraksi PPP di MPR, itu hasilnya jangan kan untuk soal jabatan presiden, GBHN saja itu sampai detik-detik terakhir itu tidak ada kesepakatan," kata Tamliha.
Dia menjelaskan, dalam periode sebelumnya, ada tiga fraksi yang tidak menghendaki perencanaan pembangunan nasional diatur dalam GBHN, namun cukup melalui undang-undang sementara tujuh fraksi ingin melalui ketetapan MPR (TAP).
"Ini soal perencanaan pembangunan saja. Karena kita itu menghindari voting maka tidak ada keputusan apapun, kecuali satu keputusan, 7 fraksi ditambah kelompok DPD menghendaki agar ada GBHN melalui TAP MPR," paparnya.
Karena itu, menurutnya, amendemen UUD terlalu terlalu sulit untuk dilakukan. Apalagi menyangkut hal-hal seperti penambahan jabatan presiden.
"Maaf, kami ini mantan mantan aktivis 98, itu kan menghendaki tidak adanya kekuasaan yang berlebihan, terlalu lama tidak ada regenerasi," jelasnya.
"Tentu kami sebagai penuntut reformasi, konsisten dengan apa yang kami perjuangkan dulu. Jangan sampai, memang politik itu kan kepentingan. Sikap adalah fungsi kepentingan," tegasnya.
(Baca juga: Soal Presiden 3 Periode, Jokowi Tak Happy karena Isunya Mengada-ada)
Hal itu dikatakan Syaifullah Tamliha dalam diskusi Empat Pilar dengan tema "Menakar Peluang Amendemen Konstitusi?" di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2019).
"Saya sudah bisa menakar bahwa terlalu sulit untuk melakukan amandemen karena perkembangan selama saya jadi pimpinan Fraksi PPP di MPR, itu hasilnya jangan kan untuk soal jabatan presiden, GBHN saja itu sampai detik-detik terakhir itu tidak ada kesepakatan," kata Tamliha.
Dia menjelaskan, dalam periode sebelumnya, ada tiga fraksi yang tidak menghendaki perencanaan pembangunan nasional diatur dalam GBHN, namun cukup melalui undang-undang sementara tujuh fraksi ingin melalui ketetapan MPR (TAP).
"Ini soal perencanaan pembangunan saja. Karena kita itu menghindari voting maka tidak ada keputusan apapun, kecuali satu keputusan, 7 fraksi ditambah kelompok DPD menghendaki agar ada GBHN melalui TAP MPR," paparnya.
Karena itu, menurutnya, amendemen UUD terlalu terlalu sulit untuk dilakukan. Apalagi menyangkut hal-hal seperti penambahan jabatan presiden.
"Maaf, kami ini mantan mantan aktivis 98, itu kan menghendaki tidak adanya kekuasaan yang berlebihan, terlalu lama tidak ada regenerasi," jelasnya.
"Tentu kami sebagai penuntut reformasi, konsisten dengan apa yang kami perjuangkan dulu. Jangan sampai, memang politik itu kan kepentingan. Sikap adalah fungsi kepentingan," tegasnya.
(maf)