Atasi Pneumonia, Unicef Keluarkan Program Vaksin PCV-13

Sabtu, 30 November 2019 - 06:22 WIB
Atasi Pneumonia, Unicef Keluarkan Program Vaksin PCV-13
Atasi Pneumonia, Unicef Keluarkan Program Vaksin PCV-13
A A A
JAKARTA - Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Unicef, mengeluarkan program vaksin murah guna menekan angka kematian anak karena pneumonia. Dan, Indonesia menjadi salah satu target karena tercatat sebagai negara peringkat ketujuh angka kematian anak di bawah lima tahun (balita) akibat penyakit itu.

Harga vaksin pneumonia atau pneumococcal conjugate vaccine (PCV)-13 sejauh ini tergolong mahal, yakni mencapai Rp250.000 per dosis. Dengan nominal seperti itu, tidak semua orang akan mampu untuk membeli vaksin tersebut.

Kondisi itu akan menghambat proses pencegahan penyakit pneumonia bagi anak. Akibatnya, dengan sedikitnya orang mendapatkan vaksin pneumonia, angka penderita dan kematian anak balita akibat pneumonia sulit ditekan.

Karena itulah, sebagai organisasi PBB yang memberikan bantuan kemanusiaan dan perkembangan kesejahteraan jangka panjang kepada anak-anak dan ibunya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, Unicef menggelar program vaksin murah. Mereka hanya membanderol PVC-13 senilai USD3 dolar atau sekitar Rp42.000 (kurs Rp14.000) per dosis sebagai bentuk kepedulian PBB untuk membantu menekan angka kematian bayi akibat pneumonia di negeri ini.

Peneliti dari National Institute of Health Research and Development (NIHRD), Soewarta Kosen, mengatakan, tawaran dari Unicef tersebut merupakan kesempatan untuk mengubah generasi pada usia emas anak dalam dua tahun pertama. Apalagi, tercatat sekitar 3 juta anak menderita pneumonia setiap tahunnya.

Karena itu, tawaran vaksin murah dari Unicef adalah salah satu jalan untuk menekan angka penderita, sekaligus mengurangi jumlah kematian balita akibat pneumonia di Indonesia. Apalagi, biasanya pengadaan vaksin baru di Indonesia dalam program imunisasi rutin dilakukan berdasarkan beban penyakit dan sejauh mana prioritas penyakit yang harus dibasmi.

"Angka tiga juta anak penderita pneumonia setiap tahun bukan jumlah sedikit. Pneumonia harus dilihat sebagai bentuk penyebab kematian tinggi," ujarnya dalam Focus Group Discuccion (FGD) bertajuk Urgensi Optimalisasi Pengadaan Vaksin Baru Terkait Efisiensi Anggaran di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Sejauh ini, vaksin PCV-13 sendiri sudah terbukti paling unggul di 130 negara. Karena itu, Soewarta menilai vaksin tersebut tidak perlu uji coba lagi di dua kota yang sudah dilakukan pemerintah.

"Kita selalu dipertanyakan, kenapa Negara Indonesia yang besar ini tidak ada vaksin PCV-13, padahal vaksin itu sudah keluar sejak 2001. Terpenting, ini sangat cost effective, sehingga bisa mengurangi semua biaya dari usaha lain Kemenkes seperti preventif, sosialisasi, dan lainnya," tambahnya.

Soewarta menegaskan, jika Indonesia tidak mengambil kesempatan ini berarti ingin menambah jumlah 3.000 orang yang meninggal karena pneumonia. Padahal, sebetulnya cukup mudah karena program vaksinasi pneumonia terhadap anak ini hanya dijalankan dalam jangka waktu setahun, yakni saat anak berusia dua bulan, tiga bulan, dan 12 bulan. Setelah itu sudah tidak perlu vaksin pneumonia lagi. Karena itu, permasalahan anggaran untuk pengadaan vaksin tersebut tak lepas dari komitmen pemerintah untuk menilai mana yang menjadi prioritas dan mana yang tidak.

Moderator FGD, Rahayuningsih, juga mencatat bahwa rata-rata kematian akibat penyakit pneumonia terhadap anak di bawah lima tahun mencapai 25.000 orang per tahunnya atau menyumbang 17% dari total kematian anak di bawah lima tahun. Karena itu, dia menilai program vaksin murah Unicef bisa menjadi solusi untuk menekan kematian bayi akibat pneumonia.

Hal senada disampaikan pengamat ekonomi kesehatan Hasbullah Thabrani. Dia bahkan membandingkan program vaksinasi pneumonia untuk 5 juta bayi yang baru lahir per tahun dengan program pembelian pesawat Sukhoi.

"Jika Indonesia membeli vaksin PCV-13 tanpa memanfaatkan tawaran Unicef, berarti kita melepas kesempatan efisiensi Rp4,2 triliun. Dan itu tidak dibanding dengan pembelian pesawat Sukhoi senilai Rp1 triliun. Sebab, pembelian vaksin berarti akan menyelamatkan banyak nyawa di masa depan," ucapnya.

Di sisi lain, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M. Faqih mengatakan bahwa vaksin pneumonia harus segera menjadi program pemerintah sebagai imunisasi dasar bagi anak baru lahir. "Kalau benar ada bantuan dari Unicef, kami sangat bersyukur. Sebab, pneumonia menjadi pembunuh utama balita," ujarnya.

Selama ini, vaksin yang bisa mencegah pneumonia harganya mahal. Alhasil, hanya orang-orang tertentu yang bisa meminta dan mendapatkan vaksin tersebut. Daeng juga menyebut, penyakit pneumonia masih jarang diketahui masyarakat, terutama ibu yang baru melahirkan.

"Informasi soal pneumonia harus banyak disosialisasikan agar para ibu lebih waspada. Jika bayi mereka terutama yang di bawah setahun mengalami batuk, pilek, dan panas badannya, maka segera dibawa ke dokter," jelasnya.

Daeng berharap, ke depan bayi baru lahir dapat mendapat vaksin PCV-13, sehingga dapat menekan angka kematian bayi dan angka penderita pneumonia. (Ananda Nararya)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6547 seconds (0.1#10.140)