Suara Partai Islam dari Pemilu ke Pemilu Dinilai Tak Signifikan
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, dari Pemilu ke Pemilu mulai dari 1955, hingga 2019, menunjukkan tidak ada peningkatan signifikan dari partai Islam khususnya perolehan suaranya.
(Baca juga: Pengakuan Mengejutkan Wakil Ketua KPK Ini Soal Teror dan Ancaman)
Hal itu dikatakan Siti dalam diskusi di kantor Parameter Politik Indonesia, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (29/11/2019). Padahal menurutnya, mayoritas penduduk Indonesia merupakan umat muslim.
"Digabung pun masih kalah dari pemilu hasil perolehan suara dari pemilu 1955. Relatif signifikan perolehan waktu itu. Tapi begitu di orde baru, kita tidak hitung, tapi di era reformasi itu semakin ramping," ujar Siti.
"Itu menunjukkan tidak pakai survei pun, kita bisa katakan, kalau kita penduduk indoensia mayoritas muslim, itu Islam masih di atas 85 persen. Tapi ke mana suara-suara muslim, ketika kita punya PKS, ada PPP, ada PKB, kalau PAN dimasukkan sebagai partai Islam, juga tidak signifikan," tambahnya.
Salah satu faktornya, karena kurang adanya deklarasi dari partai Islam itu sendiri. Karena kata Siti, umat Islam memiliki tuntutan yang tinggi terhadap partai Islam itu agar bisa menjalankan ajaran agamanya.
"Dalam politik yang tidak boleh dilupakan dia harus punya komitmen dan tentu sebagai partai harus menonjolkan ideologi," jelasnya.
Tidak adanya komitmen yang kuat dan menurunnya signifikansi dari partai Islam, membuat umat muslim banyak yang lebih memilih partai nasionalis, misal PDIP, Partai Demokrat, Partai Nasdem, Partai Golkar hingga Partai Gerindra.
Menurutnya, perlu ada yang diperbaiki oleh partai Islam demi mendapat dukungan maksimal dari umat. "Saya melihat pola relasi harus diperbaiki, di internal partai Islam, komunitas Islam itu harus disuguhi bahwa kader partainya itu betul-betul amanah (dapat dipercaya), siddiq (jujur), tabligh (menyampaikan apa adanya), fathanah (cerdas). Islam sudah mengajarkan," ungkapnya
Namun lagi-lagi, partai Islam terkadang lupa dengan nilai ajaran Islam itu sendiri dan membuat umat Islam mengalihkan dukungannya ke partai nasionalis.
"Pemilih tidak salah karena juga tidak diberikan calon-calon yang misalnya seperti katakan Pak Jokowi yang mau blusukan, dan sebagainya. Elite-elitenya jangan bersikap elitis," tuturnya.
(Baca juga: Pengakuan Mengejutkan Wakil Ketua KPK Ini Soal Teror dan Ancaman)
Hal itu dikatakan Siti dalam diskusi di kantor Parameter Politik Indonesia, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (29/11/2019). Padahal menurutnya, mayoritas penduduk Indonesia merupakan umat muslim.
"Digabung pun masih kalah dari pemilu hasil perolehan suara dari pemilu 1955. Relatif signifikan perolehan waktu itu. Tapi begitu di orde baru, kita tidak hitung, tapi di era reformasi itu semakin ramping," ujar Siti.
"Itu menunjukkan tidak pakai survei pun, kita bisa katakan, kalau kita penduduk indoensia mayoritas muslim, itu Islam masih di atas 85 persen. Tapi ke mana suara-suara muslim, ketika kita punya PKS, ada PPP, ada PKB, kalau PAN dimasukkan sebagai partai Islam, juga tidak signifikan," tambahnya.
Salah satu faktornya, karena kurang adanya deklarasi dari partai Islam itu sendiri. Karena kata Siti, umat Islam memiliki tuntutan yang tinggi terhadap partai Islam itu agar bisa menjalankan ajaran agamanya.
"Dalam politik yang tidak boleh dilupakan dia harus punya komitmen dan tentu sebagai partai harus menonjolkan ideologi," jelasnya.
Tidak adanya komitmen yang kuat dan menurunnya signifikansi dari partai Islam, membuat umat muslim banyak yang lebih memilih partai nasionalis, misal PDIP, Partai Demokrat, Partai Nasdem, Partai Golkar hingga Partai Gerindra.
Menurutnya, perlu ada yang diperbaiki oleh partai Islam demi mendapat dukungan maksimal dari umat. "Saya melihat pola relasi harus diperbaiki, di internal partai Islam, komunitas Islam itu harus disuguhi bahwa kader partainya itu betul-betul amanah (dapat dipercaya), siddiq (jujur), tabligh (menyampaikan apa adanya), fathanah (cerdas). Islam sudah mengajarkan," ungkapnya
Namun lagi-lagi, partai Islam terkadang lupa dengan nilai ajaran Islam itu sendiri dan membuat umat Islam mengalihkan dukungannya ke partai nasionalis.
"Pemilih tidak salah karena juga tidak diberikan calon-calon yang misalnya seperti katakan Pak Jokowi yang mau blusukan, dan sebagainya. Elite-elitenya jangan bersikap elitis," tuturnya.
(maf)