Wacana Presiden Dipilih MPR Dinilai Mengkhianati Reformasi

Jum'at, 29 November 2019 - 08:00 WIB
Wacana Presiden Dipilih...
Wacana Presiden Dipilih MPR Dinilai Mengkhianati Reformasi
A A A
JAKARTA - CEO Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai, wacana memilih Presiden dan Wakil Presiden melalui MPR merupakan pengkhianatan terhadap agenda Reformasi 98. Menurutnya, salah-satu buah reformasi adalah perubahan mendasar dalam mekanisme pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung. (Baca juga: PBNU Usul Presiden Dipilih MPR, Puan Sebut Dibahas di Komisi II DPR)

"Perubahan ini bukan-lah sesuatu yang ujuk-ujuk terjadi, pengalaman pahit berada di bawah rezim otoriter dengan legitimasi absolut MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah pokok perkaranya," tutur Pangi kepada SINDOnews, Jumat (28/11/2019).

Saat itu, MPR berubah wujud menjadi stempel kekuasaan, dan di sisi lain presiden menjelma bagai dewa yang antikritik, menjadi feodal seutuhnya, masyarakat dibungkam dan kebebasan berekspresi dikebiri. (Baca juga: PBNU Setuju Presiden Kembali Dipilih MPR)

"Perjuangan panjang kaum intelektual dan dukungan dari masyarakat luas dan berbagai kelompok kepentingan akhirnya menumbangkan rezim otoriter beserta perangkat pendukungnya," papar dia. (Baca juga: Wacana Pilpres Kembali Dipilih MPR, Nasdem: Amendemen UUD Tak Mudah)

Pangi memandang, transisi dari rezim otoriter ke era domokratis memang tidak selalu berjalan mulus. Namun itu tidak serta-merta menjadi alasan untuk kembali ke fase kelam di bawah sistem yang dulu telah melahirkan otoritarianisme.

Komplikasi persoalan pemilu langsung harus diselesaikan dengan pikiran jernih bukan reaksioner sehingga melahirkan solusi jitu bukan dengan mengambil jalan pikiran pintas karena malas bersitegang dengan pikiran dan gagal dalam membangun dialetika berpikir.

Menurutnya, indikasi malas berpikir dan gagal dalam berlogika itu tergambar dengan sangat jelas, ketika problematika dan solusi yang ditawarkan tidak nyambung sama-sekali. Jika persoalan politik berbiaya tinggi, politik uang dan keterbelahan publik yang melahirkan konflik menjadi argumen utama untuk menghapus pemilu langsung, maka solusinya bukan serta-merta mengganti sistem.

Lebih lanjut Pangi mengatakan, apakah dipikirkan soal konsekuensi atau mudarat jika presiden dipilih MPR, menggapa semua pihak mudah lupa sejarah bagaimana instabilitas pemerintahan, di tengah jalan presiden sangat mudah diimpeachmen atau dijatuhkan, jelas tidak sekuat legitimasi presiden dipilih langsung yang tidak mudah menjatuhkan presiden di tengah jalan hanya karena soal like or dislike.

"Dijatuhkan Gus Dur di tengah jalan oleh MPR mestinya cukup menjadi pembelajaran penting bagi kita betapa rapuhnya legitimasi presiden dipilih melalui mekanisme MPR," ungkap dia.

Baginya, masih sangat terbuka solusi dan alternatif lain untuk menekan dan meminimalisasi hal tersebut melalui paket sekelas undang-undang pemilu, bukan malah ujuk-ujuk amandemen konstitusi.

Menurutnya, paket undang-undang pemilu tersebut sudah lama menjadi wacana terkait pembiayaan politik, penghapusan ambang batas pencalonan presiden, mahar politik dan penegakan hukum terkait pelanggaran pemilu.

Dia menganggap, selama upaya perbaikan sistem pemilu belum dilakukan secara optimal, maka sangat naif sekali rasanya menyalahkan pilihan sistem ini dan menggantinya dengan pilihan sistem lain yang telah terbukti membawa bangsa ini ke dalam sejarah kelam.
"Atau jangan-jangan mereka yang dulu merasakan nikmatnya kekuasaan dalam sistem otoriter itu sedang menyusun kekuatan, mereka sudah tidak sabar untuk kembali berkuasa," tandasnya.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6744 seconds (0.1#10.140)