KPK Klaim Bantu Atasi Fraud BPJS Kesehatan
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan kinerjanya selama beberapa tahun terakhir. Salah satunya KPK mengklaim telah ikut membantu memperbaiki fraud di BPJS Kesehatan yang menyebabkan defisit anggaran BPJS Kesehatan yang membengkak setiap tahunnya.
“Kami mendorong semua pihak untuk menggunakan data tunggal, NIK menjadi pedoman. Ini yang sedang berlangsung di banyak kegiatan yang kita mencoba NIK di mana-mana. 2017, karena dengan kita meneliti NIK yang ada di data BPJS itu sekian berapa juta yang kita hilangkan. Oh 4 juta orang kemudian bisa kita hilangkan karena nggak punya NIK dan nggak ada yang protes. Jangan-jangan juga nggak ada,” ujar Ketua KPK Agus Rahardjo dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Di tahun yang sama, Agus melanjutkan, KPK juga mendorong penyampaian rencana kebutuhan obat bagi semua Rumah Sakit (RS) pemerintah dan swasta. Termasuk provider jaminan kesehatan nasional untuk membuka akses E-Catalog. E-Catalog ini merupakan cara membeli data yang dibuka LKPP sehingga, untuk membeli obat tinggal beli saja dan tidak perlu lelang.
“Di 2017 itu transaksinya sudah mencapai Rp18 triliun,” imbuhnya.
Kemudian, sambung Agus, KPK juga mendorong penanganan Jaminan Kesehatan Masyarakat baik BPJS maupun lainnya. Pada 2017, pembayaran iuran BPJS lewat DAU yang masuk ke APBD namun, karena muncul kasus kemudian muncul di mana iurannya sudah ditarik dati APBD tetapi iurannya tidak disetorkan.
“Ini terjadi di Subang. Mestinya kebutuhan untuk iuran BPJS ditarik dari APBD kemudian tidak disetorkan untuk ketahuan lalu ditangkap. Untuk keperluan iuran BPJS, DAU dari Kemenkeu langsung ditransfer,” paparnya.
Selain itu, dia menambahkan, banyak RS di daerah yang kemudian dalam tanda kutip mengaku klasifikasi RS-nya lebih tinggi dalam hal ini kelas B. Sehingga, akhir-akhir ini Kemenkes membuat Surat Edaran bahwa banyak RS yang menurunkan kelasnya dari B ke C. Karena ternyata, dengan mereka meningkatkan kelasnya jadi B itu akan dibayar lebih tinggi.
“Ada 839 RS, kemungkinan missmatched Rp8 triliun. Jadi cukup besar. Mudah-mudahan pengaturan berikutnya berdasarkan informasi dari KPK kemudian Kemenkes melakukan pengaturan-pengaturan itu,” harapnya.
“Kami mendorong semua pihak untuk menggunakan data tunggal, NIK menjadi pedoman. Ini yang sedang berlangsung di banyak kegiatan yang kita mencoba NIK di mana-mana. 2017, karena dengan kita meneliti NIK yang ada di data BPJS itu sekian berapa juta yang kita hilangkan. Oh 4 juta orang kemudian bisa kita hilangkan karena nggak punya NIK dan nggak ada yang protes. Jangan-jangan juga nggak ada,” ujar Ketua KPK Agus Rahardjo dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Di tahun yang sama, Agus melanjutkan, KPK juga mendorong penyampaian rencana kebutuhan obat bagi semua Rumah Sakit (RS) pemerintah dan swasta. Termasuk provider jaminan kesehatan nasional untuk membuka akses E-Catalog. E-Catalog ini merupakan cara membeli data yang dibuka LKPP sehingga, untuk membeli obat tinggal beli saja dan tidak perlu lelang.
“Di 2017 itu transaksinya sudah mencapai Rp18 triliun,” imbuhnya.
Kemudian, sambung Agus, KPK juga mendorong penanganan Jaminan Kesehatan Masyarakat baik BPJS maupun lainnya. Pada 2017, pembayaran iuran BPJS lewat DAU yang masuk ke APBD namun, karena muncul kasus kemudian muncul di mana iurannya sudah ditarik dati APBD tetapi iurannya tidak disetorkan.
“Ini terjadi di Subang. Mestinya kebutuhan untuk iuran BPJS ditarik dari APBD kemudian tidak disetorkan untuk ketahuan lalu ditangkap. Untuk keperluan iuran BPJS, DAU dari Kemenkeu langsung ditransfer,” paparnya.
Selain itu, dia menambahkan, banyak RS di daerah yang kemudian dalam tanda kutip mengaku klasifikasi RS-nya lebih tinggi dalam hal ini kelas B. Sehingga, akhir-akhir ini Kemenkes membuat Surat Edaran bahwa banyak RS yang menurunkan kelasnya dari B ke C. Karena ternyata, dengan mereka meningkatkan kelasnya jadi B itu akan dibayar lebih tinggi.
“Ada 839 RS, kemungkinan missmatched Rp8 triliun. Jadi cukup besar. Mudah-mudahan pengaturan berikutnya berdasarkan informasi dari KPK kemudian Kemenkes melakukan pengaturan-pengaturan itu,” harapnya.
(kri)