Indonesia Dinilai Belum Bisa Terbebas dari Masalah Terorisme

Jum'at, 22 November 2019 - 15:52 WIB
Indonesia Dinilai Belum...
Indonesia Dinilai Belum Bisa Terbebas dari Masalah Terorisme
A A A
BANDUNG - Paham dan aksi terorisme yang terus terjadi di Indonesia dinilai menjadi bukti masih kuatnya dinamika tersebut di Tanah Air. Akibatnya, Indonesia pun belum dapat dipastikan kapan bisa terbebas dari radikalisme dan terorisme.

Hal itu mengemuka dalam simposium "Peta Radikalisme dan Strategi Deradikalisasi Kontemporer" yang merupakan rangkaian kegiatan Simposium Nasional dan Deklarasi Forum Alumni Pelajar Islam Indonesia (FPII) yang digelar di Hotel Aryaduta, Jalan Sumatera, Kota Bandung sejak Rabu-Jumat, 20-22 November 2019.

"Memprediksinya (Indonesia terbebas dari radikalisme dan terorisme) harus matang. Diprediksi bisa, tapi butuh cukup waktu karena dinamikanya berubah-ubah," ungkap Asisten Deputi Penanganan Konflik Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Brigjen Pol Erwin Chahara Rusmana yang menjadi salah satu narasumber dalam simposium tersebut.

Erwin melanjutkan, selain kuatnya dinamika di lapangan, sebagai kemenko yang membawahi 13 kementerian, pihaknya sendiri tidak terjun langsung dalam tataran teknis penuntasan persoalan radikalisme dan terorisme. Oleh karenanya, Kemenko Polhukam menargetkan, secepatnya Indonesia terbebas dari persoalan radikalisme dan terorisme.

"Bagaimana targetnya, targetnya ingin secepatnya. Tapi dinamika di lapangan akan bisa mempengaruhi dari sisi global, regional, maupun lokal. Seperti contoh, radikalisme itu ada suatu organisasi internasional, menggunakan kekuatan media, medsos (media sosial). Mereka membuat kelompok-kelompok kecil, sehingga sulit dideteksi sampai jaringan atasnya," bebernya.

Menurut dia, dengan dinamikanya yang tinggi, dibutuhkan pemetaan (mapping), penelusuran, peningkatan kemampuan aparatur, hingga dukungan anggaran. Selain itu, upaya deradikalisme juga harus terus dilakukan dengan cara menyentuh semua kalangan lewat komunikasi yang intens bersama seluruh pemangku kepentingan dan elemen masyarakat.

"Upaya deradikalisasi juga harus didukung kekuatan-kekuatan daerah, yaitu desa babinkabtimas, babinsa yang monitor yang dipadukan dengan intelijen dari Polres, Kodim, Kodam, Polda, atau pusat, agar bersinergi dan mampu membuat komunikasi yang bagus untuk mengantisipasi oknum yang mempengaruhi masyarakat," jelasnya.

Erwin menambahkan, berdasarkan kajian pihaknya, radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme tak lepas dari misi politik para pelakunya. Selain itu, aksi terorisme juga bisa disebabkan oleh dangkalnya pemahaman terhadap agama hingga kesalahan dalam mendapatkan pemahaman agama.

"Jadi, misi mereka itu politik, politik yang memanfaatkan perbedaan penafsiran agama. Biasanya, yang menjadi operator radikal pemahamannya masih baru atau salah guru. Seperti ada salah satu teroris yang tertangkap, dia sangat cerdas, tapi pemahaman agamanya mungkin salah belajar, kemudian ada jaringan tertentu untuk mempengaruhi tumbuhnya radikal," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0637 seconds (0.1#10.140)