Tokoh Nasional, Sukmawati Seharusnya Jaga Marwah dalam Berkata-kata
A
A
A
JAKARTA - Direktur Lingkar Kajian Agama dan Kebudayaan Nusantara (LKAB-Nausantara), Fadhli Harahap menyayangkan pernyataan Sukmawati Soekarnoputri di forum diskusi bertajuk 'Bangkitkan Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme' beberapa waktu lalu.
"Sebab, pertanyaan semacam itu sungguh tidak pantas terlontar dari mulut seorang intelektual, budayawan, publik figur atau juga tokoh nasional," ujar Fadhli kepada SINDOnews, Senin (18/11/2019).
Menurut Fadhli, sebagai seorang yang diidolakan, Sukmawati seharusnya menjaga marwah dalam berkata-kata. Minimal perempuan yang akrab disapa Sukma itu mampu mengontrol bahasa yang digunakan dalam forum terbuka.
Tercatat, kata Fadhli, Putri Bung Karno ini sudah dua kali bersinggungan dengan kasus yang sama, yang diduga melakukan penodaan agama. Kasus pertama, Sukmawati membandingkan suara adzan dengan kidung ibu Indonesia, yang berakhir SP3 dari kepolisian.
Kedua, persoalan yang sekarang sedang ramai-ramainya diberitakan media massa. Membanding-bandingkan Nabi Muhammad dengan Proklamator Indonesia, Ir Soekarno.
"Khilaf? Mungkin saja. Tetapi, menurut saya kekhilafan ini sangat fatal. Menyinggung tokoh sentral umat Islam Nabi Muhammad SAW," tutur dia.
Bagi Alumni UIN Jakarta ini, kedua tokoh besar ini merupakan anugerah bagi kaumnya. Nabi Muhammad dan Bung Karno ditakdirkan lahir sebagai pahlawan, tauladan, dan tokoh pembebasan bagi kaum tertindas.
Menurutnya, kedua tokoh ini memiliki visi dan misi yang sama, bagaimana manusia merdeka dari segala bentuk penindasan manusia lainnya. "Berbekal akhlak yang mulia, tutur sapa yang ramah, Nabi Muhammad mampu membebaskan kaumnya dari perbudakan zaman jahiliah. Menyatukan suku-suku arab di bawah panji Islam," jelas Fadhli.
"Begitu juga Soekarno, kegelisahan terhadap kondisi bangsanya yang terjajah, membuat dirinya ikut berjuang memerdekakan tanah airnya. Menyatukan segala perbedaan kaumnya di bawah bendera Merah Putih," imbuhnya.
Lantas, kata Fadhli, apa yang mesti dibanding-bandingkan di antara kedua tokoh ini. Nabi Muhammad dan Soekarno telah mencatatkan nama besar mereka dalam sejarah sebagai pemimpin besar revolusi.
Bedanya, Nabi Muhammad terlahir sebagai pemimpin besar revolusi pada abad ke-5 Masehi. Sementara Soekarno di abad 20. Nabi Muhammad di Mekkah-Saudi Arabia dan Soekarno di Surabaya-Indonesia.
Dengan demikian, lanjut Fadhli, penggunaan korelasi diksi dalam pertanyaan Sukmawati menjadi biang dari kegaduhan ini. Sukmawati terkesan memaksakan, membandingkan Soekarno yang hidup di abad 20 dengan Nabi Muhammad yang hidup di abad ke-5.
Perbedaan waktu yang cukup panjang ini membuat perbandingan tersebut sangat tidak relevan. Ditambah lagi, figur Nabi Muhammad merupakan orang yang sangat dimuliakan umat Islam, sehingga apapun yang dinilai melecehkan nabi akan mendapat reaksi dari pengikutnya.
Padahal, jika diperhatikan Sukmawati dapat menggunakan diksi lain yang lebih tepat untuk membandingkan Soekarno. Misalnya, Mahatma Gandhi tokoh nasional India, Nelson Mandela tokoh nasional Afrika Selatan atau Kemal Ataturk tokoh nasional Turki.
"Sayangnya itu tidak digunakan oleh Sukmawati dan lebih memilih diksi Nabi Muhammad. Ibarat kata 'Mulutmu Harimaumu', kini Sukmawati harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah diucapkannya," pungkasnya.
"Sebab, pertanyaan semacam itu sungguh tidak pantas terlontar dari mulut seorang intelektual, budayawan, publik figur atau juga tokoh nasional," ujar Fadhli kepada SINDOnews, Senin (18/11/2019).
Menurut Fadhli, sebagai seorang yang diidolakan, Sukmawati seharusnya menjaga marwah dalam berkata-kata. Minimal perempuan yang akrab disapa Sukma itu mampu mengontrol bahasa yang digunakan dalam forum terbuka.
Tercatat, kata Fadhli, Putri Bung Karno ini sudah dua kali bersinggungan dengan kasus yang sama, yang diduga melakukan penodaan agama. Kasus pertama, Sukmawati membandingkan suara adzan dengan kidung ibu Indonesia, yang berakhir SP3 dari kepolisian.
Kedua, persoalan yang sekarang sedang ramai-ramainya diberitakan media massa. Membanding-bandingkan Nabi Muhammad dengan Proklamator Indonesia, Ir Soekarno.
"Khilaf? Mungkin saja. Tetapi, menurut saya kekhilafan ini sangat fatal. Menyinggung tokoh sentral umat Islam Nabi Muhammad SAW," tutur dia.
Bagi Alumni UIN Jakarta ini, kedua tokoh besar ini merupakan anugerah bagi kaumnya. Nabi Muhammad dan Bung Karno ditakdirkan lahir sebagai pahlawan, tauladan, dan tokoh pembebasan bagi kaum tertindas.
Menurutnya, kedua tokoh ini memiliki visi dan misi yang sama, bagaimana manusia merdeka dari segala bentuk penindasan manusia lainnya. "Berbekal akhlak yang mulia, tutur sapa yang ramah, Nabi Muhammad mampu membebaskan kaumnya dari perbudakan zaman jahiliah. Menyatukan suku-suku arab di bawah panji Islam," jelas Fadhli.
"Begitu juga Soekarno, kegelisahan terhadap kondisi bangsanya yang terjajah, membuat dirinya ikut berjuang memerdekakan tanah airnya. Menyatukan segala perbedaan kaumnya di bawah bendera Merah Putih," imbuhnya.
Lantas, kata Fadhli, apa yang mesti dibanding-bandingkan di antara kedua tokoh ini. Nabi Muhammad dan Soekarno telah mencatatkan nama besar mereka dalam sejarah sebagai pemimpin besar revolusi.
Bedanya, Nabi Muhammad terlahir sebagai pemimpin besar revolusi pada abad ke-5 Masehi. Sementara Soekarno di abad 20. Nabi Muhammad di Mekkah-Saudi Arabia dan Soekarno di Surabaya-Indonesia.
Dengan demikian, lanjut Fadhli, penggunaan korelasi diksi dalam pertanyaan Sukmawati menjadi biang dari kegaduhan ini. Sukmawati terkesan memaksakan, membandingkan Soekarno yang hidup di abad 20 dengan Nabi Muhammad yang hidup di abad ke-5.
Perbedaan waktu yang cukup panjang ini membuat perbandingan tersebut sangat tidak relevan. Ditambah lagi, figur Nabi Muhammad merupakan orang yang sangat dimuliakan umat Islam, sehingga apapun yang dinilai melecehkan nabi akan mendapat reaksi dari pengikutnya.
Padahal, jika diperhatikan Sukmawati dapat menggunakan diksi lain yang lebih tepat untuk membandingkan Soekarno. Misalnya, Mahatma Gandhi tokoh nasional India, Nelson Mandela tokoh nasional Afrika Selatan atau Kemal Ataturk tokoh nasional Turki.
"Sayangnya itu tidak digunakan oleh Sukmawati dan lebih memilih diksi Nabi Muhammad. Ibarat kata 'Mulutmu Harimaumu', kini Sukmawati harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah diucapkannya," pungkasnya.
(kri)