Eks Teroris Ini Ungkap Sejumlah Permasalahan Pascabom Medan
A
A
A
BANDUNG - Aksi teror bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan yang terjadi pada Rabu (13/11/2019) pagi, harus direspons serius oleh pemerintah dengan membuat kebijakan strategis.
Mantan napi terorisme, Ali Fauzi Manzi mengungkapkan, yang harus dilakukan pemerintah yakni membersihkan kelompok dan paham radikal bukan hanya tugas Polri dan TNI, tetapi juga Kementerian Agama (Kemenag).
Sebab diakuinya, kelompok dan paham radikal masih bercokol kuat di Indonesia. Karena itu, aksi teror bom bunuh diri terus berulang terjadi dan dilakukan oleh kelompok yang sama.
"Peristiwa bom yang terjadi di Indonesia karena imunitas masyarakat terhadap paham radikal masih belum kuat. Karena itu, pemerintah khususnya Kementerian Agama merumuskan program yang bisa menangkal penyebaran paham radikal dan terorisme ke masyarakat," kata Ali.
"Ini terkait ideologi, paham keagamaan. Kalau diserahkan ke polisi ga akan selesai. Kemenag (selama ini) saya pikir tidak mau paham juga (tentang urgensi penangkalan terorisme)," sambungnya.
Ali menuturkan, mengantisipasi para teroris menjaring kader tidak akan bisa dilakukan sendiri oleh Polri. Sebab, terorisme menyangkut ideologi.
"Pak Menteri Agama yang baru ((Fachrul Razi), tolong Kemenag didorong ikut andil dalam program deradikalisasi. Jangan hanya wacana. Jangan yang diurusi haji dan umrah saja," tutur Ali.
Dia menilai, kondisi ini (penyebaran paham radikal di masyarakat) sangat mendesak untuk segera diambil langkah strategis karena sudah banyak indikator mengenai cara pandang masyarakat tak maju dalam melihat aksi terorisme.
Berdasarkan pengamatan Ali, ada tudingan yang selalu mengarah kepada institusi pertahanan negara. Deradikalisasi memang sulit dan banyak tantangannya. Namun, masyarakat harus dipahamkan bahwa ada organisasi atau kelompok teror yang merongrong negara.
"Cara padang masyarakat ini terhadap terorisme gagal. Banyak yang berpendapat (di media sosial) mengejek polisi. Aksi terorisme ini (dituding) BIN yang bermain. Ya kalau statement ini keluar dari tokoh masyarakat atau ulama, ya kelompok teroris ini seneng," ungkap pria yang pernah menjadi kepalai instructur enginering (pengajar teknik perakitan bom) dalam jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI).
Salah satu cara yang bisa dilakukan, kata Ali, adalah menyebarkan edukasi kepada masyarakat melalui berbagai lembaga. Selain itu, mendampingi mantan napi terorisme untuk diubah mindset-nya mengenai jihad atau perang suci.
Langkah ini sudah dilakukan oleh Ali melalui Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur. Rata-rata, para mantan napi terorisme banyak yang belum sembuh dari pergeseran pemahaman ideologi.
"Banyak yang belum sembuh, salah satu penyakitnya benci terhadap polisi. (bagi yang muslim) saya ubah mindset terkait cara pandang islam yang rahmatan lil alamin," ucap dia.
"Saya selalu tekankan bahwa tidak semua polisi jahat. Jangan digeneralisir polisi jahat. Tentu pendekatan yang saya bangun pembinaan berbasis ideologi," pungkas Ali.
Sekadar untuk diketahui, rekam jejak Ali selama terlibat terorisme, dia dan tiga saudaranya (empat bersaudara) bergabung dengan Alqaeda. Seperti Amrozi (sudah dieksekusi), Ali Gufron, dan Ali Imron (dihukum seumur hidup). Mereka terlibat dalam teror Bom Bali I.
Selain itu, Ali juga terlibat perang gerilya di Mindanao, Filipina, bersama kelompok Abu Sayaf. Karena tertangkap, Ali Fauzi dideportasi ke Indonesia. Dia kemudian diberi kesempatan hidup oleh polisi. Saat itu Ali terluka parah dan mendapat jaminan pengobatan dari Polri.
Ali menilai, radikalisme di Indonesia tak terlepas dari fenomena global. Kemunculan ISIS di Syiria dan Irak, berakibat kepada maraknya aksi-aksi teror di Indonesia, termasuk yang kemarin bom panci di Kampung Melayu, bom panci di Bandung dan rentetan-rentetan teror lainnya.
Dia memandang terorisme di Indobesia saat ini lebih kepada ISIS. Ukuran bom yang dilakukan teroris dari tahun 2000 sampai 2010, berukuran besar, 1 ton, 300 kilogram, 400 kilogram, dan dilakukan oleh mereka-mereka yang ahli dididik di akademi militer di Afganistan dan Mindanao. Sedangkan saat ini, bom yang diledakkan lebih kecil.
Mantan napi terorisme, Ali Fauzi Manzi mengungkapkan, yang harus dilakukan pemerintah yakni membersihkan kelompok dan paham radikal bukan hanya tugas Polri dan TNI, tetapi juga Kementerian Agama (Kemenag).
Sebab diakuinya, kelompok dan paham radikal masih bercokol kuat di Indonesia. Karena itu, aksi teror bom bunuh diri terus berulang terjadi dan dilakukan oleh kelompok yang sama.
"Peristiwa bom yang terjadi di Indonesia karena imunitas masyarakat terhadap paham radikal masih belum kuat. Karena itu, pemerintah khususnya Kementerian Agama merumuskan program yang bisa menangkal penyebaran paham radikal dan terorisme ke masyarakat," kata Ali.
"Ini terkait ideologi, paham keagamaan. Kalau diserahkan ke polisi ga akan selesai. Kemenag (selama ini) saya pikir tidak mau paham juga (tentang urgensi penangkalan terorisme)," sambungnya.
Ali menuturkan, mengantisipasi para teroris menjaring kader tidak akan bisa dilakukan sendiri oleh Polri. Sebab, terorisme menyangkut ideologi.
"Pak Menteri Agama yang baru ((Fachrul Razi), tolong Kemenag didorong ikut andil dalam program deradikalisasi. Jangan hanya wacana. Jangan yang diurusi haji dan umrah saja," tutur Ali.
Dia menilai, kondisi ini (penyebaran paham radikal di masyarakat) sangat mendesak untuk segera diambil langkah strategis karena sudah banyak indikator mengenai cara pandang masyarakat tak maju dalam melihat aksi terorisme.
Berdasarkan pengamatan Ali, ada tudingan yang selalu mengarah kepada institusi pertahanan negara. Deradikalisasi memang sulit dan banyak tantangannya. Namun, masyarakat harus dipahamkan bahwa ada organisasi atau kelompok teror yang merongrong negara.
"Cara padang masyarakat ini terhadap terorisme gagal. Banyak yang berpendapat (di media sosial) mengejek polisi. Aksi terorisme ini (dituding) BIN yang bermain. Ya kalau statement ini keluar dari tokoh masyarakat atau ulama, ya kelompok teroris ini seneng," ungkap pria yang pernah menjadi kepalai instructur enginering (pengajar teknik perakitan bom) dalam jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI).
Salah satu cara yang bisa dilakukan, kata Ali, adalah menyebarkan edukasi kepada masyarakat melalui berbagai lembaga. Selain itu, mendampingi mantan napi terorisme untuk diubah mindset-nya mengenai jihad atau perang suci.
Langkah ini sudah dilakukan oleh Ali melalui Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur. Rata-rata, para mantan napi terorisme banyak yang belum sembuh dari pergeseran pemahaman ideologi.
"Banyak yang belum sembuh, salah satu penyakitnya benci terhadap polisi. (bagi yang muslim) saya ubah mindset terkait cara pandang islam yang rahmatan lil alamin," ucap dia.
"Saya selalu tekankan bahwa tidak semua polisi jahat. Jangan digeneralisir polisi jahat. Tentu pendekatan yang saya bangun pembinaan berbasis ideologi," pungkas Ali.
Sekadar untuk diketahui, rekam jejak Ali selama terlibat terorisme, dia dan tiga saudaranya (empat bersaudara) bergabung dengan Alqaeda. Seperti Amrozi (sudah dieksekusi), Ali Gufron, dan Ali Imron (dihukum seumur hidup). Mereka terlibat dalam teror Bom Bali I.
Selain itu, Ali juga terlibat perang gerilya di Mindanao, Filipina, bersama kelompok Abu Sayaf. Karena tertangkap, Ali Fauzi dideportasi ke Indonesia. Dia kemudian diberi kesempatan hidup oleh polisi. Saat itu Ali terluka parah dan mendapat jaminan pengobatan dari Polri.
Ali menilai, radikalisme di Indonesia tak terlepas dari fenomena global. Kemunculan ISIS di Syiria dan Irak, berakibat kepada maraknya aksi-aksi teror di Indonesia, termasuk yang kemarin bom panci di Kampung Melayu, bom panci di Bandung dan rentetan-rentetan teror lainnya.
Dia memandang terorisme di Indobesia saat ini lebih kepada ISIS. Ukuran bom yang dilakukan teroris dari tahun 2000 sampai 2010, berukuran besar, 1 ton, 300 kilogram, 400 kilogram, dan dilakukan oleh mereka-mereka yang ahli dididik di akademi militer di Afganistan dan Mindanao. Sedangkan saat ini, bom yang diledakkan lebih kecil.
(maf)