Fatayat NU Respons Kebebasan Beragama di Konferensi Internasional
A
A
A
JAKARTA - Kebebasan beragama sudah berlangsung lama di Indonesia sejak Pancasila menjadi kesepakatan bersama dalam berbangsa. Nilai-nilai Pancasila dan moderasi Islam yang mengakomodasi budaya menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia tidak alergi dengan kebebasan beragama.
Hal itu diungkapkan Ketum Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU) Anggia Ermarini dalam Konferensi Internasional Islam dan Kebebasan ke-7 di Hotel Double Tree, Cikini, Jakarta, kemarin. Konferensi ini mengusung tema “The Islamic Case for Religious Freedom”.
Konferensi terselenggara atas kerja sama PP Fatayat NU dengan The International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia dan The Religious Freedom Institute (RFI) Amerika Serikat. “Fatayat NU dalam usianya hampir 70 tahun telah mendorong kebebasan beragama melalui isu-isu perempuan. Kami bekerja sama sangat erat dengan perempuan lintas agama dan juga dengan minoritas, Ahmadiyah dan Syiah dalam isu kesehatan, keadilan gender, dan isu sosial lainnya,” ungkap Anggia.
Anggota DPR dari PKB ini mendukung isu kebebasan bergama. Menurut dia, kebebasan beragama dan berekspresi dalam beragama sudah diatur dalam UUD 1945 juga dalam Al Quran dan dalam nilai-nilai ke-NU-an, tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), ta’adul (berkeadilan).
“Gus Dur pernah berkata, yang terpenting dari politik adalah kemanusiaan. Dan Fatayat NU meyakini, kemanusiaanlah yang mendasari setiap gerakan Fatayat NU, termasuk dalam isu kebebasan beragama. Kita boleh berbeda pandangan dan bahkan bertentangan ideologi, tapi bukan berarti mengurangi rasa hormat sebagai manusia yang diciptakan oleh sang Maha Pencipta,” tandasnya.
Forum yang dihadiri tidak hanya para akademisi, juga praktisi dari seluruh dunia ini akan membahas isu-isu kebebasan beragama dari berbagai negara. “Kami berharap, kita bisa maksimal berdiskusi, belajar dari pengalaman para pakar dan praktisi dari seluruh penjuru dunia terkait praktik kebebasan beragam,” kata Anggia.
“Tidak ada istilah ‘umat Islam’ dalam Alquran. Yang ada adalah ummatan wasathon. Nabi SAW membangun Madinah juga bukan atas dasar agama ataupun etnis. Karena itu, sangat berbahaya orang yang membela Islam dengan cara yang salah. Bahkan lebih berbahaya daripada orang yang memusuhi Islam,” tandas KH Said Aqil.
Terkait Ahmadiyah, KH Said menekankan agar ada keterbukaan dari kalangan Ahmadiyah. “Kita bisa salat di masjid Ahmadiyah, begitu juga sebaliknya. Selama ini kita melihat Ahmadiyah masih tertutup. Saya tidak membahas teologi, tapi mari saling mu’asyaroh bil ma’ruf,” kata Said Aqil. (Binti Mufarida)
Hal itu diungkapkan Ketum Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU) Anggia Ermarini dalam Konferensi Internasional Islam dan Kebebasan ke-7 di Hotel Double Tree, Cikini, Jakarta, kemarin. Konferensi ini mengusung tema “The Islamic Case for Religious Freedom”.
Konferensi terselenggara atas kerja sama PP Fatayat NU dengan The International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia dan The Religious Freedom Institute (RFI) Amerika Serikat. “Fatayat NU dalam usianya hampir 70 tahun telah mendorong kebebasan beragama melalui isu-isu perempuan. Kami bekerja sama sangat erat dengan perempuan lintas agama dan juga dengan minoritas, Ahmadiyah dan Syiah dalam isu kesehatan, keadilan gender, dan isu sosial lainnya,” ungkap Anggia.
Anggota DPR dari PKB ini mendukung isu kebebasan bergama. Menurut dia, kebebasan beragama dan berekspresi dalam beragama sudah diatur dalam UUD 1945 juga dalam Al Quran dan dalam nilai-nilai ke-NU-an, tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), ta’adul (berkeadilan).
“Gus Dur pernah berkata, yang terpenting dari politik adalah kemanusiaan. Dan Fatayat NU meyakini, kemanusiaanlah yang mendasari setiap gerakan Fatayat NU, termasuk dalam isu kebebasan beragama. Kita boleh berbeda pandangan dan bahkan bertentangan ideologi, tapi bukan berarti mengurangi rasa hormat sebagai manusia yang diciptakan oleh sang Maha Pencipta,” tandasnya.
Forum yang dihadiri tidak hanya para akademisi, juga praktisi dari seluruh dunia ini akan membahas isu-isu kebebasan beragama dari berbagai negara. “Kami berharap, kita bisa maksimal berdiskusi, belajar dari pengalaman para pakar dan praktisi dari seluruh penjuru dunia terkait praktik kebebasan beragam,” kata Anggia.
“Tidak ada istilah ‘umat Islam’ dalam Alquran. Yang ada adalah ummatan wasathon. Nabi SAW membangun Madinah juga bukan atas dasar agama ataupun etnis. Karena itu, sangat berbahaya orang yang membela Islam dengan cara yang salah. Bahkan lebih berbahaya daripada orang yang memusuhi Islam,” tandas KH Said Aqil.
Terkait Ahmadiyah, KH Said menekankan agar ada keterbukaan dari kalangan Ahmadiyah. “Kita bisa salat di masjid Ahmadiyah, begitu juga sebaliknya. Selama ini kita melihat Ahmadiyah masih tertutup. Saya tidak membahas teologi, tapi mari saling mu’asyaroh bil ma’ruf,” kata Said Aqil. (Binti Mufarida)
(nfl)