Politikus Golkar Divonis 6 Tahun Penjara dan Dicabut Hak Politik 5 Tahun

Senin, 11 November 2019 - 19:53 WIB
Politikus Golkar Divonis 6 Tahun Penjara dan Dicabut Hak Politik 5 Tahun
Politikus Golkar Divonis 6 Tahun Penjara dan Dicabut Hak Politik 5 Tahun
A A A
JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis enam tahun penajara terhadap mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Markus Nari. Hakim juga menjatuhkan hukuman pencabutan hak politik selama lima tahun.

Majelis hakim dipimpin Franki Tambuwun dengan anggota Emilia Djajasubagja, Rosmina, Anwar, dan Sukartono menilai, Markus Nari telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam dua delik.

Pertama, Markus Nari selaku anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 secara bersama-sama dengan sembilan orang dan melawan hukum telah memengaruhi proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional atau KTP elektronik (e-KTP) Tahun Anggaran 2011-2013 pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Perbuatan Nari bertujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam proyek e-KTP dengan anggaran lebih dari Rp5,9 triliun sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp2.314.904.234.275,39. Dalam proyek e-KTP, Nari telah memperkaya diri sebesar USD400.000.

Uang ini berasal dari terpidana Direktur Utama PT Quadra Solutions kurun 2012-2013 Anang Sugiana Sudihardjo melalui terpidana Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitmen dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri.

Kedua, Markus Nari selaku anggota Komisi II DPR periode 2014-2019 telah dengan sengaja mencegah atau merintangi secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi saat itu Miryam S Haryani dan terdakwa saat itu Sugiharto dalam perkara korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik tahun anggaran 2011-2012 pada Kemendagri atas nama dua terdakwa saat itu Irman dan Sugiharto.

Perbuatan Nari bertujuan agar mempengaruhi Miryam guna memberikan keterangan palsu serta memengaruhi Sugiharto agar tidak menyebutkan nama Nari sebagai pihak yang ikut diuntungkan atau menerima dana terkait proyek e-KTP.

Majelis hakim menilai perbuatan Nari telah terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan peryama untuk perkara korupsi. Serta telah melanggar Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor sebagaimana dalam dakwaan kedua alternatif pertama.

"Mengadili, memutuskan, menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa Markus Nari dengan pidana selama 6 tahun dan pidana denda selama Rp300 juta bila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 3 bulan," tutur Ketua Majelis Hakim Franki Tambuwun saat membacakan amar putusan atas nama Markus Nari, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (11/11/2019).

Hakim Franki membeberkan terhadap Nari maka majelis juga memutuskan menjatuhkan dua pidana tambahan. Pertama, membayar uang pengganti sebesar USD400.000. Dengan ketentuan bila tidak dibayar selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap Nari tidak dapat membayar, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti.

"Dalam hal terdakwa tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka terdakwa dipidana penjara selama dua tahun," bebernya.

Kedua, pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. Pencabutan tersebut didasarkan beberapa hal. Masing-masing karena saat melakukan perbuatan pidana Nari merupakan anggota DPR, perbuatannya telah menciderai kepercayaan masyarakat, tidak memberikan teladan yang baik, dan untuk melindungi masyarakat dari calon pejabat publik yang pernah dipidana akibat perkara korupsi.

"Mencabut hak terdakwa terdakwa menduduki jabatan publik terhitung lima tahun setelah terdakwa menjalani hukuman pidana pokok," tegas hakim Franki.

Anggota Majelis Hakim Emilia Djadjasubagdja memaparkan dalam persidangan terungkap bahwa terpidana keponakan Setya Novanto dan mantan wakil sekretaris jenderal Partai Golkar Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (selaku Direktur PT Murakabi Sejahtera dan Ketua Konsorsium Murakabi) pernah memberikan USD1 juta ke terdakwa Nari.

Menurut Irvanto, kata dia, dari uang tersebut sebesar USD500.000 untuk Nari dan sisanya untuk Melchias Markus Mekeng selaku Ketua Banggar DPR dari Fraksi Partai Golkar saat itu.

Berdasarkan kesaksian Irvanto, tutur hakim Emilia, penyerahan uang tersebut atas permintaan atau perintah dari terpidana Direktur Utama PT Cahaya Wijaya Kusuma yang juga Direktur PT Murakabi Sejahtera Andi Agustinus alias Andi Narogong alias Asiong. Meski begitu hakim Emilia menegaskan, majelis tidak sependapat karena Andi Narogong memastikan tidak pernah memerintahkan Irvanto untuk memberikan uang.

"Irvanto memberikan uang untuk terdakwa dan Melchias Markus Mekeng sebesar USD1 juta, dengan melihat Markus Nari dan tidak bicara dengan Mekeng. Dan Penuntutan Umum KPK tidak menjadikan Melchias Markus Mekeng menjadi saksi, maka demikian tidak dapat dikatakan Markus Nari menerima uang USD1 juta dari Irvanto," tegas hakim Emilia.

Anggota majelis hakim Anwar memastikan, dalam perbuatan menghalang-halangi proses penyidikan hingga persidangan terdakwa saat itu Irman dan Sugiharto maka sangat jelas perbuatan Markus Nari dibantu oleh beberapa orang.

Mereka di antaranya advokat Anton Taofik, advokat sekaligus founder Elza Syarief Law Office (ESL) Elza Syarief, terpidana pemberian keterangan palsu sekaligus mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, Suswanti selaku Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan advokat bernama Robinson.

Atas putusan majelis hakim, Markus Nari bersama tim penasihat hukumnya maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mengaku akan pikir-pikir selama tujuh hari apakah akan menerima atau mengajukan banding.

Di sisi lain, Markus Nari mengaku heran dengan putusan majelis hakim. Pasalnya dalam persidangan, Sugiharto menyebutkan bahwa uang yang Sugiharto serahkan dalam bentuk dollar Singapura. Nari kukuh memastikan tidak menerima uang dari Sugiharto.

"Saya merasa heran ketika Sugiharto menyerahkan uang ke saya, dibilang Singapura Dolar. Dan, saya tidak pernah melihat uang itu, saya tidak pernah melihat," ujar Nari.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8190 seconds (0.1#10.140)