KPCDI Sebut Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Bebani Masyarakat Bawah
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan sebesar 100% di tahun 2020 menuai tanggapan dari Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Keputusan ini dianggap membebani masyarakat kelas bawah yang justru memiliki daya beli rendah.
Ketua umum KPCDI, Tony Samosir dengan tegas menolak kebijakan itu. Pasalnya, besaran kenaikannya hampir mendekati asuransi komersial. "Sangat memberatkan khususnya kelompok masyarakat yang tergolong fakir miskin dan Orang Tidak Mampu tapi belum terdaftar sebagai peserta JKN PBI," tegas Tony di Jakarta, Ahad (03/11) malam.
Menurut Tony, sebagai besar pasien dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal sudah kehilangan pekerjaan karena dianggap tidak produktif. "Bahkan bekerja pun sudah terbatas karena terikat jadwal cuci darah dan kondisi kesehatan lainnya," ujarnya.
Tony bilang, pasien seperti ini tidak lagi memiliki penghasilan, bahkan jika berpenghasilan pun nilainya sangat rendah. Mereka ini masih menjadi peserta BPJS di kelas mandiri.
Menurutnya, bila kenaikan iuran menjadi 100%, maka akan memberatkan pengeluran mereka. Tony mengumpamakan, bila dalam satu keluarga ada 4 orang, dengan iuran baru mencapai angka 160 ribuan untuk kelas 3 (tiga), belum lagi kelas 1 (satu). "Angka Itu seperti kita membayar pajak mobil kelas premium dan sangat tidak masuk akal. Ini akan terjadi gelombang tunggakan pembayaran iuran BPJS Kesehatan ke depan," jelasnya.
Tony mengatakan para pasien yang tergabung di KPCDI saat ini sedang berupaya untuk turun kelas 3 dan mencoba keberuntungannya dengan mendaftar menjadi peserta PBI.
“Tak ada cara lain, kami harus turun kelas biar hidup bisa berkelanjutan, walau sulit mendaftar ke Jaminan PBI. Hidup bukan hanya untuk membayar BPJS, tapi ada keperluan dasar lainnya yang harus dipenuhi," katanya.
Menurut Tony, harusnya Pemerintah memperbaiki akar masalah dari BPJS Kesehatan, seperti bagaimana cara menagih tagihan bagi peserta yang menunggak iuran, perbaikan menajemen klaim bahkan mengevaluasi sistem rujukan yang justru dinilai merugikan.
"Karena kenaikan iuran bukan solusi mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Justru hanya membebani masyarakat. Khususnya pasien cuci darah yang biaya pengobatannya tak sepenuhnya dijamin oleh BPJS," ucap pasien cuci darah yang sudah transplantasi ginjal ini
Melihat kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang terus terpuruk, harusnya Negara yang paling banyak menganggung porsi untuk menutup defisit. "UUD Tahun 1945 menyatakan tegas akan konsep Sistem Jaminan Sosial, antitesa dari sistem kesehatan yang komersial. Tugas menyelenggarakan satu Sistem Jaminan Sosial ada pada Negara. TAP MPR RI No. X/MPR/2001 yang menugaskan kepada presiden RI untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.
"Salah satu asas gotong royong dalam BPJS Kesehatan mau dihilangkan oleh Pemerintah. Harusnya yang mampu Negara, dia yang paling banyak menanggung porsi keuangan BPJS Kesehatan. Bukan rakyat yang harus menanggung beban itu," kecamnya.
"Pemerintah Jokowi harus mendengar usulan Komisi IX DPR RI dan masyarakat luas yang menolak besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan," pungkasnya. *
Ketua umum KPCDI, Tony Samosir dengan tegas menolak kebijakan itu. Pasalnya, besaran kenaikannya hampir mendekati asuransi komersial. "Sangat memberatkan khususnya kelompok masyarakat yang tergolong fakir miskin dan Orang Tidak Mampu tapi belum terdaftar sebagai peserta JKN PBI," tegas Tony di Jakarta, Ahad (03/11) malam.
Menurut Tony, sebagai besar pasien dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal sudah kehilangan pekerjaan karena dianggap tidak produktif. "Bahkan bekerja pun sudah terbatas karena terikat jadwal cuci darah dan kondisi kesehatan lainnya," ujarnya.
Tony bilang, pasien seperti ini tidak lagi memiliki penghasilan, bahkan jika berpenghasilan pun nilainya sangat rendah. Mereka ini masih menjadi peserta BPJS di kelas mandiri.
Menurutnya, bila kenaikan iuran menjadi 100%, maka akan memberatkan pengeluran mereka. Tony mengumpamakan, bila dalam satu keluarga ada 4 orang, dengan iuran baru mencapai angka 160 ribuan untuk kelas 3 (tiga), belum lagi kelas 1 (satu). "Angka Itu seperti kita membayar pajak mobil kelas premium dan sangat tidak masuk akal. Ini akan terjadi gelombang tunggakan pembayaran iuran BPJS Kesehatan ke depan," jelasnya.
Tony mengatakan para pasien yang tergabung di KPCDI saat ini sedang berupaya untuk turun kelas 3 dan mencoba keberuntungannya dengan mendaftar menjadi peserta PBI.
“Tak ada cara lain, kami harus turun kelas biar hidup bisa berkelanjutan, walau sulit mendaftar ke Jaminan PBI. Hidup bukan hanya untuk membayar BPJS, tapi ada keperluan dasar lainnya yang harus dipenuhi," katanya.
Menurut Tony, harusnya Pemerintah memperbaiki akar masalah dari BPJS Kesehatan, seperti bagaimana cara menagih tagihan bagi peserta yang menunggak iuran, perbaikan menajemen klaim bahkan mengevaluasi sistem rujukan yang justru dinilai merugikan.
"Karena kenaikan iuran bukan solusi mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Justru hanya membebani masyarakat. Khususnya pasien cuci darah yang biaya pengobatannya tak sepenuhnya dijamin oleh BPJS," ucap pasien cuci darah yang sudah transplantasi ginjal ini
Melihat kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang terus terpuruk, harusnya Negara yang paling banyak menganggung porsi untuk menutup defisit. "UUD Tahun 1945 menyatakan tegas akan konsep Sistem Jaminan Sosial, antitesa dari sistem kesehatan yang komersial. Tugas menyelenggarakan satu Sistem Jaminan Sosial ada pada Negara. TAP MPR RI No. X/MPR/2001 yang menugaskan kepada presiden RI untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.
"Salah satu asas gotong royong dalam BPJS Kesehatan mau dihilangkan oleh Pemerintah. Harusnya yang mampu Negara, dia yang paling banyak menanggung porsi keuangan BPJS Kesehatan. Bukan rakyat yang harus menanggung beban itu," kecamnya.
"Pemerintah Jokowi harus mendengar usulan Komisi IX DPR RI dan masyarakat luas yang menolak besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan," pungkasnya. *
(nag)