Nadiem dan Pendidikan Antisipatoris
A
A
A
Rakhmat Hidayat
Sosiolog UNJ, Postdoctoral Fellow di University Tampere, Finland
NADIEM Makarim resmi dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Pengangkatan ini mengejutkan berbagai kalangan karena sebelumnya Nadiem diprediksi mengisi jabatan Menteri Digital Ekonomi/Menteri Komunikasi dan Informatika. Terpilihnya Nadiem menjadi catatan baru dalam pentas pendidikan nasional sekaligus meruntuhkan berbagai kebiasaan-kebiasaan yang lama berkembang di kementerian ini sejak era Orde Baru hingga terakhir era Muhadjir Effendy.
Ada beberapa catatan penting di balik penunjukan Nadiem sebagai Mendikbud. Pertama , Nadiem mendekonstrusikan kemapanan dalam ranah pendidikan nasional. Dia menteri dalam usia yang sangat muda (35 tahun) dengan latar belakang anak muda/milenial, memiliki bisnis digital, bukan dari kalangan kampus/pendidikan dengan kualifikasi pendidikan master dari Harvard. Nadiem bukan seorang yang memiliki kualifikasi pendidikan doktor, apalagi profesor. Meskipun Nadiem tidak memiliki riwayat pengalaman birokrasi pendidikan, dia memiliki darah aktivis dan juga pengalaman birokrasi yang mumpuni dari ayah dan kakeknya. Ayahnya (Nono Anwar Makarim) adalah aktivis di era mudanya, aktivis hukum, dan pengacara berpengalaman.
Nadiem akan memimpin pejabat-pejabat struktural maupun kampus yang memiliki gelar doktor dan profesor dengan masa pengabdian puluhan tahun. Nadiem akan berdiri paling depan mengawal masa depan sekolah, kampus, dan lembaga-lembaga pendidikan sebagai pemegang otoritas tertinggi pendidikan di Republik ini. Di pundaknyalah legitimasi dan kekuasaan dimilikinya. Nadiem juga bukan dari perwakilan ormas Muhammadiyah yang selama ini diidentikkan sebagai "jatah"’ untuk Mendikbud seperti yang terjadi sebelumnya.
Kedua, sebagai implikasi poin pertama, Nadiem sebagai pendatang baru di "Senayan" akan menghadapi tantangan internal dan eksternal yang tidak mudah dilewati. Di internal, Nadiem akan berhadapan dengan kemapanan birokrasi yang sudah mengakar kuat puluhan tahun dalam konfigurasi pendidikan Indonesia. Nadiem akan menjumpai bagaimana pola, keajekan, dan birokrasi pendidikan yang sudah mengalami reproduksi secara evolutif dalam pentas pendidikan nasional. Dia bukan hanya menjumpai pejabat-pejabat karier yang sedang berkibar saat ini, tetapi lebih dari itu, dia akan merasakan langsung bagaimana birokrasi pendidikan dengan beragam kompleksitasnya dijalankan puluhan tahun.
Tantangan ini mengingatkan saya kepada metafora David versus Goliath. Dalam setiap momen kehidupan kita, akan selalu ada momen David versus Goliath, ketika sebuah entitas kecil menantang sebuah entitas lainnya yang jauh lebih besar dan kuat darinya. Nadiem akan menjadi David ketika menghadapi kemapanan birokrasi di pendidikan. Di eksternal, Nadiem akan menghadapi tekanan publik yang menilai kinerja dan kiprahnya. Hal ini dialami ketika Anies Baswedan dicopot sebagai Mendikbud. Anies yang digadang-gadang sebagai harapan baru dalam ranah pendidikan, umurnya juga tak lama karena negosiasi politik yang "mengorbankan" dirinya sebagai orang profesional.
Nasib Anies sangat mungkin dialami oleh Nadiem di tengah jalan. Tentu kita tak berharap hal tersebut akan terjadi.
Ketiga, pertanyaan yang harus diajukan adalah apa alasan Nadiem dipilih sebagai Mendikbud dalam komposisi kabinet Indonesia Maju. Inilah pertanyaan pemangku kepentingan pendidikan yang tak mudah dicari jawabannya. Kita hanya bisa menebak apa alasan Jokowi. Tetapi, yang menarik adalah pernyataan Nadiem setelah dilantik yang mengatakan dia lebih mengerti apa yang ada di masa depan. Dia mengaku bahwa dirinya berada dalam putaran bisnis/bidang di masa depan untuk menyesuaikan dengan segala perubahan yang ada di masyarakat. Dia merasa lebih bisa memproyeksikan masa depan dengan sentuhan teknologi digital yang dikemas ke dalam berbagai jasa bisnisnya.
Lebih lanjut, Nadiem mengatakan kekuatan dirinya terletak pada kapasitas teknologi yang mendukung bisnis masa depan tersebut. Dukungan teknologi itu, menurutnya, sangat mendukung seluruh proses pendidikan baik (pembelajaran maupun administrasi). Di bagian lainnya, Nadiem, mengaitkan pendidikan dengan link and match untuk menyongsong masa depan.
Pendidikan Antisipatoris
Saya menggarisbawahi dua hal penting dari pernyataan Nadiem sekaligus menarik untuk kita perbincangkan dalam diskursus pendidikan nasional. Pertama, platform masa depan. Kedua, dukungan teknologi. Masa depan adalah kata kunci dari sosok dan pemikiran Nadiem jika kita lihat kiprahnya dalam mengelola bisnis digitalnya yang dia tinggalkan setelah diminta secara resmi menjadi menteri. Nadiem meruntuhkan semua keajekan berpikir masyarakat yang ada. Dia mengemas ojek sebagai pilihan moda transportasi dengan kecanggihan teknologi digital yang dimiliki setiap orang. Lebih dari itu, dia keluar dari kungkungan manusia modern yang terjebak dalam pola konservatisme rasionalitas yang sangat dijunjung tinggi.
Dalam diskursus sosiologi, apa yang dilakukan Nadiem adalah transformasi dari apa yang disebut Herbert Marcuse (1964) sebagai technology society menuju - meminjam Vincent Mosco (2017) - digital society. Menurut Mosco dalam bukunya "Becoming Digital: Toward a Post-Internet Society", setiap orang menjadi apa yang disebutnya becoming digital. Melalui sentuhan tangannya, semua kebutuhan masyarakat bisa diselesaikan dengan genggaman digital di tangan individu.
Digital, teknologi, dan terobosan adalah senyawa dari pemikiran Nadiem. Di sisi lain, jika kita membincangkan teknologi (ataupun digital) dalam perspektif Nadiem, ini adalah platform penting lainnya yang harus dibaca sebagai proyeksi masa depan. Terlepas kita memperdebatkan konseptualisasi teknologi versus digital, tetapi inilah keniscayaan masa depan yang ada di depan mata. Nadiem membongkar hal ihwal urusan remeh temeh menjadi sesuatu yang bisa mengapitalisasi technological awareness atau digitally minded di kalangan generasi milenial. Berangkat dari dua konsep kunci Nadiem di atas, saya membawanya pada perspektif yang disebut pendidikan antisipatoris (anticipatory education). Perspektif ini membawa kita untuk membayangkan sekaligus mempersiapkan masa depan kita dengan segala risiko dan konsekuensi logisnya.
Dalam kerangka berpikir Nadiem, saya mencoba membacanya sebagai ikhtiar dia membawa pendidikan nasional ke panggung global dengan kompetensi SDM yang andal. Di sisi lain, dia juga beberapa kali menyebut link and match dalam mengembangkan SDM bidang pendidikan. Konsep link and match memang bukan hal baru dalam pendidikan nasional. Konsep dan kebijakan ini pernah menjadi mainstream dalam kepemimpinan Wardiman Djojonegoro sebagai Mendikbud era 1993-1998. Nadiem mengatakan bahwa kualitas SDM pendidikan Indonesia harus bisa berkiprah di panggung dunia/global. Panggung global adalah manifestasi masa depan yang harus diperjuangkan oleh siapa pun. Pada bagian ini, Nadiem dengan segala kiprah sebelumnya sudah melakukan interpretasi masa depan sebagaimana apa yang dilakukannya dengan mengelola bisnis digitalnya.
Risiko dan Tantangan
Nadiem akan diuji kemampuannya mengelola pendidikan dan kebudayaan dengan dua sisi yang bertolak belakang. Sisi pertama, wajah optimisme dengan berbagai terobosan yang sudah pernah dilakukannya mengelola bisnis digitalnya. Pada aras ini, ekspektasi publik berada di pundaknya. Sisi yang berbeda, melihatnya penuh skeptis dan pesimis dia bisa mengelola pendidikan dan kebudayaan dengan tingkat kompleksitasnya yang sangat tinggi. Pemikiran dari kelompok ini, kira-kira akan mengatakan, apakah bisa anak kemarin sore mengurusi ribuan orang guru, profesor, dosen di berbagai kampus? Ada juga kelompok apatis yang merasa siapa pun menterinya tidak berpengaruh terhadap posisi dan kedudukannya. Nadiem akan menghadapi tipologi kelompok ini. Apalagi, di bawah kepemimpinannya urusan pendidikan tinggi (dikti) akan kembali bergabung dengan Kemdikbud. Tentu saja memerlukan penataan kelembagaan dari dua kementerian yang digabung menjadi satu. Ada pihak-pihak yang akan merasakan kehilangan jabatannya karena restrukturisasi kelembagaan.
Agenda pertama Nadiem adalah menata ini agar lebih kompatibel dengan visi Jokowi dan platform dirinya sebagai Mendikbud. Nadiem harus berani keluar dari jebakan-jebakan rutinitas yang sudah puluhan tahun mengakar di kementeriannya. Dari mulai penentuan jabatan, program-program, hingga budaya organisasi yang sudah mengendap puluhan tahun. Di periode Anies Baswedan, misalnya, sudah bagus menunjuk Hilmar Farid sebagai Dirjen Kebudayaan yang bukan berasal dari pejabat karier kementerian. Hasilnya, ada warna baru dalam platform kebudayaan di bawah kepemimpinan Hilmar.
Cara Anies, saya kira, juga dilakukan Nadiem dengan menugaskan orang-orang baru yang visioner, segar, dan tidak terikat dengan birokrasi pendidikan untuk menempati jabatan-jabatan seperti dirjen. Hal ini bisa membuat lebih sejalan dengan pemikirannya. Hal yang kontraproduktif adalah dia masih dikelilingi orang-orang lama yang berpikirnya juga masih dalam kerangka menteri-menteri sebelumnya sehingga tak ada lagi istilah yang akrab didengar, siapa pun menterinya, yang penting dialah dirigennya. Inilah bahaya laten birokrasi yang mudah menyebar di kementerian. Nadiem sebagai pengambil kebijakan akan mengambil risiko yang harus dilakukannya.
Nadiem sebagai decision maker akan berinteraksi dengan stakeholder pendidikan kebudayaan dan dia harus mengambil risiko apa pun dari kebijakannya. Artinya, risiko yang diambilnya akan memberikan konsekuensi bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain secara lebih luas. Hari-hari ke depan, Nadiem selalu akan diwarnai dengan pilihan-pilihan risiko kebijakannya dengan berbagai konsekuensinya. Welcome to the club Mas Nadiem! Selamat bekerja Pak Menteri!
Sosiolog UNJ, Postdoctoral Fellow di University Tampere, Finland
NADIEM Makarim resmi dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Pengangkatan ini mengejutkan berbagai kalangan karena sebelumnya Nadiem diprediksi mengisi jabatan Menteri Digital Ekonomi/Menteri Komunikasi dan Informatika. Terpilihnya Nadiem menjadi catatan baru dalam pentas pendidikan nasional sekaligus meruntuhkan berbagai kebiasaan-kebiasaan yang lama berkembang di kementerian ini sejak era Orde Baru hingga terakhir era Muhadjir Effendy.
Ada beberapa catatan penting di balik penunjukan Nadiem sebagai Mendikbud. Pertama , Nadiem mendekonstrusikan kemapanan dalam ranah pendidikan nasional. Dia menteri dalam usia yang sangat muda (35 tahun) dengan latar belakang anak muda/milenial, memiliki bisnis digital, bukan dari kalangan kampus/pendidikan dengan kualifikasi pendidikan master dari Harvard. Nadiem bukan seorang yang memiliki kualifikasi pendidikan doktor, apalagi profesor. Meskipun Nadiem tidak memiliki riwayat pengalaman birokrasi pendidikan, dia memiliki darah aktivis dan juga pengalaman birokrasi yang mumpuni dari ayah dan kakeknya. Ayahnya (Nono Anwar Makarim) adalah aktivis di era mudanya, aktivis hukum, dan pengacara berpengalaman.
Nadiem akan memimpin pejabat-pejabat struktural maupun kampus yang memiliki gelar doktor dan profesor dengan masa pengabdian puluhan tahun. Nadiem akan berdiri paling depan mengawal masa depan sekolah, kampus, dan lembaga-lembaga pendidikan sebagai pemegang otoritas tertinggi pendidikan di Republik ini. Di pundaknyalah legitimasi dan kekuasaan dimilikinya. Nadiem juga bukan dari perwakilan ormas Muhammadiyah yang selama ini diidentikkan sebagai "jatah"’ untuk Mendikbud seperti yang terjadi sebelumnya.
Kedua, sebagai implikasi poin pertama, Nadiem sebagai pendatang baru di "Senayan" akan menghadapi tantangan internal dan eksternal yang tidak mudah dilewati. Di internal, Nadiem akan berhadapan dengan kemapanan birokrasi yang sudah mengakar kuat puluhan tahun dalam konfigurasi pendidikan Indonesia. Nadiem akan menjumpai bagaimana pola, keajekan, dan birokrasi pendidikan yang sudah mengalami reproduksi secara evolutif dalam pentas pendidikan nasional. Dia bukan hanya menjumpai pejabat-pejabat karier yang sedang berkibar saat ini, tetapi lebih dari itu, dia akan merasakan langsung bagaimana birokrasi pendidikan dengan beragam kompleksitasnya dijalankan puluhan tahun.
Tantangan ini mengingatkan saya kepada metafora David versus Goliath. Dalam setiap momen kehidupan kita, akan selalu ada momen David versus Goliath, ketika sebuah entitas kecil menantang sebuah entitas lainnya yang jauh lebih besar dan kuat darinya. Nadiem akan menjadi David ketika menghadapi kemapanan birokrasi di pendidikan. Di eksternal, Nadiem akan menghadapi tekanan publik yang menilai kinerja dan kiprahnya. Hal ini dialami ketika Anies Baswedan dicopot sebagai Mendikbud. Anies yang digadang-gadang sebagai harapan baru dalam ranah pendidikan, umurnya juga tak lama karena negosiasi politik yang "mengorbankan" dirinya sebagai orang profesional.
Nasib Anies sangat mungkin dialami oleh Nadiem di tengah jalan. Tentu kita tak berharap hal tersebut akan terjadi.
Ketiga, pertanyaan yang harus diajukan adalah apa alasan Nadiem dipilih sebagai Mendikbud dalam komposisi kabinet Indonesia Maju. Inilah pertanyaan pemangku kepentingan pendidikan yang tak mudah dicari jawabannya. Kita hanya bisa menebak apa alasan Jokowi. Tetapi, yang menarik adalah pernyataan Nadiem setelah dilantik yang mengatakan dia lebih mengerti apa yang ada di masa depan. Dia mengaku bahwa dirinya berada dalam putaran bisnis/bidang di masa depan untuk menyesuaikan dengan segala perubahan yang ada di masyarakat. Dia merasa lebih bisa memproyeksikan masa depan dengan sentuhan teknologi digital yang dikemas ke dalam berbagai jasa bisnisnya.
Lebih lanjut, Nadiem mengatakan kekuatan dirinya terletak pada kapasitas teknologi yang mendukung bisnis masa depan tersebut. Dukungan teknologi itu, menurutnya, sangat mendukung seluruh proses pendidikan baik (pembelajaran maupun administrasi). Di bagian lainnya, Nadiem, mengaitkan pendidikan dengan link and match untuk menyongsong masa depan.
Pendidikan Antisipatoris
Saya menggarisbawahi dua hal penting dari pernyataan Nadiem sekaligus menarik untuk kita perbincangkan dalam diskursus pendidikan nasional. Pertama, platform masa depan. Kedua, dukungan teknologi. Masa depan adalah kata kunci dari sosok dan pemikiran Nadiem jika kita lihat kiprahnya dalam mengelola bisnis digitalnya yang dia tinggalkan setelah diminta secara resmi menjadi menteri. Nadiem meruntuhkan semua keajekan berpikir masyarakat yang ada. Dia mengemas ojek sebagai pilihan moda transportasi dengan kecanggihan teknologi digital yang dimiliki setiap orang. Lebih dari itu, dia keluar dari kungkungan manusia modern yang terjebak dalam pola konservatisme rasionalitas yang sangat dijunjung tinggi.
Dalam diskursus sosiologi, apa yang dilakukan Nadiem adalah transformasi dari apa yang disebut Herbert Marcuse (1964) sebagai technology society menuju - meminjam Vincent Mosco (2017) - digital society. Menurut Mosco dalam bukunya "Becoming Digital: Toward a Post-Internet Society", setiap orang menjadi apa yang disebutnya becoming digital. Melalui sentuhan tangannya, semua kebutuhan masyarakat bisa diselesaikan dengan genggaman digital di tangan individu.
Digital, teknologi, dan terobosan adalah senyawa dari pemikiran Nadiem. Di sisi lain, jika kita membincangkan teknologi (ataupun digital) dalam perspektif Nadiem, ini adalah platform penting lainnya yang harus dibaca sebagai proyeksi masa depan. Terlepas kita memperdebatkan konseptualisasi teknologi versus digital, tetapi inilah keniscayaan masa depan yang ada di depan mata. Nadiem membongkar hal ihwal urusan remeh temeh menjadi sesuatu yang bisa mengapitalisasi technological awareness atau digitally minded di kalangan generasi milenial. Berangkat dari dua konsep kunci Nadiem di atas, saya membawanya pada perspektif yang disebut pendidikan antisipatoris (anticipatory education). Perspektif ini membawa kita untuk membayangkan sekaligus mempersiapkan masa depan kita dengan segala risiko dan konsekuensi logisnya.
Dalam kerangka berpikir Nadiem, saya mencoba membacanya sebagai ikhtiar dia membawa pendidikan nasional ke panggung global dengan kompetensi SDM yang andal. Di sisi lain, dia juga beberapa kali menyebut link and match dalam mengembangkan SDM bidang pendidikan. Konsep link and match memang bukan hal baru dalam pendidikan nasional. Konsep dan kebijakan ini pernah menjadi mainstream dalam kepemimpinan Wardiman Djojonegoro sebagai Mendikbud era 1993-1998. Nadiem mengatakan bahwa kualitas SDM pendidikan Indonesia harus bisa berkiprah di panggung dunia/global. Panggung global adalah manifestasi masa depan yang harus diperjuangkan oleh siapa pun. Pada bagian ini, Nadiem dengan segala kiprah sebelumnya sudah melakukan interpretasi masa depan sebagaimana apa yang dilakukannya dengan mengelola bisnis digitalnya.
Risiko dan Tantangan
Nadiem akan diuji kemampuannya mengelola pendidikan dan kebudayaan dengan dua sisi yang bertolak belakang. Sisi pertama, wajah optimisme dengan berbagai terobosan yang sudah pernah dilakukannya mengelola bisnis digitalnya. Pada aras ini, ekspektasi publik berada di pundaknya. Sisi yang berbeda, melihatnya penuh skeptis dan pesimis dia bisa mengelola pendidikan dan kebudayaan dengan tingkat kompleksitasnya yang sangat tinggi. Pemikiran dari kelompok ini, kira-kira akan mengatakan, apakah bisa anak kemarin sore mengurusi ribuan orang guru, profesor, dosen di berbagai kampus? Ada juga kelompok apatis yang merasa siapa pun menterinya tidak berpengaruh terhadap posisi dan kedudukannya. Nadiem akan menghadapi tipologi kelompok ini. Apalagi, di bawah kepemimpinannya urusan pendidikan tinggi (dikti) akan kembali bergabung dengan Kemdikbud. Tentu saja memerlukan penataan kelembagaan dari dua kementerian yang digabung menjadi satu. Ada pihak-pihak yang akan merasakan kehilangan jabatannya karena restrukturisasi kelembagaan.
Agenda pertama Nadiem adalah menata ini agar lebih kompatibel dengan visi Jokowi dan platform dirinya sebagai Mendikbud. Nadiem harus berani keluar dari jebakan-jebakan rutinitas yang sudah puluhan tahun mengakar di kementeriannya. Dari mulai penentuan jabatan, program-program, hingga budaya organisasi yang sudah mengendap puluhan tahun. Di periode Anies Baswedan, misalnya, sudah bagus menunjuk Hilmar Farid sebagai Dirjen Kebudayaan yang bukan berasal dari pejabat karier kementerian. Hasilnya, ada warna baru dalam platform kebudayaan di bawah kepemimpinan Hilmar.
Cara Anies, saya kira, juga dilakukan Nadiem dengan menugaskan orang-orang baru yang visioner, segar, dan tidak terikat dengan birokrasi pendidikan untuk menempati jabatan-jabatan seperti dirjen. Hal ini bisa membuat lebih sejalan dengan pemikirannya. Hal yang kontraproduktif adalah dia masih dikelilingi orang-orang lama yang berpikirnya juga masih dalam kerangka menteri-menteri sebelumnya sehingga tak ada lagi istilah yang akrab didengar, siapa pun menterinya, yang penting dialah dirigennya. Inilah bahaya laten birokrasi yang mudah menyebar di kementerian. Nadiem sebagai pengambil kebijakan akan mengambil risiko yang harus dilakukannya.
Nadiem sebagai decision maker akan berinteraksi dengan stakeholder pendidikan kebudayaan dan dia harus mengambil risiko apa pun dari kebijakannya. Artinya, risiko yang diambilnya akan memberikan konsekuensi bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain secara lebih luas. Hari-hari ke depan, Nadiem selalu akan diwarnai dengan pilihan-pilihan risiko kebijakannya dengan berbagai konsekuensinya. Welcome to the club Mas Nadiem! Selamat bekerja Pak Menteri!
(shf)