Radikalisme Masih Menjadi Ancaman Nyata di Indonesia

Jum'at, 25 Oktober 2019 - 22:11 WIB
Radikalisme Masih Menjadi...
Radikalisme Masih Menjadi Ancaman Nyata di Indonesia
A A A
JAKARTA - Paham radikalisme merupakan ancaman nyata yang hingga kini masih menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat ini, ada sekitar 39% mahasiswa dan pelajar yang sudah terpapar radikalisme. Bahkan, ada sekitar 3% prajurit TNI aktif yang juga sudah terpapar.

Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Jaleswari Pramodhawardani mengakui persoalan radikalisme di Indonesia sudah mulai meningkat sejak 10 tahun lalu. Tidak hanya di institusi pemerintah, kelompok masyarakat yang sudah terpapar juga ada yang dari institusi non pemerintah.

"Sepuluh tahun tahun terakhir ini mengkonfirmasi, radikalisme tidak hanya muncul di institusi pemerintah. Namun juga di institusi masyarakat, termasuk di bidang pendidikan. Semua membuktikan ancaman radikalisme ini nyata," kata Jaleswari Pramodhawardhani, dalam seminar menuju kongres 2 NasDem menggelar diskusi tematik dengan tema Menangkal Radikalisme, Menjaga Indonesia" yang digagas Partai Nasdem di Jakarta, Jumat (25/10/2019).

Menurutnya, selama 10 tahun terakhir ini alarm adanya gerakan radikalisme di Indonesia sesungguhnya sudah berbunyi. Termasuk ketika Indonesia tengah melakukan pesta demokrasi lima tahunan. Termasuk saat begitu terasa menurunnya kualitas toleransi di Indonesia.

Karena itulah, di dalam periode kedua pemerintahan Joko Widodo akan memprioritaskan pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berlandaskan Pancasila. Semua dilakukan agar muncul penguatan Pancasila di tengah masyarakat.

"Soal radikalisme kita tahu bahwa alarm kita sudah berbunyi. Saat ini pun pembangunan Jokowi 5 tahun kedepan adalah SDM yang berlandaskan Pancasila," jelasnya.

Mantan Asops Panglima TNI, Mayor Jenderal (Purn) Supiadin Aries Saputra menjelaskan gerakan radikalisme sudah ada sejak lama di Indonesia. Dirinya pun mencontohkan bagaimana ketika ada pemberontakan DI TII maupun NII pada masa awal kemerdekaan.

"Tadinya gerakan radikalisme adalah gerakan tradisional. Namun dengan berkembangnya media sosial, maka gerakan radikal juga ikut berkembang," kata Anggota DPR RI Periode 2014-2019 itu.

Menurutnya, sampai dengan saat ini ada sekitar 120 juta pengguna sosial di Indonesia. Dari jumlah itu, sebagian besar atau mayoritas datang dari kaum milenial.

"Media sosial menjadi media untuk kelompok radikal untuk menghancurkan moral generasi milenial. Kita kenal dengan asimetrik warfare, perang anomali, ujung tombaknya proxy war, yakni perang yang tidak menggunakan angkatan perang," ucapnya.

Dirinya mengingatkan, yang paling mungkin menghancurkan bangsa Indonesia justru adalah bangsanya sendiri. Kalau dilihat dari indeks pengukuran ketahanan nasional laboratorium Lembaga Ketahanan Nasional diketahui, di bidang ideologi dan sosial budaya nilai atau indeks berada di posisi 2 atau tidak tangguh.

"Yang nilainya tidak tangguh yakni indeks 2 adalah di bidang ideologi. Di bidang sosial budaya juga rendah. Tingkat pendidikan rendah dan ini yang menyebabkan mudahnya penyebaran informasi menyesatkan di Medsos," paparnya.

Ke depan, sedikitnya ada dua hal yang secara konseptual bisa dilakukan. Pertama melalui kontra radikalisme dan kedua melalui deradikalisasi. Deradikalisasi adalah konsep yang diperuntukkan bagi mereka yang sudah terpapar. Di sisi lain, kontra radikalisasi bisa dimaksimalkan bagi mereka yang belum terpapar.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1097 seconds (0.1#10.140)