Perkuat Pengawasan Diyakini Ciptakan Pemerintahan Bersih
A
A
A
Pelaksanaan pemerintahan dan penyelenggaraan negara sangat menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum guna mewujudkan penyelengara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Hal ini merupakan amanah dari Undang-Undang (UU) Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan dan penyelenggaraan negara oleh setiap periode pemerintahan, masih dan selalu terjadi tindakan koruptif para pejabat negara. Para pelaku yang diseret oleh penegak hukum ke pengadilan berasal dari berbagai tingkatan mulai dari pusat hingga daerah.
Jabatan mencakup ketua DPR, anggota DPR, menteri, kepala lembaga, inspektur jenderal kementerian, pejabat-pejabat kementerian dan lembaga, kepala daerah, para pejabat daerah, pengusaha, hingga aparat penegak hukum dan penegak pengadilan. Karenanya, penegakan hukum pada jalur pemberantasan korupsi harus tetap dilakukan.
Upaya pemberantasan korupsi tersebut mencakup di dalamnya pencegahan korupsi guna terciptanya sistem dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Pengawasan internal yang independen dan konsisten menjadi salah satu kunci utama penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, KPK sejak beberapa tahun belakangan telah mengingatkan kepada pemerintah tentang belum efektifnya pengawasan internal yang dilakukan oleh aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) hingga level inspektorat jenderal di kementerian lembaga.
Jika pengawasan internal masih seperti hari ini dan inspektur jenderal diangkat oleh menteri, pasti inspektur jenderal tersebut tidak akan berani melakukan chek and balances terhadap menteri.
“Selama ini kan yang milih dan angkat inspektur jenderal dari menteri, melapornya ke menteri. Khusus di pusat mestinya tidak begitu. Melapornya langsung ke presiden. Mungkin itu bisa dikoordinasikan laporannya oleh BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan),” ungkap Agus.
Mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) ini mengatakan, untuk APIP dan inspektorat di level pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota sebenarnya sudah ada beberapa kali pertemuan antara KPK dengan pemerintah pusat.
Pemerintah pusat diwakili oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB). Pemerintah pusat pun setuju mengubah peraturan pemerintah yang berisi tentang inspektorat di level pemerintah daerah.
Dalam PP sebelumnya inspektorat kabupaten/kota dipilih dan diangkat oleh bupati/wali kota kemudian diubah dalam rancangan PP baru menjadi dipilih dan diangkat oleh gubernur. Untuk inspektorat provinsi dalam PP sebelumnya dipilih dan diangkat oleh gubernur dan diubah menjadi dipilih dan diangkat oleh menteri.
“Untuk yang daerah bahkan sudah final, sudah ada rancangan peraturan pemerintah yang disiapkan. Tapi saya nggak tahu kok kenapa sampai sekarang PP-nya nggak keluar. Waktu itu Menpan-RB pernah menyampaikan ke saya, awal 2019 akan keluar PP mengenai itu. Tapi saya tidak tahu berhentinya di mana dan kenapa PP mengenai pengawasan internal itu belum berubah,” ujarnya.
Aturan itu sebelumnya adalah PP Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Menurut Agus, PP yang lama sangat berimbas bagi lemahnya kontrol dari APIP atau inspektorat terhadap jalannya penyelengaraan pemerintahan di level pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dia mencontohkan, untuk level kabupaten/kota sering kali inspektorat kabupaten/kota tidak berani mengawasi bupati/wali kota. Demikian juga untuk level provinsi. Dengan perubahan yang sangat signifikan terhadap posisi inspektorat atau APIP, maka penyelenggaraan pemerintahan yang bersih bisa terlaksana dengan baik.
“Jadi supaya chek and balances benar-benar terjadi. Nah itu semua kaitannya kenapa masih terjadi kasus-kasus (korupsi) yang berjalan. Memang sampai saat ini inspektorat sampai level kementerian nggak berdaya, maka salah satu saran KPK adalah perubahan PP,” tandasnya.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan, peran APIP termasuk inspektorat jenderal dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dari sisi pencegahan korupsi sejauh ini masih sangat minim.
Padahal, jika APIP, inspektorat, atau inspektorat jenderal menjalankan tugas dan fungsinya secara baik dan independen, maka upaya mengontrol pelaksanaan pemerintahan di level pemerintah daerah hingga pemerintah pusat pasti akan maksimal.
Mantan hakim adhoc Pengadilan Tipikor Jakarta ini mengungkapkan, selama ini sebenarnya peran aparat pengawasan internal dalam mengungkap kasus kecurangan atau bahkan korupsi tidak signifikan. Jika dipersentasekan, mungkin tidak lebih dari 10% kasus yang berhasil diungkap oleh APIP.
Berdasarkan temuan KPK, berbagai kasus korupsi yang ditangani KPK, Kejaksaan, maupun Polri lebih banyak terungkap karena dan dari laporan masyarakat. Selain itu, kasus dugaan korupsi di level pemerintah pusat maupun daerah bisa terungkap dari laporan orang-orang yang mengetahui atau terlibat dalam proses kegiatan.
“Jadi, itu terungkap lewat whistleblower system. Nah, yang kami dorong di setiap kementerian dan lembaga bahkan pemerintah daerah agar membuat iklim yang membuat pegawai, staf berani mengungkap adanya kecurangan dan itu harus dilindungi,” tandasnya.
Saat itu, lanjut Alexander, kondisinya adalah ada banyak staf atau pegawai pemerintah yang mengetahui kecurangan tetapi tidak berani melaporkan karena khawatir keselamatan mereka. Ketika laporan tersebut dilayangkan dan identitas pelapor diketahui, maka kemungkinan akan dimutasi atau dimusuhi di lingkungan tempat bekerja.
Akibatnya, dengan tidak adanya laporan tersebut, maka menciptakan iklim pemerintahan yang tidak sehat. “Jadi, di setiap kementerian, lembaga maupun sampai pemerintah daerah itu menciptakan sistem agar setiap pegawai itu berani mau menyampaikan ketidakbenaran secara terbuka melalui whistleblower system. Dan hak-hak pelapor itu harus dijamin dan dilindungi,” ujarnya.
Alexander menilai, aspek lain yang berhubungan erat dengan pelaksanaan pemerintahan yang bersih adalah terkait dengan penghasilan pegawai. Dalam pengadaan barang dan jasa atau pelayanan publik atau perizinan, ketimpangan dan minimnya penghasilan atau gaji mendorong pegawai pemerintah berbuat curang.
Dia mencontohkan, pernah mengisi materi pencegahan korupsi dalam rapat pimpinan (rapim) Kementerian PUPR. Rapim ini diikuti oleh menteri dan para dirjen. Ternyata, gaji dirjen sangat sedikit dan jauh perbedaannya dibandingkan dengan gaji kepala dinas di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Padahal, dirjen di level Kementerian PUPR memiliki tanggung jawab yang demikian besar. “Hal ini juga mestinya menjadi perhatian serius bagi pimpinan kementerian dan lembaga, bahkan pimpinan tertinggi pemerintahan agar hal ini bisa segera diperbaiki,” tandasnya.
Dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan dan penyelenggaraan negara oleh setiap periode pemerintahan, masih dan selalu terjadi tindakan koruptif para pejabat negara. Para pelaku yang diseret oleh penegak hukum ke pengadilan berasal dari berbagai tingkatan mulai dari pusat hingga daerah.
Jabatan mencakup ketua DPR, anggota DPR, menteri, kepala lembaga, inspektur jenderal kementerian, pejabat-pejabat kementerian dan lembaga, kepala daerah, para pejabat daerah, pengusaha, hingga aparat penegak hukum dan penegak pengadilan. Karenanya, penegakan hukum pada jalur pemberantasan korupsi harus tetap dilakukan.
Upaya pemberantasan korupsi tersebut mencakup di dalamnya pencegahan korupsi guna terciptanya sistem dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Pengawasan internal yang independen dan konsisten menjadi salah satu kunci utama penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, KPK sejak beberapa tahun belakangan telah mengingatkan kepada pemerintah tentang belum efektifnya pengawasan internal yang dilakukan oleh aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) hingga level inspektorat jenderal di kementerian lembaga.
Jika pengawasan internal masih seperti hari ini dan inspektur jenderal diangkat oleh menteri, pasti inspektur jenderal tersebut tidak akan berani melakukan chek and balances terhadap menteri.
“Selama ini kan yang milih dan angkat inspektur jenderal dari menteri, melapornya ke menteri. Khusus di pusat mestinya tidak begitu. Melapornya langsung ke presiden. Mungkin itu bisa dikoordinasikan laporannya oleh BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan),” ungkap Agus.
Mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) ini mengatakan, untuk APIP dan inspektorat di level pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota sebenarnya sudah ada beberapa kali pertemuan antara KPK dengan pemerintah pusat.
Pemerintah pusat diwakili oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB). Pemerintah pusat pun setuju mengubah peraturan pemerintah yang berisi tentang inspektorat di level pemerintah daerah.
Dalam PP sebelumnya inspektorat kabupaten/kota dipilih dan diangkat oleh bupati/wali kota kemudian diubah dalam rancangan PP baru menjadi dipilih dan diangkat oleh gubernur. Untuk inspektorat provinsi dalam PP sebelumnya dipilih dan diangkat oleh gubernur dan diubah menjadi dipilih dan diangkat oleh menteri.
“Untuk yang daerah bahkan sudah final, sudah ada rancangan peraturan pemerintah yang disiapkan. Tapi saya nggak tahu kok kenapa sampai sekarang PP-nya nggak keluar. Waktu itu Menpan-RB pernah menyampaikan ke saya, awal 2019 akan keluar PP mengenai itu. Tapi saya tidak tahu berhentinya di mana dan kenapa PP mengenai pengawasan internal itu belum berubah,” ujarnya.
Aturan itu sebelumnya adalah PP Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Menurut Agus, PP yang lama sangat berimbas bagi lemahnya kontrol dari APIP atau inspektorat terhadap jalannya penyelengaraan pemerintahan di level pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dia mencontohkan, untuk level kabupaten/kota sering kali inspektorat kabupaten/kota tidak berani mengawasi bupati/wali kota. Demikian juga untuk level provinsi. Dengan perubahan yang sangat signifikan terhadap posisi inspektorat atau APIP, maka penyelenggaraan pemerintahan yang bersih bisa terlaksana dengan baik.
“Jadi supaya chek and balances benar-benar terjadi. Nah itu semua kaitannya kenapa masih terjadi kasus-kasus (korupsi) yang berjalan. Memang sampai saat ini inspektorat sampai level kementerian nggak berdaya, maka salah satu saran KPK adalah perubahan PP,” tandasnya.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan, peran APIP termasuk inspektorat jenderal dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dari sisi pencegahan korupsi sejauh ini masih sangat minim.
Padahal, jika APIP, inspektorat, atau inspektorat jenderal menjalankan tugas dan fungsinya secara baik dan independen, maka upaya mengontrol pelaksanaan pemerintahan di level pemerintah daerah hingga pemerintah pusat pasti akan maksimal.
Mantan hakim adhoc Pengadilan Tipikor Jakarta ini mengungkapkan, selama ini sebenarnya peran aparat pengawasan internal dalam mengungkap kasus kecurangan atau bahkan korupsi tidak signifikan. Jika dipersentasekan, mungkin tidak lebih dari 10% kasus yang berhasil diungkap oleh APIP.
Berdasarkan temuan KPK, berbagai kasus korupsi yang ditangani KPK, Kejaksaan, maupun Polri lebih banyak terungkap karena dan dari laporan masyarakat. Selain itu, kasus dugaan korupsi di level pemerintah pusat maupun daerah bisa terungkap dari laporan orang-orang yang mengetahui atau terlibat dalam proses kegiatan.
“Jadi, itu terungkap lewat whistleblower system. Nah, yang kami dorong di setiap kementerian dan lembaga bahkan pemerintah daerah agar membuat iklim yang membuat pegawai, staf berani mengungkap adanya kecurangan dan itu harus dilindungi,” tandasnya.
Saat itu, lanjut Alexander, kondisinya adalah ada banyak staf atau pegawai pemerintah yang mengetahui kecurangan tetapi tidak berani melaporkan karena khawatir keselamatan mereka. Ketika laporan tersebut dilayangkan dan identitas pelapor diketahui, maka kemungkinan akan dimutasi atau dimusuhi di lingkungan tempat bekerja.
Akibatnya, dengan tidak adanya laporan tersebut, maka menciptakan iklim pemerintahan yang tidak sehat. “Jadi, di setiap kementerian, lembaga maupun sampai pemerintah daerah itu menciptakan sistem agar setiap pegawai itu berani mau menyampaikan ketidakbenaran secara terbuka melalui whistleblower system. Dan hak-hak pelapor itu harus dijamin dan dilindungi,” ujarnya.
Alexander menilai, aspek lain yang berhubungan erat dengan pelaksanaan pemerintahan yang bersih adalah terkait dengan penghasilan pegawai. Dalam pengadaan barang dan jasa atau pelayanan publik atau perizinan, ketimpangan dan minimnya penghasilan atau gaji mendorong pegawai pemerintah berbuat curang.
Dia mencontohkan, pernah mengisi materi pencegahan korupsi dalam rapat pimpinan (rapim) Kementerian PUPR. Rapim ini diikuti oleh menteri dan para dirjen. Ternyata, gaji dirjen sangat sedikit dan jauh perbedaannya dibandingkan dengan gaji kepala dinas di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Padahal, dirjen di level Kementerian PUPR memiliki tanggung jawab yang demikian besar. “Hal ini juga mestinya menjadi perhatian serius bagi pimpinan kementerian dan lembaga, bahkan pimpinan tertinggi pemerintahan agar hal ini bisa segera diperbaiki,” tandasnya.
(don)