Stabilitas Keamanan Kunci Kelanjutan Pemerintahan
A
A
A
Periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera berakhir. Rencana strategis pembangunan jangka pendek dan jangka panjang sudah dilaksanakan. Pembangunan diklaim berjalan dengan baik, ditandai angka pertumbuhan ekonomi yang masih stabil di tengah kondisi dunia yang tidak bersahabat, tetapi mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional dengan indeks lima koma sekian.
Kondisi tersebut juga tidak terlepas dari stabilitas keamanan nasional termasuk politik, sosial, dan hukum. Artinya, tidak mungkin pembangunan bisa berjalan sementara stabilitas keamanan kacau balau. Salah satu contohnya kasus Papua. Dampak dari kerusuhan tersebut menggoyang iklim investasi sehingga perspektif investor terhadap keamanan menjadi negatif.
Terlebih, Papua merupakan ikon investasi tambang Indonesia.
“Papua akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Kalau berkepanjangan, biasanya dia punya impact ke persepsi investor,” kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto.
Menurut dia, sekarang saja kondisi investasi di Pulau Mutiara Hitam tersebut sedang dalam kondisi kurang baik. Isu kerusuhan tentu akan semakin memperparah kondisi tersebut. “Pertumbuhannya sangat rendah karena investasi tambang di sana sedang tidak bagus,” ujarnya.
Eko mengungkapkan, kontribusi Papua terhadap ekonomi RI secara keseluruhan memang tidak terlalu besar. Namun, dia mengaku tidak mengetahui persis angkanya berada di kisaran berapa. “Kalau nilai secara total masih kecil cuma saya tidak tahu kalau kontribusi Freeport dari pajaknya cukup besar ya, tapi saya tidak tahu angkanya. Tapi secara makro Papua masih kecil, mungkin kurang dari 5%,” ungkapnya.
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol M Iqbal mengatakan, Polri telah menjalankan tugas, pokok, dan fungsinya (tupoksi) sesuai dengan kehendak rakyat dan kepentingan bangsa. Tugas pokok fungsi itu adalah melayani, melindungi, mengayomi, dan menjamin keamanan masyarakat.
Iqbal menjelaskan beberapa bukti yang menunjukkan Polri telah bekerja sesuai dengan tugasnya. Dia mencontohkan bagaimana keberhasilan Polri ikut menyuksesan pelaksanaan Asian Games 2018, Asian Para Games, hingga IMF World Bank Annual Meeting di Bali.
“Pada 2018, alhamdulillah aman, even-even besar seperti Asian Games, Asian Para Games, IMF World Bank, alhamdulillah kita aman. Termasuk melakukan pemberantasan terorisme dan gangguan sosial yang belakangan ini sering muncul. Itu artinya kita setia kepada negara dan banyak lagi even yang sudah kita lakukan. Itu adalah bukti bahwa kami mendahulukan kepentingan bangsa, rakyat, dan negara,” tandasnya.
Mantan Wakapolda Jawa Timur ini mengakui isu terorisme dan gangguan sosial berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi termasuk iklim investasi. Polri, kata dia, tetap berusaha semaksimal mungkin mengatasi semua itu dengan cara-cara refresif tapi juga tegas.
“Dalam berusaha menyelesaikan masalah dengan mengedepankan dialog. Contoh kasus di Papua. Itu yang kami utamakan sebelum melakukan tindakan berikutnya,” ungkapnya. Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran Muradi mengatakan, pertahanan dan keamanan negara tidak bisa dipisahkan dari konteks kesejahteraan.
Artinya, berbicara keamanan, maka negara harus hadir memberikan rasa aman dari segala bentuk gangguan. “Ini yang harus dipahami pemerintah mendatang dalam konteks membangun pertahanan keamanan negara,” ujar Muradi.
Menurut dia, salah satu tugas negara adalah menjamin kedaulatan, keutuhan negara, dan keselamatan bangsa. Di dalamnya adalah menjamin masyarakat Indonesia merasa aman dan tidak ada rasa was-was. Perkembangan ekonomi yang pesat pasti akan memikirkan pertahanan militer yang kuat. Ketika militer negara kuat, maka akan ada jaminan bahwa ekonomi di daerah tersebut kuat.
“Kita bisa lihat dalam konteks diplomasi, kita sebagai negara akan banyak bergaul dengan negara lain yang punya kepentingan sama. Di situ akan timbul kompetisi apakah secara ekonomi, politik, hingga militer. Sehingga, pertumbuhan ekonomi suatu negara harus dibarengi dengan kekuatan militer. Ini konteks yang harus seiring. Keamanan kita harus stabil,” tandasnya.
Direktur Deteksi Ancaman Siber Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Sulistyo mengatakan, isu keamanan siber di Indonesia masih perlu menjadi perhatian pemerintahan baru Jokowi-Ma’ruf dalam lima tahun mendatang. Pihaknya mencatat sepanjang 2018 Indonesia mendapat 229,4 juta serangan siber.
“Data tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Nah dari statistik serangan yang terus meningkat diperlukan juga kemampuan internal Indonesia untuk menghadapi serangan itu,” ungkapnya. Sulistyo mengungkapkan, ancaman siber merupakan ancaman nyata dan yang paling dekat dengan masyarakat.
Apalagi, sekarang ini masyarakat dunia hidup di era internet dan semuanya sudah terkoneksi. “Kita ada di dimensi hyper connectivity, semua sudah memegang gadged. Kemungkinan gadged itu akan disusupi oleh malware yang bisa menguasasi informasi atau data di dalamnya dalam konteks teknologi,” paparnya.
Sulistyo berharap, pemerintahan baru mendatang harus berkolaborasi untuk mengatur ruang siber. Harus ada stakeholder lain di luar pemerintahan, misalnya koorporasi yang menguasai insfrastruktur siber.
Bahkan yang paling penting adalah bicara ruang siber, maka bicara bahwa batasnya ruang siber ini di mana. “Kita bisa melihat bahwa pihak swasta menjadi penting sehingga perlu perhatian pemerintah sehingga bisa berkolaborasi,” ujarnya.
Kondisi tersebut juga tidak terlepas dari stabilitas keamanan nasional termasuk politik, sosial, dan hukum. Artinya, tidak mungkin pembangunan bisa berjalan sementara stabilitas keamanan kacau balau. Salah satu contohnya kasus Papua. Dampak dari kerusuhan tersebut menggoyang iklim investasi sehingga perspektif investor terhadap keamanan menjadi negatif.
Terlebih, Papua merupakan ikon investasi tambang Indonesia.
“Papua akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Kalau berkepanjangan, biasanya dia punya impact ke persepsi investor,” kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto.
Menurut dia, sekarang saja kondisi investasi di Pulau Mutiara Hitam tersebut sedang dalam kondisi kurang baik. Isu kerusuhan tentu akan semakin memperparah kondisi tersebut. “Pertumbuhannya sangat rendah karena investasi tambang di sana sedang tidak bagus,” ujarnya.
Eko mengungkapkan, kontribusi Papua terhadap ekonomi RI secara keseluruhan memang tidak terlalu besar. Namun, dia mengaku tidak mengetahui persis angkanya berada di kisaran berapa. “Kalau nilai secara total masih kecil cuma saya tidak tahu kalau kontribusi Freeport dari pajaknya cukup besar ya, tapi saya tidak tahu angkanya. Tapi secara makro Papua masih kecil, mungkin kurang dari 5%,” ungkapnya.
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol M Iqbal mengatakan, Polri telah menjalankan tugas, pokok, dan fungsinya (tupoksi) sesuai dengan kehendak rakyat dan kepentingan bangsa. Tugas pokok fungsi itu adalah melayani, melindungi, mengayomi, dan menjamin keamanan masyarakat.
Iqbal menjelaskan beberapa bukti yang menunjukkan Polri telah bekerja sesuai dengan tugasnya. Dia mencontohkan bagaimana keberhasilan Polri ikut menyuksesan pelaksanaan Asian Games 2018, Asian Para Games, hingga IMF World Bank Annual Meeting di Bali.
“Pada 2018, alhamdulillah aman, even-even besar seperti Asian Games, Asian Para Games, IMF World Bank, alhamdulillah kita aman. Termasuk melakukan pemberantasan terorisme dan gangguan sosial yang belakangan ini sering muncul. Itu artinya kita setia kepada negara dan banyak lagi even yang sudah kita lakukan. Itu adalah bukti bahwa kami mendahulukan kepentingan bangsa, rakyat, dan negara,” tandasnya.
Mantan Wakapolda Jawa Timur ini mengakui isu terorisme dan gangguan sosial berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi termasuk iklim investasi. Polri, kata dia, tetap berusaha semaksimal mungkin mengatasi semua itu dengan cara-cara refresif tapi juga tegas.
“Dalam berusaha menyelesaikan masalah dengan mengedepankan dialog. Contoh kasus di Papua. Itu yang kami utamakan sebelum melakukan tindakan berikutnya,” ungkapnya. Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran Muradi mengatakan, pertahanan dan keamanan negara tidak bisa dipisahkan dari konteks kesejahteraan.
Artinya, berbicara keamanan, maka negara harus hadir memberikan rasa aman dari segala bentuk gangguan. “Ini yang harus dipahami pemerintah mendatang dalam konteks membangun pertahanan keamanan negara,” ujar Muradi.
Menurut dia, salah satu tugas negara adalah menjamin kedaulatan, keutuhan negara, dan keselamatan bangsa. Di dalamnya adalah menjamin masyarakat Indonesia merasa aman dan tidak ada rasa was-was. Perkembangan ekonomi yang pesat pasti akan memikirkan pertahanan militer yang kuat. Ketika militer negara kuat, maka akan ada jaminan bahwa ekonomi di daerah tersebut kuat.
“Kita bisa lihat dalam konteks diplomasi, kita sebagai negara akan banyak bergaul dengan negara lain yang punya kepentingan sama. Di situ akan timbul kompetisi apakah secara ekonomi, politik, hingga militer. Sehingga, pertumbuhan ekonomi suatu negara harus dibarengi dengan kekuatan militer. Ini konteks yang harus seiring. Keamanan kita harus stabil,” tandasnya.
Direktur Deteksi Ancaman Siber Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Sulistyo mengatakan, isu keamanan siber di Indonesia masih perlu menjadi perhatian pemerintahan baru Jokowi-Ma’ruf dalam lima tahun mendatang. Pihaknya mencatat sepanjang 2018 Indonesia mendapat 229,4 juta serangan siber.
“Data tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Nah dari statistik serangan yang terus meningkat diperlukan juga kemampuan internal Indonesia untuk menghadapi serangan itu,” ungkapnya. Sulistyo mengungkapkan, ancaman siber merupakan ancaman nyata dan yang paling dekat dengan masyarakat.
Apalagi, sekarang ini masyarakat dunia hidup di era internet dan semuanya sudah terkoneksi. “Kita ada di dimensi hyper connectivity, semua sudah memegang gadged. Kemungkinan gadged itu akan disusupi oleh malware yang bisa menguasasi informasi atau data di dalamnya dalam konteks teknologi,” paparnya.
Sulistyo berharap, pemerintahan baru mendatang harus berkolaborasi untuk mengatur ruang siber. Harus ada stakeholder lain di luar pemerintahan, misalnya koorporasi yang menguasai insfrastruktur siber.
Bahkan yang paling penting adalah bicara ruang siber, maka bicara bahwa batasnya ruang siber ini di mana. “Kita bisa melihat bahwa pihak swasta menjadi penting sehingga perlu perhatian pemerintah sehingga bisa berkolaborasi,” ujarnya.
(don)