Revitalisasi Pemasyarakatan Jadi Acuan 9 Negara ASEAN
A
A
A
YOGYAKARTA - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) selesai menggelar Workshop Regional untuk Pencegahan Ekstremisme dalam Penjara (Workshop on Preventing Violent Extremism in Prison). Workshop ini bekerja sama dengan United Nations Office on Drug and Crime (UNODC).
Dihadiri perwakilan 9 negara ASEAN, workshop digelar di Hotel Grand Hyatt, Yogyakarta, 8-10 Oktober 2019. Selain negara ASEAN, workshop juga Country Manager UNODC Indonesia, Collie Brown, Charge d’Affaires Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia Geoffrey Dean, serta sejumlah pejabat dalam negeri.
Dalam sambutannya, Dirjen Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami yakin revitalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan yang tengah dikembangkan dan diimplementasikan, bisa menjadi solusi untuk menangani ekstremisme di lapas dan rutan. Inti dari konsep ini adalah perubahan perilaku. “Ini karena keberhasilan pembinaan kepribadian dan kemandirian yang diimplementasikan sekaligus dalam bentuk produk (barang maupun jasa) oleh warga binaan,” katanya.
Setiap keberhasilan dalam tahapan akan berimplikasi dengan pemberian penghargaan. Misalnya pemberian akses yang semakin longgar. “Konsep ini juga akan menjadi metode penanganan narapidana berkategori ekstrimisme atau berisiko tinggi (high risk) di Indonesia,” ujarnya.
Berdasarkan konsep revitalisasi pemasyarakatan tersebut, Indonesia telah mengembangkan kategorisasi lapas ke dalam empat kategori. Super maximum security, maximum security, medium security, dan minimum security.
Penempatan narapidana pada masing-masing kategori tersebut didasarkan pada hasil assessment yang dibuat pembimbing kemasyarakatan. “Ketika perilaku narapidana telah menunjukkan perubahan yang lebih baik dan dibuktikan berdasarkan assessment, maka narapidana bisa ditempatkan dari lapas maximum security ke medium security, dan seterusnya hingga ia bebas,” terangnya.
Dirjenpas berharap kegiatan itu juga bisa menjadi momen bertukar pengalaman antarpegiat pemasyarakatan di negara-negara ASEAN. Juga menambah pengetahuan tentang penanganan kemungkinan ektremisme pada narapidana high risk.
Country Manager UNODC Indonesia, Collie Brown mengatakan, pencegahan ekstremisme dan kekerasan di lingkungan penjara merupakan hal yang telah lama menjadi keprihatinan PBB. Konsen untuk melindungi penghuni lapas dari kekerasan dan radikalisasi, sambil tetap menegakkan prinsip manajemen pemasyarakatan yang baik, semakin menguat.
Untuk itulah, Sekretaris Jenderal PBB mulai 2015 menyerukan rencana aksi untuk Pencegahan Ekstremisme Kekerasan (PVE). Intinya menyerukan pendekatan yang komprehensif.
“Tidak hanya tindakan penanggulangan terorisme yang esensial, tetapi juga langkah-langkah pencegahan sistematis untuk mengatasi kondisi mendasar yang mendorong individu untuk meradikalisasi dan bergabung dengan kelompok ekstremis yang kejam,” kata Brown.
Rencana aksi PBB tersebut, kata Brown, terutama untuk mencegah penyebaran ekstremisme kekerasan di antara komunitas penjara. Sambil menegakkan perlindungan dan hak asasi manusia.
Selama workshop peserta juga diajak berkunjung ke Lapas Yogyakarta dan Lapas Magelang. Dalam kunjungan tersebut beberapa delagasi menyampaikan apresiasi terhadap penyelenggaraan revitalisasi pemasyarakatan yang mereka saksikan.
“Lapas Magelang ini, walaupun lapas heritage namun telah dilengkapi system teknologi informasi (TI) dalam penyelenggaraannya. Sangat mengagumkan!” kata Sarihanan, salah seorang anggota delegasi Brunei Darussalam.
Saat diskusi terbuka, juga terkuak fakta adanya gejala overkapasitas di lapas-lapas negara-negara ASEAN. Selain Indonesia yang rata-rata mengalami 205% overcrowding, lapas-lapas di negara-negara ASEAN lain pun mengalami hal yang sama. Filipina mengalami overcrowding 190%, Bangladesh 150%, Thailand 220%, Kamboja 150%, Lao PDR 125%, dan Myanmar 130%.
Melihat relatif rendahnya angka kekerasan dan ekstremitas di lapas, beberapa delegasi negara ASEAN siap menjadikan konsep revitalisasi pemasyarakatan Indonesia sebagai acuan. Delegasi negara-negara seperti Lao PDR, Myanmar, Malaysia dan Thailand menegaskan revitalisasi pemasyarakatan di Indonesia layak menjadi benchmark.
Dihadiri perwakilan 9 negara ASEAN, workshop digelar di Hotel Grand Hyatt, Yogyakarta, 8-10 Oktober 2019. Selain negara ASEAN, workshop juga Country Manager UNODC Indonesia, Collie Brown, Charge d’Affaires Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia Geoffrey Dean, serta sejumlah pejabat dalam negeri.
Dalam sambutannya, Dirjen Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami yakin revitalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan yang tengah dikembangkan dan diimplementasikan, bisa menjadi solusi untuk menangani ekstremisme di lapas dan rutan. Inti dari konsep ini adalah perubahan perilaku. “Ini karena keberhasilan pembinaan kepribadian dan kemandirian yang diimplementasikan sekaligus dalam bentuk produk (barang maupun jasa) oleh warga binaan,” katanya.
Setiap keberhasilan dalam tahapan akan berimplikasi dengan pemberian penghargaan. Misalnya pemberian akses yang semakin longgar. “Konsep ini juga akan menjadi metode penanganan narapidana berkategori ekstrimisme atau berisiko tinggi (high risk) di Indonesia,” ujarnya.
Berdasarkan konsep revitalisasi pemasyarakatan tersebut, Indonesia telah mengembangkan kategorisasi lapas ke dalam empat kategori. Super maximum security, maximum security, medium security, dan minimum security.
Penempatan narapidana pada masing-masing kategori tersebut didasarkan pada hasil assessment yang dibuat pembimbing kemasyarakatan. “Ketika perilaku narapidana telah menunjukkan perubahan yang lebih baik dan dibuktikan berdasarkan assessment, maka narapidana bisa ditempatkan dari lapas maximum security ke medium security, dan seterusnya hingga ia bebas,” terangnya.
Dirjenpas berharap kegiatan itu juga bisa menjadi momen bertukar pengalaman antarpegiat pemasyarakatan di negara-negara ASEAN. Juga menambah pengetahuan tentang penanganan kemungkinan ektremisme pada narapidana high risk.
Country Manager UNODC Indonesia, Collie Brown mengatakan, pencegahan ekstremisme dan kekerasan di lingkungan penjara merupakan hal yang telah lama menjadi keprihatinan PBB. Konsen untuk melindungi penghuni lapas dari kekerasan dan radikalisasi, sambil tetap menegakkan prinsip manajemen pemasyarakatan yang baik, semakin menguat.
Untuk itulah, Sekretaris Jenderal PBB mulai 2015 menyerukan rencana aksi untuk Pencegahan Ekstremisme Kekerasan (PVE). Intinya menyerukan pendekatan yang komprehensif.
“Tidak hanya tindakan penanggulangan terorisme yang esensial, tetapi juga langkah-langkah pencegahan sistematis untuk mengatasi kondisi mendasar yang mendorong individu untuk meradikalisasi dan bergabung dengan kelompok ekstremis yang kejam,” kata Brown.
Rencana aksi PBB tersebut, kata Brown, terutama untuk mencegah penyebaran ekstremisme kekerasan di antara komunitas penjara. Sambil menegakkan perlindungan dan hak asasi manusia.
Selama workshop peserta juga diajak berkunjung ke Lapas Yogyakarta dan Lapas Magelang. Dalam kunjungan tersebut beberapa delagasi menyampaikan apresiasi terhadap penyelenggaraan revitalisasi pemasyarakatan yang mereka saksikan.
“Lapas Magelang ini, walaupun lapas heritage namun telah dilengkapi system teknologi informasi (TI) dalam penyelenggaraannya. Sangat mengagumkan!” kata Sarihanan, salah seorang anggota delegasi Brunei Darussalam.
Saat diskusi terbuka, juga terkuak fakta adanya gejala overkapasitas di lapas-lapas negara-negara ASEAN. Selain Indonesia yang rata-rata mengalami 205% overcrowding, lapas-lapas di negara-negara ASEAN lain pun mengalami hal yang sama. Filipina mengalami overcrowding 190%, Bangladesh 150%, Thailand 220%, Kamboja 150%, Lao PDR 125%, dan Myanmar 130%.
Melihat relatif rendahnya angka kekerasan dan ekstremitas di lapas, beberapa delegasi negara ASEAN siap menjadikan konsep revitalisasi pemasyarakatan Indonesia sebagai acuan. Delegasi negara-negara seperti Lao PDR, Myanmar, Malaysia dan Thailand menegaskan revitalisasi pemasyarakatan di Indonesia layak menjadi benchmark.
(poe)