Beresiko Kanker, BPOM Resmi Tarik Obat Lambung Ranitidin dari Peredaran
A
A
A
JEDDAH - Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) resmi menarik izin peredaran obat lambung Ranitidin yang mengandung cemaran N-Nitrosodimethylamine (NDMA). Kepala BPOM, Penny K Lukito mengungkapkan penarikan ini menindaklanjuti informasi US Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicine Agency (EMA) bahwa terdapat produk Ranitidin yang mengandung cemaran N-Nitrosodimethylamine (NDMA) yang bersifat karsinogenik. Jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama dapat beresiko memicu penyakit kanker.
“Kami sebelumnya telah merilis informasi sehingga masyarakat akan mendapatkan distribusi obat yang aman dan bermutu, tentunya dari aspek kesehatannya. Jadi ini adalah bentuk progres dari informasi kami sebelumnya, bahwa izin edar dari Ranitidin telah dicancel, di hold, diambil kembali, dibatalkan untuk melihat kembali kandungannya,” ujar Penny dalam konferensi persnya di Kantor BPOM, Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Penny mengatakan BPOM memberikan jangka waktu 80 hari kepada industri farmasi untuk melakukan penarikan dimulai sejak 9 Oktober 2019. “Sehingga kami mengambil keputusan saat ini untuk seluruh institusi Farmasi pemegang izin Ranitidin untuk menghentikan sementara proses produksi, distribusi dan peredarannya. Jadi pada tanggal 4 Oktober kami hanya meminta produk Ranitidin untuk ditarik, namun per tanggal 9 Oktober untuk sementara ini kami memerintahkan untuk menghentikan seluruh distribusi dan produksinya,” jelasnya.
Diketahui, Ranitidin adalah obat yang digunakan untuk pengobatan gejala penyakit tukak lambung dan tukak usus. Sebelumnya BPOM telah memberikan persetujuan terhadap ranitidin sejak tahun 1989 melalui kajian evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu.
Ranitidin tersedia dalam bentuk sediaan tablet, sirup, dan injeksi. Namun, dari studi global memutuskan nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan adalah 96 ng/hari (acceptable daily intake), bersifat karsinogenik jika dikonsumsi di atas ambang batas secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.
“Jadi, kami mendapat informasi pada tanggal tanggal 13 September 2019 kami menerima informasi dari US FDA dan EMA yang mengeluarkan peringatan tentang adanya temuan cemaran NDMA. Kemudian dari studi yang ada ditemukan standart limit dalam jumlah yang lebih pada sampel produk yang mengandung bahan aktif ranitidin, dimana NDMA merupakan turunan zat Nitrosamin yang dapat terbentuk secara alami,” papar Penny.
BPOM, lanjut Penny, pada 17 September telah mengeluarkan warning dalam rangka kehati-hatian dengan menerbitkan Informasi Awal untuk Tenaga Profesional Kesehatan terkait Keamanan Produk Ranitidin yang terkontaminasi NDMA. “Kemudian, tanggal 4 Oktober BPOM mengeluarkan penjelasakan Ranitidin berupa produk yang mengandung cemaran NDMA. Sampai dengan 9 Oktober ada indikasi bahwa ada banyak brand mengandung cemaran yang kadungannya lebih dari yang dianjurkan.”
Penny menjelaskan bahwa penarikan ini merupakan bentuk tanggung jawab industri farmasi kepada masyarakat. Ia juga meminta untuk masyaraka tidak panik dalam merespon penarikan Ranitidin dari peredaran.
“Saya kira sudah banyak industri Farmasi yang sudah menarik dan melakukan mediasi sehingga produk Ranitidin sudah tidak ada di peredaran. Tentunya Badan POM mengharapkan masyarakat bisa memahami dalam arti tidak merespons dengan panik. Tentu ada langkah-langkah, ada justifikasi, ada langkah yang perlu kita lakukan untuk mengantisipasi efeknya. Juga tetap memastikan kesediaan untuk pengobatan dengan Ranitidin untuk tukak lambung atau tukak usus ada alternatif lainnya,” tegasnya.
“Kami sebelumnya telah merilis informasi sehingga masyarakat akan mendapatkan distribusi obat yang aman dan bermutu, tentunya dari aspek kesehatannya. Jadi ini adalah bentuk progres dari informasi kami sebelumnya, bahwa izin edar dari Ranitidin telah dicancel, di hold, diambil kembali, dibatalkan untuk melihat kembali kandungannya,” ujar Penny dalam konferensi persnya di Kantor BPOM, Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Penny mengatakan BPOM memberikan jangka waktu 80 hari kepada industri farmasi untuk melakukan penarikan dimulai sejak 9 Oktober 2019. “Sehingga kami mengambil keputusan saat ini untuk seluruh institusi Farmasi pemegang izin Ranitidin untuk menghentikan sementara proses produksi, distribusi dan peredarannya. Jadi pada tanggal 4 Oktober kami hanya meminta produk Ranitidin untuk ditarik, namun per tanggal 9 Oktober untuk sementara ini kami memerintahkan untuk menghentikan seluruh distribusi dan produksinya,” jelasnya.
Diketahui, Ranitidin adalah obat yang digunakan untuk pengobatan gejala penyakit tukak lambung dan tukak usus. Sebelumnya BPOM telah memberikan persetujuan terhadap ranitidin sejak tahun 1989 melalui kajian evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu.
Ranitidin tersedia dalam bentuk sediaan tablet, sirup, dan injeksi. Namun, dari studi global memutuskan nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan adalah 96 ng/hari (acceptable daily intake), bersifat karsinogenik jika dikonsumsi di atas ambang batas secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.
“Jadi, kami mendapat informasi pada tanggal tanggal 13 September 2019 kami menerima informasi dari US FDA dan EMA yang mengeluarkan peringatan tentang adanya temuan cemaran NDMA. Kemudian dari studi yang ada ditemukan standart limit dalam jumlah yang lebih pada sampel produk yang mengandung bahan aktif ranitidin, dimana NDMA merupakan turunan zat Nitrosamin yang dapat terbentuk secara alami,” papar Penny.
BPOM, lanjut Penny, pada 17 September telah mengeluarkan warning dalam rangka kehati-hatian dengan menerbitkan Informasi Awal untuk Tenaga Profesional Kesehatan terkait Keamanan Produk Ranitidin yang terkontaminasi NDMA. “Kemudian, tanggal 4 Oktober BPOM mengeluarkan penjelasakan Ranitidin berupa produk yang mengandung cemaran NDMA. Sampai dengan 9 Oktober ada indikasi bahwa ada banyak brand mengandung cemaran yang kadungannya lebih dari yang dianjurkan.”
Penny menjelaskan bahwa penarikan ini merupakan bentuk tanggung jawab industri farmasi kepada masyarakat. Ia juga meminta untuk masyaraka tidak panik dalam merespon penarikan Ranitidin dari peredaran.
“Saya kira sudah banyak industri Farmasi yang sudah menarik dan melakukan mediasi sehingga produk Ranitidin sudah tidak ada di peredaran. Tentunya Badan POM mengharapkan masyarakat bisa memahami dalam arti tidak merespons dengan panik. Tentu ada langkah-langkah, ada justifikasi, ada langkah yang perlu kita lakukan untuk mengantisipasi efeknya. Juga tetap memastikan kesediaan untuk pengobatan dengan Ranitidin untuk tukak lambung atau tukak usus ada alternatif lainnya,” tegasnya.
(kri)