Revisi UU KPK Dapat Memperkuat Pemberantasan Korupsi

Rabu, 09 Oktober 2019 - 19:37 WIB
Revisi UU KPK Dapat Memperkuat Pemberantasan Korupsi
Revisi UU KPK Dapat Memperkuat Pemberantasan Korupsi
A A A
JAKARTA - Revisi UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dianggap memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Bahkan revisi UU KPK yang mengatur soal Dewan Pengawas dan surat penghentian penyidikan (SP3) merupakan pasal-pasal yang mengedepankan transparansi dan menjamin keberlangsungan hak asasi manusia (HAM).

Pengamat hukum Slamet Pribadi mengatakan, UU KPK telah berusia 17 tahun. Selama penerapan UU oleh lembaga super body itu, korupsi masih merajalela.

"Korupsi tidak kunjung habis di Republik ini. Berarti ada yang perlu direvisi dalam hukumnya atau lembaga hukumnya atau juga penegakan hukumnya. Ada sesuatu yang perlu dilakukan perbaikan sana-sini. Kalau revisi itu dihubungkan dengan Revisi UU KPK, maka semangat dan tujuannya adalah agar KPK lebih kuat dan lebih independen," kata Slamet kepada wartawan di Jakarta, Rabu (9/10/2019).

Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara ini menambahkan, KPK harus lebih maju dalam cara penindakan dan pencegahannya dari pelaku rasuah. Mengingat perkembangan sosial yang cepat dan dinamis, maka UU yang berusia 17 tahun harus diubah. "Di sisi lain KPK memanfaatkan uang negara dan uang donatur dari Kebijakan Nasional Sistem Keuangan Negara. Makanya KPK harus bisa diaudit oleh siapa saja, baik oleh negara melalui lembaga-lembaga yang berwenang untuk itu, termasuk DPR," jelasnya.

Menurutnya, Dewan Pengawas merupakan usulan terbaik agar KPK kuat, independen, dan transparan. Pengawas harus benar-benar paham soal korupsi dari sisi teknis, taktis maupun yuridis. Tidak harus orang-orang yang mengerti hukum, tapi bisa juga pihak lain yang jujur serta memahami tujuan keberadaan KPK.

"Pengawas yang kuat dan kredibel akan berkontribusi dalam pembangunan hukum dari sisi hukumnya, kelembagaan hukumnya, penegak hukumya, sarana dan prasarana hukumnya terhadap KPK yang kuat," terangnya.

Termasuk juga SP3 yang fungsinya menjamin setiap warga negara mendapat haknya sebagai manusia. Dalam perkara pidana, tidak boleh ada seseorang yang menjadi tersangka seumur hidup atau tanpa kejelasan perkaranya. Hal itu merupakan pelanggaran HAM karena statusnya itu menyanderanya dalam berbagai aspek kehidupan.

"Yang bersangkutan mau mengurus semua administrasi apa pun bisa cacat hukum karena masih tersangka. Negara melalui para penegak hukumnya mengekang seseorang tanpa batas, karena posisinya masih tersangka, bahkan bisa juga yang bersangkutan bisa sampai meninggal dunia tetap masih menjadi tersangka," tuturnya.

Mengenai polemik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK, kata Slamet, hal itu merupakan hak Presiden dan tidak boleh diintervensi siapa pun. Namun Slamet mengingatkan bahwa revisi KPK yang baru ini cukup membawa kemajuan terhadap lembaga antirasuah itu.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8830 seconds (0.1#10.140)