Pentingnya Mengedukasi Pengguna Media Sosial
A
A
A
JAKARTA - Pengguna media sosial yang rentan percaya dengan informasi hoaks, bahkan terpengaruh oleh pancingan buzzer, bukan hanya dari generasi muda. Menurut pengamat media sosial Enda Nasution, mayoritas berasal dari para pengguna baru media sosial. Rentang usia muda juga ada, namun lebih banyak dari orang tua yang baru mengenal media sosial.
"Jam terbangnya masih rendah sehingga mereka belum punya pengalaman dan gampang kaget jika ada isu baru," ujarnya.
Siapa yang menyebarkan informasi juga menjadi faktor seseorang dapat percaya begitu saja. Misalnya dari orang terdekat atau orang yang dihormati begitu juga dengan figur publik yang banyak dipercaya begitu saja oleh pengikutnya. Idealnya siapa pun penyebar informasi, penerima wajib meneliti dulu kebenarannya.
Tanggung jawab seharusnya ada di pihak masing-masing dalam menilai setiap informasi yang didapat. Begitu juga dalam menerima informasi. "Jika mendapat informasi yang kurang dipercaya, sebaiknya diam saja jika tidak ada kepentingan. Tidak ada yang mengharuskan kita untuk mengomentari atau menyebarkan. Lebih baik diam daripada menambah sesuatu yang tidak jelas," ungkapnya.
Enda menambahkan, seringnya seseorang seperti memiliki kewajiban untuk turut berkomentar atas isu yang tengah berkembang. Padahal, hanya berupaya untuk eksistensi dalam pergaulan media sosial.
Pria yang dijuluki Bapak Blogger Indonesia ini menegaskan masyarakat harus sadar dalam konteks perpolitikan sosial saat ini media sosial ialah tempatnya perang opini. Memang ada pihak yang memiliki tujuan untuk membuat orang terpecah atau menggiring untuk mendukung kelompok mereka.
Masih banyak yang belum menyadari hal tersebut, terutama mereka yang baru menggunakan media sosial. Sebaiknya seseorang yang sudah memiliki literasi media dapat memberikan kesadaran bahwa informasi yang diembuskan dari media sosial itu terdapat maksud dan tujuannya. "Beberapa akun memang dibayar untuk menyebarkan informasi tersebut. Jangan mau dimanipulasi, hanya menjadi domba yang bisa diadu," tuturnya.
Sebaiknya jadilah seseorang yang memiliki banyak sumber informasi. Masyarakat diharuskan untuk jangan malas mencari banyak informasi. Jika zaman dulu masyarakat hanya disuapi informasi, berbeda dengan masa kini. Masyarakat harus jadi seseorang yang aktif cari informasi, bukan sekadar menerima.
"Jangan jadi netizen yang malas, malas baca berita. Jangan hanya baca judul lalu disebarkan dengan opini sendiri tanpa tahu maksud berita tersebut," sambung Enda.
Sosiolog Sigit Rohadi juga sependapat dengan hal tersebut. Tahapan seseorang menggunakan media itu memang dibutuhkan. Kalau mereka tidak pernah mengonsumsi media mainstream seperti membaca koran, mendengarkan siaran radio, lalu sudah menggunakan gadget, dan mengonsumsi berita dari media sosial. Hasilnya adalah mereka akan menganggap media sosial sebagai sumber tepercaya.
"Media sosial jangan dianggap sebagai satu satunya sumber informasi. Media sosial itu hanya sampingan, bukan media yang sesungguhnya," tegasnya.
Siapa pun diwajibkan harus menerima informasi dari media konvensional, bukan hanya dari media sosial. Sigit masih menyoroti anak muda sekarang ialah generasi yang tidak mau membaca berita secara utuh. "Mereka merasa cukup dengan membaca satu-dua kalimat sudah menemukan intinya, padahal media sesungguhnya tidak seperti itu," ucapnya serius.
Ketika seseorang membaca bukan hanya peristiwa pentingnya, tapi harus paham keterangan tambahan lain seperti penyebab peristiwa tersebut dan sebagainya. "Jika ingin menyebarkan berita, bukan hanya melihat apa yang ada di permukaan semata, namun dapat ditelusuri hingga mendalam. Sehingga ketika disebarkan dapat menjadi informasi yang berguna juga bagi orang lain," tutupnya. (Ananda Nararya)
"Jam terbangnya masih rendah sehingga mereka belum punya pengalaman dan gampang kaget jika ada isu baru," ujarnya.
Siapa yang menyebarkan informasi juga menjadi faktor seseorang dapat percaya begitu saja. Misalnya dari orang terdekat atau orang yang dihormati begitu juga dengan figur publik yang banyak dipercaya begitu saja oleh pengikutnya. Idealnya siapa pun penyebar informasi, penerima wajib meneliti dulu kebenarannya.
Tanggung jawab seharusnya ada di pihak masing-masing dalam menilai setiap informasi yang didapat. Begitu juga dalam menerima informasi. "Jika mendapat informasi yang kurang dipercaya, sebaiknya diam saja jika tidak ada kepentingan. Tidak ada yang mengharuskan kita untuk mengomentari atau menyebarkan. Lebih baik diam daripada menambah sesuatu yang tidak jelas," ungkapnya.
Enda menambahkan, seringnya seseorang seperti memiliki kewajiban untuk turut berkomentar atas isu yang tengah berkembang. Padahal, hanya berupaya untuk eksistensi dalam pergaulan media sosial.
Pria yang dijuluki Bapak Blogger Indonesia ini menegaskan masyarakat harus sadar dalam konteks perpolitikan sosial saat ini media sosial ialah tempatnya perang opini. Memang ada pihak yang memiliki tujuan untuk membuat orang terpecah atau menggiring untuk mendukung kelompok mereka.
Masih banyak yang belum menyadari hal tersebut, terutama mereka yang baru menggunakan media sosial. Sebaiknya seseorang yang sudah memiliki literasi media dapat memberikan kesadaran bahwa informasi yang diembuskan dari media sosial itu terdapat maksud dan tujuannya. "Beberapa akun memang dibayar untuk menyebarkan informasi tersebut. Jangan mau dimanipulasi, hanya menjadi domba yang bisa diadu," tuturnya.
Sebaiknya jadilah seseorang yang memiliki banyak sumber informasi. Masyarakat diharuskan untuk jangan malas mencari banyak informasi. Jika zaman dulu masyarakat hanya disuapi informasi, berbeda dengan masa kini. Masyarakat harus jadi seseorang yang aktif cari informasi, bukan sekadar menerima.
"Jangan jadi netizen yang malas, malas baca berita. Jangan hanya baca judul lalu disebarkan dengan opini sendiri tanpa tahu maksud berita tersebut," sambung Enda.
Sosiolog Sigit Rohadi juga sependapat dengan hal tersebut. Tahapan seseorang menggunakan media itu memang dibutuhkan. Kalau mereka tidak pernah mengonsumsi media mainstream seperti membaca koran, mendengarkan siaran radio, lalu sudah menggunakan gadget, dan mengonsumsi berita dari media sosial. Hasilnya adalah mereka akan menganggap media sosial sebagai sumber tepercaya.
"Media sosial jangan dianggap sebagai satu satunya sumber informasi. Media sosial itu hanya sampingan, bukan media yang sesungguhnya," tegasnya.
Siapa pun diwajibkan harus menerima informasi dari media konvensional, bukan hanya dari media sosial. Sigit masih menyoroti anak muda sekarang ialah generasi yang tidak mau membaca berita secara utuh. "Mereka merasa cukup dengan membaca satu-dua kalimat sudah menemukan intinya, padahal media sesungguhnya tidak seperti itu," ucapnya serius.
Ketika seseorang membaca bukan hanya peristiwa pentingnya, tapi harus paham keterangan tambahan lain seperti penyebab peristiwa tersebut dan sebagainya. "Jika ingin menyebarkan berita, bukan hanya melihat apa yang ada di permukaan semata, namun dapat ditelusuri hingga mendalam. Sehingga ketika disebarkan dapat menjadi informasi yang berguna juga bagi orang lain," tutupnya. (Ananda Nararya)
(nfl)