Perppu KPK Bukan Jalan Terakhir, Pakar Hukum Konstitusi Sebut 3 Opsi
A
A
A
JAKARTA - Besar harapan masyarakat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atas revisi kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Namun, sinyal presiden menerbitkan Perppu kian redup setelah Jokowi bertemu dengan elite parpol pendukung pemerintah.
Pakar Hukum Konstitusi, Heru Widodo berpandangan bahwa penerbitan Perppu KPK bukan satu-satunya cara untuk bisa memperbaiki sejumlah ketentuan dalam UU KPK yang baru itu. Menurutnya, ada beberapa opsi.
Pertama, meskipun sebagai open legal policy, UU KPK tetap bisa diuji manakala politik hukum yang dgunakan pembentuk UU bertentangan dengan tata cara penyusunan UU dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan (UU PPP). UU KPK bisa dibatalkan.
"Hal ini memang belum pernah dikabulkan. Ada batu uji untuk bisa dikabulkan, tapi ini perlu di-challenge mengingat Perppu sifat kegentingan yang memaksa kian memudar," ujar Heru dalam Polemik MNC Trijaya FM yang bertajuk "Perppu Apa Perlu?" di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (5/10/2019).
Kemudian kedua, lanjut Heru, bisa diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena UU KPK dinilai tidak sesuai dengan tujuan penegakan hukum untuk kemudian ada perintah merevisi dengan menyesuaikan asas yang universal dengan meminta tafsir konstitusionalitas ke MK. MK juga bisa memutus dengan cepat, caranya mengajukan permohonan ini sebagai prioritas.
"Disampaikan aspek prioritasnya bahwa dengan berlakunya ini bisa shut down KPK," imbuhnya.
Selain itu, kata Heru, selain dengan Perppu, Presiden Jokowi juga bisa berperan lewat keterangan pemerintah dalam sidang uji materi UU KPK di MK. Melihat banyaknya permohonan uji materi, presiden bisa menunjukkan kesungguhannya dengan memberikan keterangan bahwa ada beberapa hal yang perlu diubah dalam UU KPK itu.
"Presiden bisa memberikan keterangannya yang sesuai kajiannya, misalnya sejumlah ketentuan mislanya SP3 sesuai KUHAP tidak perlu ada batasan waktu. Kalau presiden nolak Perppu wassalam, tidak. Masih ada peran serta presiden lewat keterangan pemerintah di sidang MK," tandasnya.
Pakar Hukum Konstitusi, Heru Widodo berpandangan bahwa penerbitan Perppu KPK bukan satu-satunya cara untuk bisa memperbaiki sejumlah ketentuan dalam UU KPK yang baru itu. Menurutnya, ada beberapa opsi.
Pertama, meskipun sebagai open legal policy, UU KPK tetap bisa diuji manakala politik hukum yang dgunakan pembentuk UU bertentangan dengan tata cara penyusunan UU dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan (UU PPP). UU KPK bisa dibatalkan.
"Hal ini memang belum pernah dikabulkan. Ada batu uji untuk bisa dikabulkan, tapi ini perlu di-challenge mengingat Perppu sifat kegentingan yang memaksa kian memudar," ujar Heru dalam Polemik MNC Trijaya FM yang bertajuk "Perppu Apa Perlu?" di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (5/10/2019).
Kemudian kedua, lanjut Heru, bisa diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena UU KPK dinilai tidak sesuai dengan tujuan penegakan hukum untuk kemudian ada perintah merevisi dengan menyesuaikan asas yang universal dengan meminta tafsir konstitusionalitas ke MK. MK juga bisa memutus dengan cepat, caranya mengajukan permohonan ini sebagai prioritas.
"Disampaikan aspek prioritasnya bahwa dengan berlakunya ini bisa shut down KPK," imbuhnya.
Selain itu, kata Heru, selain dengan Perppu, Presiden Jokowi juga bisa berperan lewat keterangan pemerintah dalam sidang uji materi UU KPK di MK. Melihat banyaknya permohonan uji materi, presiden bisa menunjukkan kesungguhannya dengan memberikan keterangan bahwa ada beberapa hal yang perlu diubah dalam UU KPK itu.
"Presiden bisa memberikan keterangannya yang sesuai kajiannya, misalnya sejumlah ketentuan mislanya SP3 sesuai KUHAP tidak perlu ada batasan waktu. Kalau presiden nolak Perppu wassalam, tidak. Masih ada peran serta presiden lewat keterangan pemerintah di sidang MK," tandasnya.
(kri)